Mengenai Puasa dalam safar atau dalam perjalanan, Rasulullah saw. pernah memerintahkan kepada umatnya untuk memilih untuk berbuka maupun tetap melanjukan puasanya. Di lain waktu juga Rasulullah saw. mencontohkan kepada umatnya untuk berbuka. Dan di saat yang lain pula, Rasulullah saw. tetap berpuasa saat perjalanan. Mengapa hal ini begitu beragam? Mengenai hal ini, akan dibahas satu persatu.
A. BOLEH BERBUKA ATAU TETAP BERPUASA
Dalam perjalanan atau safar, seseorang boleh memilih tetap berpuasa atau memilih berbuka, disesuaikan dengan kondisi yang dialami ketika berpuasa. Apabila dalam safar, orang yang berpuasa merasakan kesusahan, maka ia boleh berbuka dan apabila ia merasa kuat, ia boleh tetap berpuasa. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw.:
Dari Aisyah r.a bahwa Hamzah Al-Aslami r.a pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. katanya:”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang laki-laki yang berpuasa terus. Bolehkah saya berpuasa dalam perjalanan?”. Beliau bersabda: “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau”. (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Sunan Abu Daud)[1]
B. MEMILIH BERBUKA PUASA.
Seseorang boleh berbuka puasa ketika safar, apabila dalam perjalanannya terasa berat. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika melihat pengikut beliau yang tidak kuat untuk berpuasa.
- ‘an ‘abbâsin qôla: shôma Rosûlullôhi ‘alayhi wa sallam fis-safari wa afthoro-
Dari Ibnu Abbas r.a berkata: “Rasulullah s.a.w berpuasa dalam perjalanan dan beliau berbuka”.[2]
C. MEMILIH TETAP BERPUASA.
Dari Sinan Bin Salamah bin Muhabbaq Al-Hudzali, dari ayahnya r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Barangsiapa punya kendaraan yang membawanya pergi ke (tempat) ke (jarak dekat), maka berpuasa Ramadhan-lah dia, dimana saja dia mendapatkannya”[3].
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain …….” (Al Baqarah: 185)
Syariat pada hakikatnya tidak menetapkan suatu batasan. Batas itu ditetapkan pada hati tiap-tiap orang. Di samping itu, jika kita telaah lebih jauh mengenai hal ini, ternyata tidak satupun riwayat dari Nabi saw .maupun sahabat yang menggunakan satuan ukuran meter atau kilometer untuk mengukur jarak ini. Namun yang perlu dipahami bahwa safar (bepergian) itu dinamakan safar menurut bahasa dan kebiasaan (urf), yang di dalamnya diperbolehkan mengqasar shalat sebagaimana diperbolehkan musafir berbuka puasa. Inilah yang ditetapkan Al Quran dan As-sunnah bahwa yang bersangkutan boleh memilih untuk berpuasa atau tidak.
Hukum itu berlaku bagi orang yang mengalami kepayahan, sedangkan bagi yang tidak mengalaminya boleh memilih sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, yaitu boleh berpuasa dan beleh berbuka. Mengenai mana yang lebih utama, berpuasa atau berbuka, Umar bin Abdul Azis berkata, “Mana yang lebih mudah, maka itulah yang lebih utama.” Dari Hamzah bin Amir Al islami bahwa dia berkata kepada Rasullullah saw. “Saya kuat berpuasa dalam safar, maka apakah saya berdosa (karena puasa itu)?” Rasulullah saw menjawab,
- Hiya rukhshotullohi, faman akhodza bihâ fahasan, wa man ahabba an yashûma falâ junâha ‘alayh-
“Itu adalah rukshah (kemurahan) dari Allah untukmu: maka barang siapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa atasnya”. (HR. Nasa’i) [4]
D. MENURUT MADZHAB YANG EMPAT
Hanabillah
Apabila orang yang berpuasa melakukan perjalanan dari negerinya diwaktu siang, sekalipun telah tergelincirnya matahari yang membolehkan qashar dalam salat maka ia boleh berbuka, akan tetapi yang lebih utama adalah menyempurnakan puasa.
Syafi’iyah.
Seorang musafir boleh berbuka puasa jika ia terus menerus dalam perjalanan, jika ia terus menerus dalam perjalanan haram baginya berbuka puasa kecuali dengan puasa itu ia mendapatkan kesulitan seperti ketika seseorang menghadapi kesulitan yang membolehkan orang bertayamum.
Malikiyah.
Jika pada malam hari ia telah berniat puasa, apabila ia membatalkan puasanya ketika dalam perjalanan ia harus mengqadha-nya dan membayar kafarat.
Hanafiah
Sama dengan Malikiyah, namun yang membedakan-nya tanpa kafarat.[5]
E. MENURUT HAZRAT MASIH MAU’UD AS.
Syara’ pada hakikatnya tidak menetapkan baginya suatu batasan Batasan itu diberikan pada hati tiap-tiap orang. Pengkajian terhadap berbagai fatwa, syara’ dan pengamalan. Hz.Masih Mau’ud a.s memberikan batas safar itu 11 mil atau +17 km.[6]
Jadi, apabila dihubungkan dengan keadaan sekarang, yang mana sarana transportasi begitu canggih, apabila kita merasa bahwa perjalanan yang kita lalui itu begitu berat, walaupun jaraknya tidak jauh, maka kita diperbolehkan mengqadha puasa kita dan sebaliknya, apabila perjalanan itu jauh, namun kita merasa bahwa puasa itu mudah kita, maka kita pun diperbolehkan untuk tetap melaksanakan-nya. Singkat kata, kita hendaknya berpuasa sesuai dengan situasi dan kondisi atas diri kita, karena Allah tidak membebani kepada hambanya dengan beban yang tidak bisa dipikulnya.
Sedangkan mengenai batas sakit itu adalah apabila seluruh tubuh merasa tidak nyaman atau salah satu anggota badan terasa sakit sehingga seluruh tubuh menjadi sakit seperti demam dan sakit mata.[7]
Catatan Kaki:
[1] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN ABI DAUD III, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 225-226, Bab Puasa dalam perjalanan, Hadits no.2295
[2] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II, Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hlm. 452, Bab Puasa dalam perjalanan, Hadits No. 1661
[3] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN ABI DAUD III, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 231, Bab Memilih berpuasa, Hadits No.2303
[4] ?
[5] Abdur Rahmad Al Jaziri, FIQIH EMPAT MADZHAB IV, cet I, Jakarta:Darul ‘Ulum Press, 1996, hlm. 63-64
[6] Hazrat Hafiz Roshan Ali, diterjemahkan: R. Ahmad Anwar, FIQIH AHMADIYAH, Bogor:Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1989, hlm. 91
[7] ibid