Pramoedya Ananta Toer dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra.

Pemikiran Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya punya tujuan satu, yaitu untuk membangun masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka. Dalam arti terpenuhinya hak-hak sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata dan karsa (keinginan).

Namun untuk memperjelas pola pikir Pram tentang realisme sosialis, perlu dipertegas lebih dahulu tentang sejarah lahirnya realisme sosialis, dan makna yang terkandung di dalamnya.

Istilah tersebut lahir pertama kali di Uni Soviet[1], sebagai penerapan sosialisme di bidang kreasi-sastra. Sastra yang mempergunakan metode ini karena realisme sosialis adalah metode di bidang kreasi (seni) untuk memenangkan sosialisme dan lebih penting lagi adalah dengan sikap politik yang tegas, militan, kentara, tidak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan nama yang dipergunakannya. Realisme sosialis merupakan bagian intergral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme (penjajahan) kolonialisme (golongan), dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, imprealisme kolonialisme, untuk meningkatkan kondisi dan situasi rakyat pekerja diseluruh dunia.[2]

Lain halnya dengan realisme Barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja[3].

Sedangkan sastra sosialis Indonesia timbul dari orang-orang Indonesia yang berjiwa sosialisme yang dilahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sediri yang menderita keadilan sosial, mula-mula naluri bertahan terhadap kematian yang disebabkan karena kezaliman social, dan kemudian pada ia atau mereka yang mempunyai kegiatan atau rutin kreasi menyalurkannya ke dalam cerita-cerita, yang pada pokoknya memperingatkan orang, bahwa kezaliman sosial yang tengah berlaku tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi, kalau masyarakat tidak hendak jadi binasa karenanya[4].

Realisme sosialis adalah sebuah istilah dengan maknanya yang telah pasti di negara manapun dia ada, hanya perkembangannya ditentukan oleh kondisi setempat, yakni realisme ilmiah (MDH = Matrealisme, Dealiktika, Historisme). Realisme dengan hukum perkembangannya dan sosialisme yang lahir sebagai kemestian disebabkan adanya perjuangan antara dua macam klas yang bertentangan dan berkembang secara tetap, yakni klas proletaar dan klas borjuis[5].

Realisme sosialis sangat bertentangan dengan realisme barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, karena merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja tanpa membutuhkan kritik. Sebaliknya, realisme sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektik. Bagi realisme sosialis, setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realitas tidak lain hanya satu fakta dalam perkembangan dialektik.

Realisme borjuis mempunyai kecenderungan yang melawan realitas itu sendiri untuk memenangkan idealisme. Atau bila dipergunakan kata-kata Nikolai Iribudzjakov:

“ Satu ciri stadium baru kapitalisme dunia adalah keretakan sama sekali dari filsafat borjuis dengan materialisme dan dengan segala steling-steling-nya yang mengkibatkan orang menarik kesimpulan yang materialistik.

“ Tapi ini bukan berarti, bahwa materialisme hilang sama sekali dari pandangan sarjana-sarjana borjuis. Materialisme itu dapat saja dibuang dari filsafat borjuis, namun ia masih menyatakan diri jelas-jelas di dalam fisika. Dan ini bukanlah suatu kebetulan. Karena sebagai mana ditunjukkan oleh Lenin dengan jelasnya, maka pada parasarjana borjuis dalam ilmu-ilmu alam, para ahli biologi, dan matematika, yang melakukan studi dilapangan alam materi maka muncul dan berkuasalah tendensi-tendensi materialistik yang tak dapat dihindarkan lagi. Dalam paham-paham falsafinya para sarjana ini mencoba melepaskan diri dari materialisme, menentangnya, yang mana sebagian di antaranya menyatakan pengikut dari idealisme subjektif. Tapi penyelidikan-penyelidikan di lapangan ilmu pengetahuan alam kembali membawa mereka pada kesimpulan, yang bertentangan dengan wawasan falsafi mereka sendiri serta membenarkan berbagai stelling materialisme. Ucapan-ucapan materialisme yang spontan di antara para sarjana ilmu alam borjuis tentu saja tidaklah menjelaskan dan memang tak dapat menjelaskan watak dari borjuis modern yang pada umunya adalah filsafat idealis”[6]

