Info Umum

Bioetika dan Globalisasinya

SEJAK 12 Oktober 2004 Indonesia memiliki Komisi Bioetika Nasional karena pada hari itu komisi yang terdiri atas 33 anggota ini dilantik di kompleks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Para anggotanya adalah ahli di bidang kedokteran, biologi dan ilmu-ilmu hayati lain, hukum, etika, teologi, agama, ilmu sosial, dan lain-lain. KBN dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama tiga menteri: menteri negara riset dan teknologi, menteri kesehatan, dan menteri pertanian. Dalam surat keputusan bersama ini KBN diberi tiga tugas. Pertama, memajukan telaah masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip bioetika. Kedua, memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai aspek bioetika dalam penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada ilmu-ilmu hayati. Ketiga, menyebarluaskan pemahaman umum mengenai bioetika.

DENGAN demikian, Indonesia bergabung dengan negara-negara yang sudah memiliki sebuah komisi bioetika. Sudah sejak dasawarsa 1970-an hampir setiap presiden Amerika Serikat membentuk komisi macam itu walaupun istilah bioetika baru dipakai di dalam nama komisi-komisi terakhir. Presiden Bill Clinton mendirikan National Bioethics Advisory Commission (1995). Presiden George W Bush dalam periode pertama pemerintahannya membentuk The President’s Council on Bioethics (2001). Di Eropa banyak negara memiliki suatu komisi bioetika. Namun, ada juga negara yang menganggap tidak perlu membentuk komisi bioetika khusus karena sudah memiliki organ-organ lain yang memungkinkan tujuan dimaksudkan tercapai.

Tujuan komisi-komisi macam itu adalah menjadi think tank untuk pemerintah di bidang ilmu dan teknologi biomedis serta pelayanan kesehatan dalam arti yang paling luas dan dalam hal itu terutama menyoroti aspek-aspek etisnya. Di samping itu komisi-komisi diharapkan akan memajukan serta menyosialisasikan pemikiran bioetika dalam masyarakat dan menjalin hubungan dengan forum-forum internasional di bidang yang sama.

Kekhususan etika

Jika kita memandang istilah bioetika, secara spontan tampak arti ’etika tentang kehidupan’. Dalam hal ini kata etika barangkali tidak begitu asing bagi telinga kita, tetapi bisa ditanyakan lagi apa persisnya artinya. Kalau kita menyimak cara kata ini dipakai dalam masyarakat, terutama ada dua arti. Pertama, sering kita mendengar atau membaca kalimat seperti berikut ini: "hal itu tidak etis", "perbuatan itu tidak sesuai dengan etika yang benar", "kita tidak boleh memikirkan keuntungan saja, masih ada juga etika". Jika kalimat-kalimat macam itu dipakai, etika dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang diterima sebagai pegangan bagi perilaku kita. Di sini etika sama artinya dengan moral atau moralitas.

Moralitas merupakan suatu aspek penting dalam hidup manusia-pada taraf perorangan maupun sosial-dan sekaligus sebuah aspek yang khas untuk manusia saja. Etika atau moralitas tidak berperanan sama sekali untuk hewan. Hanya manusia yang merupakan makhluk moral. Hanya bagi manusia berlaku bahwa tidak semua hal yang bisa dilakukan boleh dilakukan juga. Perilaku manusia tidak baik sungguh-sungguh kalau tidak ditandai oleh moralitas. Memiliki banyak harta benda, umpamanya, secara spontan dianggap baik karena sangat memperluas kemungkinan orang bersangkutan. Namun, harta benda itu sendiri hanya membuat manusia menjadi baik dalam arti terbatas saja. Jika harta benda yang berlimpah-limpah diperoleh melalui jalan korupsi, akhirnya orang itu tidak baik. Etika atau moralitas tidak membuat manusia baik menurut aspek terbatas saja. Etika membuat dia baik sebagai manusia. Karena itu, manusia baru adalah baik sungguh- sungguh bila berpegang pada etika.

Menurut arti kedua, etika adalah ilmu. Etika ini adalah studi tentang moralitas atau tentang etika dalam arti pertama. Etika ini mempelajari kehidupan baik atau buruk dalam arti moral dan coba menentukan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika ini termasuk filsafat dan karena itu disebut juga etika filosofis atau filsafat moral. Sejarahnya sudah amat panjang, kira-kira 25 abad. Tempat kelahirannya adalah Yunani kuno. Sokrates, Plato, dan Aristoteles dapat dipandang sebagai pemikir yang meletakkan dasar bagi ilmu etika. Dan dengan trio intelektual yang sangat unik ini, etika filosofis segera mencapai kualitas pemikiran yang masih dikagumi sampai sekarang. Aristoteles (384-322 SM) bahkan menciptakan istilah etika dan menulis beberapa buku yang mencantumkan istilah ini dalam judulnya.

Etika dalam profesi medis

Salah satu bidang di mana etika sudah lama mendapat perhatian khusus adalah profesi kedokteran. Ilmu kedokteran juga merupakan ciptaan Yunani kuno yang khas. Hippokrates dari Kos (kira-kira 460-370 SM) adalah orang Yunani kuno yang digelari "bapak ilmu kedokteran" karena untuk kali pertama memberikan suatu dasar ilmiah kepada profesi kedokteran dengan melepaskannya dari suasana gaib dan penuh mistik yang meliputi profesi ini sebelumnya. Yang sangat mengagumkan adalah bahwa Hippokrates yang sama sekaligus memberikan juga dasar etika kepada profesi medis ini dengan merumuskan "Sumpah Hippokrates". Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa etika kedokteran (etika dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral) seumur dengan profesi kedokteran itu sendiri. Lebih mengagumkan lagi bahwa hubungan antara etika (bahkan langsung dalam bentuk Sumpah Hippokrates ini) dan profesi medis tidak pernah dilepaskan sepanjang masa. Walaupun pasti ada juga banyak ups and downs, Sumpah Hipokrates tahan terus dalam sejarah kedokteran dan memberi kontribusi besar guna menegakkan profesi medis sebagai profesi yang terhormat dalam masyarakat.

