Di antara kosa kata yang sangat penting dalam agama Islam ialah tiga serangkai Iman, Islam dan Ihsan. Pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti, bahwa Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempuma tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan menjadi mustahil tanpa iman, dan iman tidak mungkin tanpa inisial Islam.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa agama terdiri dari tiga serangkai unsur: islam, iman dan ihsan. Di dalam ketiga unsur itu teselip makna kejenjangan yaitu orang mulai dengan islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Islam
Didapat gambaran dalam surah Al Hujuraat ayat 14, ketika orang-orang Arab Badui mengakui “telah beriman”, tetapi Nabi diperintahkan Allah SWT untuk mengatakan kepada mereka, bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru berislam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka.
Jadi, iman lebih mendalam ketimbang Islam, sebab dalam konteks ayat itu, orang Arab Badui barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan “Islam”, yaitu “tunduk” atau “menyerah”. Kata al-Islam (umumnya) lebih dipahami sebagai nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Padahal, kata Islam sebetulnya banyak diketemukan dalam Kitab Suci, mengandung pengertian sikap pada sesuatu yaitu kepasrahan atau penyerahdirian kepada Tuhan. Sikap itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan.
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (al Islam)…. ” (QS. Ali Imran: 19).
Maka selain bermakna sebagai nama sebuah agama, perkataan al-Islam dalam ayat ini dapat juga diartikan secara lebih umum yaitu menurut makna asalnya: pasrah kepada Tuhan.
Iman
Pengertian iman secara umum yaitu sikap percaya dalam dimensi yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang mempercayai tentang sesuatu belaka, tetapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan.
Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi SAW, bahwa iman mempunyai (lebih dari) tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan (benda) berbahaya dijalan.
Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga dicerminkan dengan jelas, bahwa orang yang berzina tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika ia beriman.
Berdasarkan hal itu, sesungguhnya makna iman berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Hal ini dikuatkan oleh adanya riwayat mengenai orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al birr), yaitu seperti termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 177.
Ihsan
Disebutkan dalam hadits, “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau“.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ihsan menjadi puncak tertinggi dalam keagamaan manusia. la tegaskan, makna ihsan meliputi iman, sebagaimana iman meliputi Islam Dalam ihsan sudah terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah terkandung makna lslam.
Secara harfiah, ihsan berarti berbuat baik. Seorang yang berihsan disebut muhsin, sebagaimana orang beriman disebut mukmin, dan orang yang berislam disebut muslim.
Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan keagamaan, ihsan terkait erat dengan budi pekerti luhur atau akhlaq mulia Disabdakan oleh Nabi, bahwa yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling baik akhlaqnya. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Allah SWT atau Islam (muslim), orang yang berihsan disebutkan sebagai orang yang paling baik keagamaannya.
Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq mulia adalah sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari hadits masyhur, seperti: “Sesugguhnya aku (Muhammad) diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi“. Sabda Beliau lagi, bahwa yang memasukkan seseorang ke dalam surga ialah taqwanya kepada Allah S WT dan keluhuran budi pekertinya.
Sabda Nabi SAW: “Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan tidaklah beriman sebelum kamu saling mencintai. Maukah kamu aku beri petunjuk tentang sesuatu, yang apabila kamu kerjakan kamu akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam (perdamaian) di antara sesamamu! ”
Sesungguhnya makna-makna di atas terkandung dalam shalat kita, yang diawali dengan takbirat al-ihram sebagai dimensi vertikal pandangan hidup kita (iman dan taqwa, hablum minallah), yang diakhiri dengan ucapan salam/taslim sebagai dimensi horizontal pandangan hidup kita(amal shalih, akhkaq mulia, hablumminannas).