Ibadah

Tata Cara Wlimah | Kewajiban Mengadakan Walimah

Wajib mengadakan walimah setelah dhukul(bercampur), berdasarkan perintah Nabi saw. kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a. agar menyelenggarakan walimah sebagaimana telah dijelaskan pada hadits berikut. Dari Buraidah bin Hushaib bertutur, ”Tatkala Ali melamar Fathimah r.anha, berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.” (Shahih Jami’us Shaghir no:2419 dan al-Fathur Rabbani XVI:205 no:175).

Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam penyelenggaraan walimah.

a. Hendaknya walimah dilaksanakan dalam tiga hari, setelah dhukhul (bercampur), karena perbuatan inilah yang dinukil dari Nabi saw. dari Anas r.a. bertutur, “Nabi saw. menikahi Syafiyah dan menjadikan pemerdekaannya sebagai maharnya dan mengadakan walimah selama tiga hari.” (Sanadnya Shahih: Adabuz Zifaf hal.74, diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad hasan sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul Bari, IX:199 dan yang sema’na diriwayatkan Imam Bukhari sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Bari IX:224 no:1559. Demikian menurut Syaikh al-Albani.

b. Mengundang orang-orang yang shalih baik fakir maupun kaya, karena Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan orang mukmin. Dan Jangan (pula) menyantap makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no:7341, ‘Aunul Ma’bud XIII:178 no:4811 dan IV:27 no:2506).

c. Hendaknya mengadakan walimah, dengan memotong seekor kambing atau lebih, bila mampu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. yang ditujukan kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a., ”Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (Muttafaqun ’alaih).

Dari Anas r.a. berkata, ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. mengadakan walimah untuk pernikahan dengan seorang wanita sebagaimana yang beliau adakan ketika kawin dengan Zainab dimana beliau menyembelih seekor kambing.” (Muttafaqin ’alaih: Muslim II:1049 no:90 dan 1428, dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IX:237 no:5171, dan Ibnu Majah I:615 no:1908).

Boleh menyelenggarakan acara walimah dengan hidangan yang mudah didapatkan walaupun tanpa daging berdasarkan hadits Anas.

Dari Anas r.a. berkata, ”Nabi saw. pernah menginap tiga hari di suatu tempat antara Khabir dan Madinah untuk menyelenggarakan perkawinan dengan Shafiyah binti Huyay. Kemudian aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah Beliau. Dan tidak didapatkan dalam walimah tersebut ada roti ada daging, lalu diatasnya diletakkanlah korma kering dan minyak samin. Sehingga hidangan itu menjadi walimah Beliau.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:224 no:1559 dan lafadz ini baginya, Imam Bukhari, Muslim II:1043 no:1365 dan Nasa’i VI:134).

Tidak boleh mengkhususkan undangan hanya untuk orang-orang kaya, tanpa orang-orang miskin, Nabi saw bersabda, ”Seburuk-buruk hidangan ialah hidangan walimah. Dimana orang yang berhak mendatanginya (orang yang berhak mendatanginya: orang miskin) dilarang mengambilnya, sedangkan orang yang enggan mendatanginya (Orang yang enggan mendatanginya: orang kaya (peng..)) diundang (agar memakannya). Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim II:1055 no:110/1432, dan diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim juga dari Abu Hurairah secara mauquf padanya bisa dilihat dalam Fathul Bari IX:244 no:5177).

Orang yang diundang ke walimah wajib menghadirinya, berdasar hadits di atas dan sabda Nabi saw., ”Jika salah seorang diantara kalian diundang menghadiri walimah maka hendaklah ia menghadirinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:230 no:5173, Mulim II:1052 no:1429 dan ’Aununl Ma’bud X:202 no:3718).

Seyogyanya orang yang berpuasapun menghadiri undangan walimah karena ada sabda Nabi saw., “Apabila seorang diantara kamu diundang menghadiri undangan makan, maka hendaklah hadir. Jika ia sedang tidak berpuasa maka makanlah; jika sedang berpuasa maka berdo’alah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir: 539, Baihaqi VII:263 dan ini lafadznya, Muslim II:1054 no:1431, ’Aunul Ma’bud X:203 no:3719 dan 18).

Disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa sunnah hendaknya berbuka, terutama bila orang yang mengundang sangat mengharapkannya. Berdasarkan hadits Nabi saw. bersabda, ”Jika salah seorang diantara kamu diundang makan, maka penuhilah jika ia mau ia makan dan jika tidak ia tinggalkan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1955, Muslim II:1054 no: 1430 dan ’Aunul Ma’bud X:204 no:3722).

