Bahasa

Intonasi

Intonasi

Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran (bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu tidak sama nyaring diucapkan. Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut; ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik), merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam suatu tutur disebut intonasi .

Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi (panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir arus ujaran itu.

Batasan: Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.

Karena unsur yang terpenting dari intonasi adalah tekanan, nada, durasi, dan perhentian, maka di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai keempat komponen itu.

1. Tekanan (Stress)

Tekanan (Stress)

a. Pengertian Tekanan

Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran. Arus ujaran yang lebih keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih keras diucapkan dari bagian yang lain. Menurut idiolek penulis, kata tadi dapat diucapkan sebagai berikut:

/pèrumáhân/

Dari seluruh kata / perumahan/, bagian atas segmen /máh/ kedengarannya lebih keras dari bagian-bagian yang lain. Jadi dalam hal ini kita dapat membeda-bedakan beberapa macam tekanan yang bertalian dengan tingkat keras-lembutnya yaitu:

i) Tekanan paling keras = ´  (Perancis: accent aigu) 
ii) Tekanan keras = `   (Perancis: accent grave) 
iii) Tekanan lembut = ˆ (Perancis: accent circonflexe) 
iv) Tekanan paling lembut = (u) (Perancis: accent breve)

b. Tekanan Distingtif dan non-distingtif

Dalam beberapa bahasa Barat, misalnya Inggris dan Belanda, tekanan dapat berfungsi untuk membedakan arti (distingtif). Berarti bila tekanan keras pada suatu bagian (segmen) dari kata dipindahkan ke bagian yang lain, maka makna kata berubah, misalnya:

Inggris: r é f u s e = sampah

            r e f ú s e = menolak 

Belanda: d ó o r l o p e n = berjalan terus

              d o o r l ó p e n = menjalani, menempatkan 

Pada kebanyakan bahasa di dunia, tekanan ini tidak bersifat distingtif ( non distingtif ) yang berarti tidak berfungsi membedakan arti, misalnya bahasa Indonesia, Jawa, dan sebagainya.

c. Tekanan dalam bahasa Indonesia

Walaupun tekanan dalam bahasa Indonesia tidak bersifat distingtif, itu tidak berarti bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak mengandung tekanan. Seperti dalam ilustrasi dengan kata /perumahan/, jelas ada tekanan dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang menimbulkan persoalan adalah di mana letak tekanan keras pada kata-kata bahasa Indonesia? Bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam bahasa daerah dan dialek, memiliki pula intonasi yang berbeda ragamnya. Keanekaan intonasi itu dibawa serta ke dalam bahasa Indonesia, hingga mempengaruhi pula intonasi bahasa Indoenesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita menjumpai bermacam-macam orang yang mempergunakan bahasa Indonesia, tetapi betapa berbeda intonasi yang digunakan oleh seorang Jawa dan seorang Batak, seorang Minang dan seorang Sunda, Ambon atau Fores. Tetapi katakanlah manakah dari semua intonasi itu yang benar? Ukuran-ukuran manakah yang dipakai untuk menetapkan intonasi yang benar? Hingga kini belum ada suatu ketentuan resmi mengenai hal itu.

Ketentuan-ketentuan sementara yang ada sekarang dalam beberapa buku tata bahasa didasarkan saja atas pendapat dan rasa dari beberapa orang tertentu. Yang dibenarkan oleh ilmu bahasa adalah pertama-tama kita harus mengadakan kodifikasi intonasi dari semua penutur bahasa Indonesia, atau sekurang-kurangnya beberapa orang yang mewakili berbagai bahasa daerah dan dialek, baru kemudian dapat ditetapkan kaidah-kaidah intonasi yang baku bagi bahasa Indonesia. Jika dasar ini tidak diperhatikan, maka akan tampak bahwa ketentuan yang dibuat itu akan lainnya jalannya dari kenyataan. Adalah menjadi harapan kita bersama agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah dimulai usaha-usaha ke arah tersebut.

d. Tekanan Kalimat

Walaupun tekanan yang distingtif dalam bidang kata tidak ada dalam bahasa Indonesia, dalam bidang kalimat tekanan yang distingtif itu ada. Tekanan semacam itu biasanya disebut emfasis .