Sampai dalam zaman modern, banyak sekali dokter baru di seluruh dunia mengucapkan sumpah ini saat mereka mulai menuaikan profesi medisnya. Baru pada tahun 1948 Majelis Umum Asosiasi Kedokteran Dunia merumuskan suatu versi modern dari Sumpah Hippokrates ini dalam dokumen yang disebut Deklarasi Jenewa (Declaration of Geneva) yang menjadi dasar untuk semua kode etik kedokteran setempat, termasuk juga Kode Etik Kedokteran Indonesia. Namun, jika kita menyimak isinya, sebetulnya cukup mengherankan betapa banyak unsur dari Sumpah Hippokrates yang asli di sini dipertahankan dalam bentuk modern.

Dengan melanjutkan suasana Sumpah Hippokrates, etika kedokteran tradisional terutama terfokuskan pada relasi dokter-pasien dan kewajiban dokter terhadap pasiennya. Dan hal itu masih tetap merupakan aspek penting dari etika profesi medis. Namun, dalam perkembangan luar biasa yang dialami ilmu dan teknologi biomedis selama abad ke-20, muncul banyak masalah etis baru yang tidak pernah disangka sebelumnya dan tidak tersentuh oleh etika kedokteran yang tradisional.

Sebuah contoh yang mencolok mata adalah penelitian biomedis yang mengikutsertakan subyek manusia. Seusai Perang Dunia II, baru diketahui eksperimen-eksperimen kejam yang dilakukan dokter-dokter Nazi selama rezim Hitler di Jerman dengan korban-korban mereka yang kebanyakan keturunan Yahudi. Pengalaman mengejutkan ini memicu perhatian besar untuk etika penelitian biomedis yang sejak saat itu menjadi bagian penting dari etika biomedis. Perlu diperhatikan lagi bahwa di antara peneliti-peneliti biomedis itu terdapat semakin banyak ahli dari luar profesi kedokteran, seperti ahli-ahli biologi, yang juga tidak terdidik dalam tradisi etika kedokteran dan tidak pernah mengucapkan Sumpah Dokter. Meski demikian, tidak bisa disangkal bahwa seluruh dunia penelitian ini merupakan suatu sektor hakiki dari ilmu-ilmu kedokteran.

Contoh lain adalah problem-problem baru yang muncul berhubungan dengan pengembangan intensive care unit (ICU) yang memakai alat-alat canggih seperti respirator, mulai dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dengan teknologi baru ini dimungkinkan bahwa fungsi pernapasan dan peredaran darah diambil alih oleh mesin. Bila mesin dihentikan, pasien langsung meninggal karena ia tidak lagi bisa bernapas secara spontan. Namun, jika pasien hanya bernapas dengan bantuan mesin, apakah dapat dikatakan bahwa ia masih "hidup" dalam arti yang sebenarnya? Perbatasan antara hidup dan mati menjadi kacau! Permasalahan ini agak cepat mengakibatkan munculnya pengertian baru tentang kematian, yaitu mati otak: manusia adalah mati jika seluruh otaknya mati atau tidak memiliki aktivitas lagi. Kalau pasien dengan kondisi itu sudah sungguh mati otak, kita boleh mengambil organ-organnya untuk ditransplantasi pada pasien lain yang membutuhkan. Demikian memang prosedurnya dalam transplantasi jantung, umpamanya.

Selain mengubah definisi kematian itu sendiri, pemakaian alat bantu hidup dalam ICU menimbulkan banyak masalah etis baru lagi. Misalnya, kalau kita menghentikan alat bantu hidup seperti respirator, apakah kita tidak membunuh pasien? Atau, sebaliknya, kita menyiksa pasien terminal dengan memakai terus alat-alat bantu hidup itu, sedang pasien sudah tidak dapat disembuhkan dengannya? Pertanyaan-pertanyaan ini memang menyangkut hubungan dokter-pasien, tetapi dalam perspektif baru yang tidak dibayangkan sebelumnya.

Masalah-masalah etika yang sama sekali baru seperti itu merupakan latar bagi munculnya bioetika sekitar akhir dasawarsa 1960-an. Tidak dapat diragukan, timbulnya bioetika dipicu oleh "revolusi biomedis" yang berlangsung dalam abad ke-20. Bioetika adalah refleksi etis atas pertanyaan-pertanyaan baru yang ditimbulkan oleh life sciences dan teknologi biomedis sejak kira-kira pertengahan abad ke-20. Perkembangan yang begitu cepat dan kadang-kadang sungguh revolusioner mengundang kalangan ilmiah untuk juga memikirkan implikasi-implikasi etisnya. Karena itu, bioetika dapat dipandang sebagai perluasan etika kedokteran yang tradisional. Dengan demikian, di satu pihak ada kesinambungan dengan tradisi etika kedokteran sejak zaman Hippokrates, tapi di lain pihak ada juga perspektif baru, bukan saja karena menyoroti masalah- masalah baru, melainkan juga karena ditandai ciri-ciri baru yang akan dibahas lagi lebih lanjut.

Go to top