Mohon yang berkunjung ke website saya ini berkenan Subscribe Channel saya ya .. Klik Youtube dibawah ini

Perkembangan kebijakan devisa di Indonesia

Perkembangan kebijakan devisa di Indonesia[1]

a. Sistem devisa kontrol.

Hingga tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem devisa kontrol yang cukup ketat dimana sesuai UU No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa. Kebijakan ini cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap pengaruh eksternal, namun disisi lain kebijakan menciptakan pasar gelap valas nilai tukar rupiah di pasar valas gelap jauh diatas harga yang ditetapkan oleh pemerintah

b. Sistem devisa bebas.

Sejak tahun 1967 secara berangsur-angsur dilepas dan sistem devisa Indonesia mulai mengarah ke sistem devisa bebas. Indonesia memasuki sistem devisa murni sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya PP No.1 Tahun 1982 tentang Penghapusan Kewajiban Penjualan Devisa Hasil Ekspor kepada Bank Indonesia.

Di sisi lain sistem devisa bebas juga mempunyai implikasi negatif karena dapat menimbulkan kerawanan dalam perekonomian nasional apabila tidak diikuti dengan sikap kehati-hatian para pelaku ekonomi. Krisis yang dialami negara Amerika Latin seperti Meksiko pada tahun 1994, dan krisis ekonomi terakhir yang terjadi di Thailand, Indonesia dan negara ASEAN lainnya merupakan bukti dari berbahayanya hot capital inflows tersebut.

4.1.2. Perkembangan kebijakan nilai tukar di Indonesia

Sesuai dengan UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu:

a. Sistem Nilai Tukar Tetap. (1970-1978)

¨ Sesuai dengan UU No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp 250 per 1 USD (sebelumnya RP 45 per 1 USD), sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.

¨ Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing.

¨ Sistem nilai tukar tetap dengan kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih memungkinkan karena keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa masih relative kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi tradeble good dan kegiatan spekulasi valas belum ada.

¨ Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp 378 per 1 USD, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp 415 per 1 USD dan pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp 625 per 1 USD.

b. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997)

¨ Pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu.

¨ Karakteristik tersebut berkaitan erat dengan seberapa besar Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar tersebut dengan melakukan penekanan pada unsur management atau floating-nya.

¨ Cukup kuatnya unsur manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga daya saing produk-produk ekspor.

¨ Kekuatan pasar semakin besar sehingga unsur floating semakin dirasakan perlu mengingat manajemen yang teralu dominan dapat berakibat misalignment pada nilai tukar riil .

¨ Flexibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997. Hal ini memberikan keluasaan kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi terbuka.


[1] Miranda S. Goeltom : Direktur Ekonomi dan kebijakan Moneter, Operasional Pengendalian

Moneter, dan Devisa, Bank Indonesia.

Add comment


Go to top