Demikianlah realisme borjuis menurut pandangan orang sosialis. Sedangkan realisme sosialis adalah istilah sastra yang melingkupi adanya front perjuangan, harus mempunyai watak yang jelas. Yang pertama, militansi sebagai ciri tidak kenal kompromi dengan lawan. Serta yang kedua, karena segaris dengan perjuangan politik sosialis, maka dia terus menerus melakukan affensi atas musuh-musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. Dalam dua artikelnya ini Gorki membela humanisme proletaar, humanisme rakyat dengan menudingkan telunjuk pada urgensinya pengusahaan penghapusan pembagian manusia atas klas-klas (dalam agama Hindu adalah kasta-kasta, dalam sistem-sistem sosial tertentu dalam pemisahan antara budak dan orang merdeka serta pelapisan-pelapisannya), melenyapkan setiap kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang produktif dan kreatif. Serta yang paling penting adalah menciptakan dunia baru, dunia yang dibangunkan di atas landasan keadilan yang merata[7].

Jadi watak sastra realisme sosialis bukan saja nampak dari militansinya terhadap kapitalisme yang dihadapinya sehari-sehari, tetapi lebih jauh lagi juga militansinya dalam mempertahankan dan mengembangkan semangat anti kapitalime internasional.

Sastra realisme sosialis tidak pernah memberikan konsesi atau kompromi dengan musuh-musuhnya, karena yang demikian sudah menyalahi sosialisme itu sendiri, sedangkan sastra memang bukanlah politik yang berusaha mendapatkan kemenangan semutlak mungkin atas lawan[8].

Pada segi lain watak ini nampak pada semangat yang diberikannya pada rakyat, pengungkapan paedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira memenangkan keadilan merata, guna maju untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional, bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen, tetapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri. Karena di dalam penghisapan dan penindasan kapitalisme, rakyat kurang cukup mendapatkan makanan baik bagi perut maupun bagi otaknya, apalagi melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri[9].

Dalam militansi seorang pengarang menurut pandangan Pram yaitu faham realisme sosialis yang telah menguasai realitas, yang tidak memenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas , dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan. Watak pengubahan selamanya revolusioner, karena realisme sosialis tidak mengajarkan orang menerima realitas dan menyerah kepadanya, tetapi secara berani dan revolusioner meninggalkan tingkat “manusia alam”, dan dengan paksa atau tidak menyusun dunia pikirannya sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus-menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus-menerus atas realitas, dan dengan sendirinya tidak boleh terlena akan segala perubahan spontan maupun perubahan semu daripada realitas itu sendiri bagaimanapun kecilnya dan dia kentara[10].

Pandangan sastra Pram tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa pengarang harus belajar dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh, terutama membaurkan diri ke dalam gerakan massa, mengenal perasaan mereka, mengenal spontanitas dalam menyatakan perasaan mereka, dan bersama mereka ikut mewujudkan apa yang harus diharapkan oleh mereka[11].

Para pengarang realisme sosialis harus menyediakan diri untuk digembleng dan diperbanyak oleh realitas yang kasar, pahit, dan bengis. Hasil langsung dari didikan spontan ini ialah meningkatkan daya kreatif terhadap segala gerak-gerik musuh rakyat. Gemblengan itu menghasilkan ketajaman daya urai dan daya pembeda antara gerakan pokok musuh rakyat, gerakkan semu, penyokong musuh, dan gerakan tidak sadar menyokong musuh. Seterusnya gemblengan itu juga meningkatkan naluri mempertahankan dan memperkuat gerakan rakyat, mengkonsolidasi dan mempertahankan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai, memahami kekalahan-kekalahan dan menstabilkan sukses-sukses dan dengan cepat mengenal provokasi musuh, anti propaganda[12].

Pola tersebut juga berlaku dalam Lekra, sebagai salah satu tombak perjuangan PKI dalam bidang seni. Lekra juga menganut aliran realisme sosialis. Dalam karya sastra para pengarang Lekra yang dapat digolongkan pada, pertama sastra manifest, dengan tema melawan, menolak, menentang kapitalisme, feodalisme, dan menempatkan diri sebagai penentang, penolak, dan pelawan. Kedua, perkembangan “ Ke Arah yang Normal “ berjalan bersama dengan perkembangan seluruh kekuatan progresif di dalam masyarakat, kemenangan-kemenangan Lekra baik di bidang organisasi, karya, dan kekuatan politik, telah menciptakan kondisi-kondisi social baru. Ketiga, kritik sastra realisme sosialis mempunyai garapan yang berbeda daripada kritik sastra borjuis. Kondisi-kondisi politik si pengarang menjadi syarat terutama karena kondisi politik yang tidak baik sudah pasti akan melahirkan karya satra yang tidak baik pula. Keempat, sesuai dengan logika, dan sesuai pula dengan kenyataan hidup, estetika mengambil tempat terakhir dalam kehidupan sosial[13].

