ISLAMISASI BAHASA ARAB
Oleh : Dr. H. Uril Bahruddin, M.A
Bahasa adalah cermin budaya suatu masyarakat, apabila kita ingin melihat potret sebuah masyarakat, maka kita bisa melihat melalui bahasa yang digunakan. Masyarakat yang tinggal di tepi pantai, memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal jauh dari laut. Demikian pula dalam menggunakan bahasa dalam berkomunikasi, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa misalnya, namun pemilihan kata-kata dan intonasi penuturnya pasti berbeda.
Bahasa juga merupakan wadah dari budaya itu sendiri, artinya bahwa hanya bahasalah yang mampu mewadai dan mengungkapkan budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat, dan hanya bahasa ibu masyarakat itulah yang mampu mewadahinya, mampu mengungkapkan seluruh isi budaya masyarakat itu dengan sempurna. Sebagai contoh budaya Jawa, maka yang paling tepat mewadahi budaya itu hanyalah bahasa Jawa, tidak akan sempurna jika budaya Jawa itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa yang lain.
Demikian halnya dengan budaya Islam, bahasa yang paling tepat untuk mewadahinya adalah bahasa Arab. Memang, awalnya bahasa Arab itu adalah bahasanya masyarakat yang tinggal di jazirah Arab, namun setelah Islam datang di tengah-tengah masyarakat itu, bukan hanya manusianya yang akhirnya memilih Islam sebagai keyakinan mereka, tetapi bahasa Arab juga ikut “masuk Islam”, sebagai contoh adanya penambahan istilah-istilah baru khususnya terkait dengan keIslaman dan keimanan yang sebelumnya tidak dikenal dalam bahasa Arab lama.
Istilah-istilah yang sulit diucapkan juga dihilangkan dari kamus perbendaharaan bahasa Arab diantaranya kata (مُسْتَشْزِرَات), (البَخْصَات), (الملْطَاط) dan lain sebagainya. Demikian pula istilah-istilah yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti kata (المرْبَاع) yaitu seperempat dari harta rampasan perang yang diperuntukkan para pembesar mereka di zaman Jahiliyah, karena budaya itu tidak menunjukkan nilai-nilai keadilan yang dibawa oleh Islam, maka kosa kata itupun ditiadakan.
Dengan adanya Islamisasi bahasa Arab ini, akhirnya bahasa Arab mampu menjadi wadah untuk mengungkapkan budaya Islam. Bahasa Arab juga menjadi mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang serba cepat dan canggih. Karena itulah Ahmad Syauqi, seorang penyair Arab kenamaan menyebut bahasa Arab sebagai “lautan” yang memiliki kuluasan dan kedalaman yang tak berujung, diantara buktinya menurut beliau adalah sebagaimana yang disebutkan oleh al Fairuz Abadi dalam kamusnya “al Muhith”, bahwa kata singa memiliki 500 sinonim, sementara kata ular 200 sinonim dan kata madu sebanyak 80 sinonim.
Ternyata bukan hanya masalah sinonim, antara kata yang memiliki sinonim juga memiliki perbedaan dalam makna filosofisnya. Misalnya kata duduk dalam bahasa Arab bisa diungkapkan dengan (جَلَسَ) atau (قَعَدَ), penggunaannya dalam kalimat sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan, namun dengan melakukan penelitian yang mendalam terhadap penggunaan kosa kata itu akan ditemukan adanya perbedaan, yaitu sebaiknya kata (قَعَدَ) digunakan setelah seseorang berdiri, sementara (جَلَسَ) sebaiknya digunakan setelah seseorang. Demikian juga terjadi pada kosa kata lain seperti (ذَهَبَ), (انْطَلَقَ), (مَضَى) dan (رَاحَ), terdapat perbedaan makna secara filosofis yang dapat diketahui ketika kita kembali kepada kamus.
Dengan demikian, kuluasan dan kedalaman makna yang dimiliki oleh bahasa Arab itu yang membuat bahasa itu dapat mewadai budaya Islam. Keluasan dan kedalaman bahasa Arab itu juga menunjukkan kekuatan dan kesempurnaan budaya Islam. Usaha untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab tidak sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan makna sebagaimana pada bahasa aslinya. Karena itu, karya terjemahan tidak bisa mewakili karya aslinya yang tertulis dengan bahasa Arab.
Kawan…
Mempelajari Islam dan budayanya bagi setiap muslim harus terus dilakukan untuk memperkuat pemahaman dan komitmennya terhadap Islam, kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu agama Islam yang telah kita miliki. Data-data di atas menunjukkan bahwa belajar Islam dan budayanya tidak bisa diwakili hanya dengan menggunakan buku-buku atau karya-karya ulama yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, merujuk secara langsung kepada literatur yang tertulis dengan bahasa Arab tetap dibutuhkan. Maka belajar bahasa Arab menjadi keniscayaan.
Semoga semangat kita dalam mempelajari dan mengajarkan bahasa Arab tetap berkobar, sebagai wujud usaha kita untuk menjadi muslim yang dapat memahami Islam melalui sumbern dan referensi yang asli. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.