Tekanan tersebut dibuat antara lain jika ada kata atau bagian tertentu dari kalimat yang dipentingkan, atau dipertentangkan dengan bagian lain. Misalnya:

Anak itu memukul adikku.

• Anak itu memukul adikku.

• Anak itu memukul adikku.

• Anak itu memukul adik ku.

• Anak itu memukul adik ku.

2. Nada

Nada

a. Pengertian Nada

Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda.

b. Nada yang distingtif dan non-distingtif

Dalam bahasa-bahasa German, demikian juga dalam bahasa-bahasa Nusantara, nada dalam bidang kata tidak diakui sebagai fonem, yaitu bahwa tidak ada nada yang bersifat distingtif. Sebaliknya ahli-ahli bahasa mengakui bahwa nada dalam bahasa Yunani dan Cina mempunyai fungsi distingtif, yaitu mempunyai peranan untuk membedakan arti. Dalam bahasa Indonesia tidak ada nada di bidang kata.

c. Nada dalam Kalimat

Seperti apa yang telah diilustrasikan di atas, nada dalam bahasa Indonesia hanya berfungsi membedakan arti bila terdapat dalam kalimat. Karena intonasi pertama-tama didasarkan pada nada, maka nada yang distingtif dalam kalimat, tidak lain pada dasarnya adalah intonasi yang distingtif. Ada intonasi berita, intonasi tanya, intonasi perintah, intonasi yang menyatakan kemarahan, kegembiraan dan sebagainya, walaupun mungkin unsur segmentalnya sama.

3. Durasi

Durasi

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuag segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Misalnya:

/ ti . . ng-gi sekali / atau

/ ting-gi . . sekali /

Dalam hal yang pertama /i/ dari segmen / ting / diucapkan lebih lama, sedangkan dalam hal yang kedua /i/ dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.

b. Durasi yang Distingtif dan Non-distingtif

Pada umumnya durasi pada bahasa-bahasa di dunia tidak bersifat distingtif dalam bidang kata. Tetapi ada beberapa bahasa yang memiliki durasi distingtif, misalnya bahasa Sansekerta. Durasi distingtif dalam bidang kata biasanya dinyatakan oleh adanya vokal pendek dan vokal panjang dalam bahasa itu. Dalam bahasa Sansekerta misalnya:

     bhara (ajektif) = yang mengandung, yang menganugerahkan 
     bhara (nomina) = muatan, beban 
     bala (nomina) = kekuatan, pasukan 
     bala (ajektif) = muda 
     bala (nomina) = anak 
     dina (nomina) = hari  
     dina (ajektif) = hina 

Bahasa Indonesia tidak memiliki durasi dalam bidang kata.

c. Durasi dalam Kalimat

Seperti yang telah dikatakan di atas, durasi dalam bidang kata tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bidang kalimat terdapat durasi yang distingtif. Sebuah segmen dalam sebuah kalimat dapat diucapkan dalam waktu yang relatif lebih lama dari segmen-segmen lain dalam kalimat, untuk menekan segmen itu. Misalnya:

      / pakaian yang dipakainya itu maha . . l sekali / 

Atau apabila seorang lagi berpidato atau berbicara akan mengucapkan bagian tertentu dari pidatonya, entah berwujud klausa, kalimat, atau rangkaian kalimat-kalimat, dalam waktu yang lebih lambat dari bagian-bagian lainnya. Dan dalam banyak hal cara ini sering digunakan. Bagian yang tidak penting diucapkan cepat-cepat, sementara bagian yang penting diucapkan lambat-lambat.

4. Kesenyapan

Kesenyapan

Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung . Oleh karena itu kesenyapan selalu berada dalam bidang tutur, minimal dalam bidang kalimat.

Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan bahwa tutur atau bagiab dari tutur itu telah mencapai kebulatan.

Kesenyapan jenis pertama disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-final atau jeda . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda koma (,). Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan kan dilambangkan dengan tanda seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang menurun.

Go to top