Bagi orang yang menghadiri undangan walimah, dianjurkan melaksanakan dua hal berikut ini:

Pertama: setelah acara berakhir, dianjurkan berdo’a untuk tuan rumah dengan redaksi do’a yang bersumber dari Nabi saw. Do’a-do’a untuk ini, banyak diantaranya ialah ”ALLAAHUMMAGHFIR LAHUM WARHAMHUM, WABAARIK LAHUM FIIMAA RAZAKTAHUM (Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) mereka dan rahmatilah mereka, serta limpahkanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada mereka.” (Shahih Mukhtashar Muslim no:1316, Muslim III:1615 no:2042, ’Aunul Ma’bud X:195 no:3711).

“ALLAHUMMA ATH’IMMAN ATH’MAN ATH’AMANII, WASQIMAN SAQAANII (Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberikan makan dan berilah minum bagi orang yang memberiku minum).” (Shahih Musmil III:1630 no:2055)

“AKALA THA’AAMAKUMUL ABRAARU WA SHALLAT’ALAIKUMUL MALAA-IKATU, WA AFTHARA ‘INDAKUMUSH SHAA-IMUUNA (Orang-orang yang berbakti dengan tulus telah menyantap makananmu, para malaikat telah berdo’a untuk kamu, dan mereka yang berpuasa (sunnah) telah berbuka di (rumah)mu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:1226 dan ‘Aunul Ma’bud X:333 no:3836).

Kedua: Berdo’a, memohon barakah dan kebaikan untuk tuan rumah dan juga isterinya, sebagaimana yang disinggung dalam pembahasan ucapan tahni-ah dalam pernikahan.

Dilarang menghadiri undangan yang terdapat padanya kemaksiatan kecuali bermaksud hendak mengubahnya dan berupaya memberantasnya. Jika tidak, maka haram menghadirinya. Dalam hal ini banyak sekali hadits Nabi saw. diantaranya, dari Ali ra ia berkata, ”Saya pernah memasak makanan lalu mengundang Rasulullah saw., lantas Beliau datang lalu melihat di dalam rumah terdapat lukisan maka beliau pulang lalu Ali bertanya: ”Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan engkau pulang?” Maka Rasulullah saw. bersabda, ”Sesungguhnya dalam rumahmu terdapat gorden yang banyak lukisan dan sesungguhnya para malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang didalamnya banyak gambarnya.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:2708, Ibnu Majah II: 1114 no:3359).

Beberapa hal diatas sudah biasa dipraktikkan generasi salafush shalih ra.

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr bahwa ia pernah dibuatkan makanan oleh seseorang, lalu Ia diundang olehnya, maka ia bertanya, ”Apakah di dalam rumahmu ada gambar?” Jawabnya, ”Ya, (ada) Maka ia enggan masuk sebelah sebelum gambar itu dirusak. (Setelah dirusak), kemudian ia masuk,” (Sanadnya Shahih Adabuz Zifaf hal.93. dan Baihaqi VII:268). (Bisa dilihat juga dalam Fathul Bari IX:158 no:5181 (Penterj.)).

Imam Bukhari bertutur : Ibnu Umar pernah mengundang Abu Ayyub, lalu ia melihat gorden (bergambar) di rumah (Ibnu Umar), kemudian Ibnu Umar berkata: ”(Wahai Abu Ayyub) kaum wanita memaksa kami masang gorden ini.” ia berkata,”Adakah orang yang aku takuti, maka aku tidak takut kepadamu. Demi Allah aku tidak akan menikmati, hidanganmu ini.” kemudian ia kembali pulang. (Fathul Bari IX:249).

Sang suami boleh bersikap toleran kepada para wanita dalam proses walimatul ’urusy untuk mengumumkan pesta pernikahan dengan memukul rebana, atau dengan lantunan lagu-lagu yang mubah, dimana di dalamnya tidak terkandung promosi kecantikan dan tidak pula untaian kata-kata yang jorok. Dalam hal ini banyak hadits Nabi saw yang menjelaskannya diantaranya:

Nabi saw bersabda, ”Umumkan pernikahan!” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1537 dan Shahih Ibnu Hibban hal.313 no:1285).

Sabda Beliau lagi, ”Perbedaan antara yang halal dan yang haram adalah rebana dan suara dalam pesta pernikahan.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1538, Nasa’i VI:127, Ibnu Majah II:611 no:1896, Tirmidzi II:275 no:1094 tanpa kata FIN NIKAH).

Dari Khalid bin Dzakwan, bahwa ar-Rubayyi binti Mu’awidz bin Afra’ bertutur: Nabi saw. datang masuk (ke rumahku) di hari pernikahanku lalu Beliau duduk didepanku seperti cara dudukmu denganku. Kemudian para perempuan kecil yang kami undang mulai memukul rebana dan mereka menyebut-nyebut kebaikan ayah yang gugur pada waktu perang Badar. Seorang di antara mereka berkata, ”Diantara kita ada, seorang nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi esok.’ Kemudian Beliau saw. bersabda, ”Biarkan perempuan ini, Katakanlah apa saja yang hendak kau katakan.” (Shahih: Adabuz Zifaf hal.108, Fathul Bari IX:202 no:5147, ’Aunul Ma’bud XIII:264 no:4901, Tirmidzi II:276 no:1096).