Lekra berdiri pada tanggal 17 agustus 1950. pengambil inisiatif adalah D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Sebagaimana pernyataan Lekra sendiri, tentang pendirian organisasi ini kita dapatkan kalimat-kalimat yang berbunyi demikian:

Apa yang berlangsung ketika revolusi bersenjata dari revolusi Agustus, yaitu periode antara 1945 dan 1950, bergejolak? Periode itu, dibidang kebudayaan, ditandai oleh banyak seniman, sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya yang memihak pada, ambil bagian dalam dan memberikan sumbangannya kepada revolusi. Pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan revolusi, dan revolusi 1945 adalah suatu revolusi kerakyatan maka hal ini berarti, bahwa pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan rakyat. Tetapi, partisipasi atau kesertaan mereka itu di dalam revolusi masih bersifat spontan. Kespontanan itu tentu tidak hanya di lahirkan oleh intuisi, tetapi juga oleh kesadaran tertentu. Dalam hal ini kespontanan itu baik. Tetapi juga ia membawa dalam dirinya seginya yang lain, yaitu: belum teratur, belum terorganisir, singkatnya, belum terpimpin, dan sebagai akibatnya belum bersasaran yang tepat, sehingga efek dan hasilnya belum cukup besar jadinya.

Demikianlah lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu orang-orang kebudayaan yang tadinya seolah-seolah satu kepalan tangan yang tegak dipihak revolusi, menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia, menyeberang. Yang lemah dan ragu-ragu seakan-akan putus asa karena tidak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi, karena kita sadar, bahwa tugas ini bukan hanya tugas kaum politis tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi[14].

Jadi estetika dalam realisme sosialis bukanlah suatu yang mewah, tetapi sesuatu “social opgave” yang harus dijawab dan dipecahkan dan dirumuskan kemudian dibuat berdasarkan rumus tersebut. Setidak-tidaknya estetika bukanlah satu pemutlakan selama yang dapat menikmati hanya klas yang mendapatkan keberuntungan pendidikan dan pengajaran[15].

Sebagai mana telah diketahui bahwa Lekra menganut aliran realisme sosialis, maka orang yang ikut terlibat didalamnya yaitu Pram juga menganut aliran tersebut. Tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran Pram adalah Maxim Gorki. Pram, mengambil semua metode realisme sosialis Maxim Gorki. Tanpa ragu Pram mengatakan bahwa istilah realisme sosialis timbul pertama kali di bumi yang untuk pertama kali memenangkan sosialisme, di bumi yang telah menegakkan sosialisme, yakni Uni Soviet. Tokoh utama yang biasanya mendapat kehormatan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorki terutama dengan karya utamnya Ibunda[16].

Dalam pandangan Pram, Maxim Gorki bukan suatu kebetulan yang oleh sejarah di tunjuk sebagai pelopornya. Baik triloginya Childhood, My Apprenticeship dan My Universities maupun cerpen-cerpennya, terutama sekali Di Musim Gugur, secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan yang diterimanya dari klas kapitalis borjuis. Tidak mengherankan pula bahwa Maxim Gorki berpihak pada neneknya, seorang wanita pengemis dan di samping neneknya menentang kakeknya, seorang pengusaha di bidang pencelupan[17].


[1]Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), hlm., 15.

[2] Ibid…, hlm 17.

[3] Ibid…., hlm. 18.

[4] Ibid…..hlm 57-58.

[5] Ibid…..hlm 59.

[6] Ibid……hlm. 18-19.

[7] Ibid…..hlm. 29.

[8] Ibid….hlm 31.

[9] Ibid……hlm. 31.

[10] Ibid…..hlm 73 .

[11] Ibid….hlm 108-109.

[12] Ibid……hlm. 111.

[13] Ibid…..hlm. 152- 156

[14] Ibid……hlm. 93.

[15] Ibid…..hlm 157.

[16] Ibid….hlm. 15.

[17] Ibid….hlm. 27.

Add comment


Go to top