Ibadah

Perkawinan Yang Tidak Sah (Bathil)

1. Nikah Syighar:

Nikah Syighar ialah seorang laki-laki mengawinkan puterinya, atau saudara perempuannya, atau selain keduanya yang termasuk di dalam kawasan perwaliannya dengan orang lain dengan syarat orang lain termasuk atau puterinya, atau putera saudaranya menikahkan dia (laki-laki pertama) dengan puterinya, atau saudara perempuannya, atau puteri saudara perempuannya, atau dengan yang semisal dengan mereka.

Akad nikah semacam ini, fasid (batal) baik disebutkan maharnya atau pun tidak. Sebab Rasulullah saw sudah mencegah kita darinya dan sudah (mengingatkan) mewanti-wanti agar kita waspada terhadapnya. Allah SWT berfirman, ”Dan, apa saja yang Rasulullah saw bawa kepada kalian, maka ambillah dan apa saja yang Beliau cegah kalian darinya, maka jauhilah.” (Al-Hasr:7).

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. pernah melarang kawin Syghar.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim no:8089 fathul Bari IX:162 no:5112, Muslim II : 1034 no:1415,dan Nasa’i VI:112).

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan:

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah mencegah (kita) dan kawin syighar. Nikah syghar itu adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki-

laki lain, “Nikahkan aku dengan puterimu, maka aku akan menikahkanmu dengan puteriku.” Atau “Nikahkan Aku dengan saudara perempuanmu, maka aku mengawinkan dengan saudara perempuanku.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no:808 dan Muslim II:1035 no:1416).

Nabi saw. bersabda, ”Sama tidak ada kawin syaghar dalam Islam.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7501, Muslim II:1035 no:60/1415).

Dengan demikian, hadits-hadits yang shahih ini dengan tegas menunjukkan tahrim (pengharaman) dan rusaknya nikah syghar dan ia menyelisihi syari’at Allah Ta’ala dan Nabi saw. tidak pernah membedakan antara nikah syighar yang maharnya disebutkan dengan yang tidak disebutkan maharnya sedikitpun.

Adapun apa yang terdapat dalam hadits riwayat Ibnu Umar (Mukhtashar Muslim no:808, Fathul Bari IX:162 no:5112, Muslim II:1034 no:1415 dan Nasa’i VI: 112) tentang penafsiran nikah syighar, yaitu seorang laki-laki menikahkan puterinya dengan dia dan kedua perkawinannya ini tidak memakai mahar. Penafsiran ini telah dijelaskan oleh ahli Ilmu bahwa perkataan tersebut berasal dari perkataan Nafi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Umar. Bukan berasal dari sabda Nabi saw. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan pengertian nikah syighar dalam hadits Abu Hurairah sebagaimana yang telah disebutkan diatas yakni seorang laki-laki menikahkan puterinya, atau saudaranya dengan orang lain dengan catatan orang tersebut mengawinkan dia dengan puterinya, atau saudara perempuannya dan beliau tidak mengatakan, dalam perkawinan in tidak ada mahar. Maka yang demikian itu menunjukkan bahwa ditentukan hukum nikah syighar itu. Sesungguhnya yang mengakibatkan fasad rusaknya perkawinan syighar ini adanya syarat mubadalah (tukar menukar), dan dalam praktik nikah (yang bathil ini) terdapat kerusakan yang besar karena perkawinan semacam ini mengakibatkan pemaksaan terhadap para wanita menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya, untuk mengutamakan kepentingan para wali dan mengabaikan kemashlahatan kaum perempuan. Yang demikian itu adalah perbuatan mungkar dan tindak kedhaliman terhadap para wanita dan hal itu juga mengakibatkan terhalangnya kaum wanita untuk mendapatkan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mempraktikkan akad yang mungkar lagi keji ini, kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah. Sebagaimana hal itu pula sering kali mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah perkawinan. Dan ini adalah bagian dari sanksi yang diberikan Allah dengan cepat bagi orang-orang yang menyelisihi syari’at. (Lihat Risalah Hukmaus Sufa Wal-Hijab Wa Nikahisy Syighar oleh Samahatusy Syaikh Abdullah bin Baa ra).

2. Nikah Muhallil

Nikah Muhallil ialah seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang sudah ditalak tiga setelah berakhir masa iddahnya, kemudian dia mentalaknya lagi supaya mejadi halal kawin lagi dengan mantan suaminya yang pertama.

Praktik pernikahan ini termasuk dosa besar dan tergolong perbuatan keji, yang tidak diperbolehkan keras, baik kedua laki-laki yang bersangkuntan itu menentukan syarat ketika akad nikah atau mereka berdua sepakat sebelum terjadi akad nikah untuk segera mentalaknya kembali, atau salah satu dari keduanya berniat di dalam hatinya untuk mencerainya lagi. Pelaku pernikahan ini dila’nat oleh Rasulullah saw sebagaimana sabdanya:

Dari Ali r.a. berkata, ”Rasulullah saw. melaknat muhallil (yaitu orang yang menikahi seorang wanita dan menceraikannya dengan niatan supaya wanita itu menjadi halal kembali bagi suami yang pertama.) dan Muhallallahu (yakni orang yang meminta muhallil melakukan pernikahan tersebut mantan suami).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5101, ’Aunul Ba’bud VI:88 no:6062, Tirmidzi II:294 no:1128 dan Ibnu Majah I: 622 no:1935).

Dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kujelaskan kepada kalian tentang kambing hutan pinjaman?” Para sahabat menjawab, “Mau, ya Rasulullah,” Lanjut Beliau “Yaitu muhallil, Allah telah mela’nat muhallil dan muhallallah,” (Hasan: Shahih: Ibnu Majah no:1572, Ibnu Majah I:623 no:1936 dan Mustadrak Hakim II:198 serta Baihaqi VII:208).

Dari Umar bin Nafi’ dari bapaknya bahwa ia bertutur, “Telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Umar r.a. lalu bertanya kepadanya perihal seorang suami yang menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya. Kemudian saudara laki-laki menikahinya, tanpa perintah darinya agar wanita itu menjadi halal kembali bagi saudaranya (yaitu suami pertama). Lalu apakah wanita itu halal bagi suami yang pertama itu? Maka jawab Ibnu Umar, ”Tidak (halal), kecuali nikah yang didasari cinta yang tulus. Dahulu, pada masa Rasulullah saw. kami menganggap pernikahan seperti ini perzinahan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil VI:311, Mustadrak Hakim II:199 dan Baihaqi VII:208).

3. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah disebut juga zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj munqaihl (kawin kontrak), yaitu seorang laki-laki menyelenggarakan akad nikah dengan seorang perempuan untuk jangka waktu sehari, atau sepekan, atau sebulan batasan-batasan waktu lainnya yang telah diketahui.

Dan ini adalah perkawinan yang sudah disepakati akan keharamannya dan jika seorang mengadakan akad nikah semacam ini berarti ia terjerumus pada perbuatan yang bathil (lihat Fiqhus Sunnah II:35).

Dari Sabrah ra, ia berkata, ”Kami pernah diperintah oleh Rasulullah saw melakukan kawin mut’ah pada tahun penaklukkan ketika kami masuk mekkah kemudian kami tidak keluar (meninggal Mekkah) sehingga, kami dilarang kembali dari kawin mut’ah.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:812 dan Muslim II:1023 no:1406).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 576 – 580.

Go to top