“Dan menurut sunnah (Nabi saw) apabila seseorang menikahi seorang gadis, bukan janda, maka ia menetap di rumahnya selama tujuh hari dan kemudian membagi giliran. Dan jika ia menikahi seorang janda bukan perawan, maka ia menetap di rumahnya tiga hari, kemudian membagi gilirannya.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Qilabah dari Anas r.a. dan Abu Qilabah berkata ”Kalau aku mau, niscaya kukatakan: ’Jika saya lupa niscaya saya marfu’kan kepada Nabi saw.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:314 no:5214, Muslim II:1084 no:1461, ”Aunul Ma’bud VI:160 no:2110, Tirmidzi II:303 no:1148).

Sang suami wajib mempergauli isterinya dengan cara yang baik dan berjalan dengannya sesuai dengan apa yang telah Allah halalkan baginya, terutama bila sang isteri masih muda. Dalam hal ini banyak hadits Nabi saw, diantaranya, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang terbaik di antara kalian kepada keluarga dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.” (Shahih Jami’us Shaghir: no:3266 dan Tirmidzi V:369 no:3985).

Sabda Beliau lagi, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3265 dan Tirmidzi II:315 no:1172).

Dalam kesempatan yang lain, Beliau menegaskan, “Seorang Mukmin tidak boleh membenci seorang isteri perempuan. Kalau toh ia tidak menyukai sebagian akhlaknya, maka ia pasti menyukai sebagian yang lainnya.” (Shahih: Shahihul Jami’us no:7741, Muslim II:1091 no:1469).

Dalam khutbah wada’ Rasulullah saw. Bersabda, ”Ketahuilah, sampaikanlah wasiat kebaikan dengan cara yang baik kepada kaum wanita sesungguhnya mereka (laksana tawanan perempuan) di sisi kalian dan kalian tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap mereka selain hal itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka (terbukti) melakukannya, maka hendaklah kalian pisah ranjang dengan mereka dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka kembali ta’at kepada kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh isteri kalian dan mereka pun memiliki hak yang wajib kalian tunaikan. Adapun hak kalian yang harus mereka tunaikan ialah janganlah sekali-kali mereka mengizinkan orang yang kalian tidak sukai menyendiri bersama kalian dan jangan (pula) mereka mempersilakan orang yang kalian benci (masuk) ke rumah kalian. Dan hak mereka yang wajib kalian tunaikan adalah hendaklah kalian bersikap baik (tulus) kepada mereka dalam hal, menyediakan pakaian dan makanan mereka.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1501, dan Tirmidzi II:315 no:1173).

Wajib bagi seorang suami untuk bersikap adil dan proporsional terhadap isteri-isterinya dalam hal makanan, tempat tinggal, pakaian dan giliran serta lain-lain yang berhubungan dengan materi. Jika ternyata ia lebih mengutamakan salah satu di antara mereka, maka ia terkena ancaman keras yang termaktub dalam sabda Nabi saw. , ”Barangsiapa yang memiliki dua isteri sedangkan ia condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat (kelak) dalam keadaan tergeletak salah satu dari dua bagian tubuhnya.” (Shahih Ibnu Majah no:1603, Ibnu Majah I:633 no:1969 lafadz ini milik Ibnu Majah, ’Aunul Ma’bud VI:171 no:2119 dan Tirmidzi II:304 no:1150, Nasa’i VII no:53).

Namun tidak mengapa manakala kecondongan itu hanya sebatas di dalam kalbu, mail qalbi (kecenderungan hati); karena hal ini diluar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Allah berfirman, ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-latung.” (QS. an-Nisaa’:129).

Sungguh Rasulullah saw. bersikap adil dan proporsional kepada para isterinya dalam hal materi. Beliau tidak membeda-bedakan antara mereka Padahal Aisyah ra adalah isteri Beliau yang paling dicintai:

Dari Amr bin ’Ash r.a. bahwa ia pernah diutus oleh Nabi saw. meminjam pasukan dalam perang Dzatus Salasil. Kemudian saya (Amr bin Ash) datang menemuinya lalu bertanya, ”(Ya Rasulullah), siapakah orang yang paling engkau cintai?” Jawab Beliau, ”Aisyah.” Kemudian aku bertanya (lagi), ”Kalau dari kalangan lelaki?” Beliau menjawab ”Bapaknya (Abu Bakar).” Saya bertanya lagi), ”Kemudian siapa?” Sahut Beliau ”Kemudian Umar bin Khattab’ Lalu Rasulullah menyebutkan beberapa sahabat yang lain.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no:3046 dan Tirmidzi V:364 no:3972).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 556--567.

Go to top