Muhasabah

muhasabah setiap detik hidup kita

Kebiasaan muhasabah (introspeksi diri) yang dilakukan oleh orang-orang

seiring dengan bergantinya tahun merupakan 'budaya' yang rutin

dikerjakan. Bahkan diantaranya ada yang beranggapan, hanya di akhir

tahun waktu yang cocok untuk memuhasabah diri seseorang. Di sisi lain

ada juga orang-orang yang menyepelekan muhasabah ini, sehingga tidak

punya keinginan untuk memperbaiki dirinya.

Menyepelekan introspeksi diri dalam segala hal, dapat menyebabkan kehancuran pada diri seseorang. Mengapa

demikian? Pertama, karena orang seperti itu banyak mengikuti hawa nafsunya sehingga tertipu dengan kenikmatan

dunia. Kedua, biasanya mereka menyandarkan diri kepada ampunan Allah ÓÈÍÇäå æÊÚáì saja, sehingga tidak lagi peduli untuk

mengintrospeksi dirinya sendiri. Lalu bagaimana pandangan Islam yang benar dalam mengintrospeksi diri?

Pentingnya Bermuhasabah

Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya,

muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang Muslim menilai dirinya,

apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam

kehidupan sehari-hari. Dia mesti objektif melakukan penilaian, dengan menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai

landasan utama untuk melakukan penilaian, bukan berdasar keinginan hawa nafsunya.

Idealnya seorang muslim melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari

ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa

banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa

waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat

adanya bencana. Taruhlah jika anggapan itu benar, maka bagaimana nasib orang yang ketika hidupnya belum sempat

mendapatkan “akhir tahun”? Wallahul Musta’an.

Abdul Aziz bin Abi Rawwad menyatakan bahwa manusia ada 3 golongan:

1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Maksudnya, amal perbuatannya hari ini lebih baik dari

hari kemarin.

2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin. Dengan demikian, amal perbuatannya hari ini sama dengan

hari kemarin.

3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Ini berarti, amal perbuatannya hari ini lebih sedikit atau

dosa yang diperbuatnya lebih banyak dari hari kemarin.

Maka dimanakah kita diantara ketiga golongan tersebut?

Metode yang bagus untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu

mengintrospeksi dirinya. Hal itu pun telah banyak disebutkan oleh para ulama, di antaranya Hasan al-

Wahdah Islamiyah

http://www.wahdah.or.id/wis Powered by: Joomla! Generated: 12 December, 2008, 05:41

Bashri—rahimahullah—berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya sendiri karena

Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia.

Sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi."

Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhud dan at-Tirmidziy dalam Sunannya meriwayatkan secara mauquf dari Umar bin

Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata,

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang! Sesungguhnya

berinstropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab kemudian hari.”

Begitu juga dengan hari ‘aradh (diperlihatkanya amalan seseorang) yang agung. Allah SWT berfirman (artinya),

"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah

dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh… . (QS. Ali Imran: 30).

Jadi benarlah adanya, bagi setiap orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir untuk tidak melupakan

introspeksi kepada dirinya, kerena dari situ seseorang bisa mengetahui kinerjanya dalam beramal shaleh dan

bermaksiat.

Muhasabah Sebelum Beramal dan Sesudah Beramal

Sebelum kita berbuat (beramal), sebagai orang yang mempunyai akal, tentunya kita berpikir bahwa untuk memulai suatu

pekerjaan bagusnya bagi setiap orang itu menanyakan kepada dirinya terlebih dahulu. Untuk apa sebenarnya dia

melakukan amalan tersebut? Dan untuk siapa dia melakukannya? Karena begitu banyak orang yang tergesa-gesa

melakukakan suatu pekerjaan tanpa memikirkan mudharat dan maslahatnya, sehingga ketika telah melakukan pekerjaan

tersebut barulah dia menyesali perbuatannya. Ada kaedah yang menyebutkan:

Barang siapa yang tergesa-gesa untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan hal tersebut (berkhayal tanpa usaha mewujudkannya).

Muhasabah sebelum beramal, juga berkaitan dengan apa yang telah disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya yaitu bab Al 'Ilmu Qablal Qauli wal 'Amal (berilmu sebelum berkata-kata dan beramal). Oleh karena itu, seyogyanya setiap orang mengetahui ilmunya terlebih dahulu kemudian beramal dengannya. Apakah lagi itu perkara agama, maka wajib hukumnya bagi setiap kaum Muslimin untuk mengetahuinya.

Jadi muhasabah sebelum beramal adalah hendaknya setiap orang berhenti sejenak dan merenungkan di saat pertama

munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu, tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa

melakukannya lebih baik dari pada meninggalkanya. Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, "Seorang hamba berpikir di

saat pertama ia ingin melakuan sesuatu. Jika itu karena Allah, ia lanjutkan. Dan jika bukan karena-Nya, ia

menangguhkannya."

Wahdah Islamiyah

http://www.wahdah.or.id/wis Powered by: Joomla! Generated: 12 December, 2008, 05:41

Dan perkataan Hasan al-Bashri ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu Rasulullah SAW bersabda:

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam”

Imam An-Nawawi memaknai hadits di atas dengan maksud, “Jika seseorang ingin berbicara dan pembicaraannya adalah sesuatu yang baik, benar, berpahala, baik wajib maupun sunnah, maka silahkan ia bicara. Tetapi jika belum jelas baginya bahwa pembicaraan itu baik dan berpahala, maka hendaknya ia diam, baik itu pembicaraan yang haram, makruh, atau pun mubah.”

Imam As-Syafi’i juga memahami makna hadits di atas, "Jika seseorang ingin berbicara hendaknya ia merenungkannya.

Bila jelas tidak ada mudharatnya/keburukannya, berbicaralah ia. Namun sebaliknya, bila jelas baginya mudharat hendaknya ia tidak berbicara."

Sebagian ulama salaf lainnya juga menjelaskan perkataan Hasan al-Bashri di atas, yaitu ketika seseorang tergerak

untuk melakukan sesuatu amalan, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak?

Jika tidak ada kemampuan untuk itu, hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir ulang, apakah

melakukannya lebih baik dari pada meninggalkannya, ataukah sebaliknya? Jika yang ada adalah kemungkinan yang

kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Akan tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor

pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah ÓÈÍÇäå æÊÚáì dan pahala-Nya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan,

pujian dan harta benda semata?

Maksud dari semua itu, hendaknya setiap orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan memuhasabah dirinya terlebih

dahulu sebelum mengamalkannya agar pelakunya tidak sia-sia mengerjakan perbuatan tersebut.

Hidup di Dunia Hanya Sementara

Firman Allah SWT (artinya):

"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (QS. Al-Anbiyaa': 1).

Alangkah beruntungnya siapa pun yang saat ini semakin tersentakkan kesadarannya bahwa satu hal yang paling penting dalam hidup ini ialah ketika mengetahui kehidupan di dunia hanya sementara. Ya, hidup ini hanya satu kali. Adapun ujung dari perjalanan hidup ini hanyalah salah satu: "Surga atau neraka". Tidak ada yang lain. Orang tua, istri, suami, anak-anak, dan siapa pun orang-orang yang kita cintai, pun akan menghuni salah satu dari dua: Surga atau neraka.

Surga hanya diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang ketika hidup di dunia benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia amat menjaga apa pun yang Allah inginkan. Dia amat memelihara apa pun yang Allah perintahkan. Ini

Wahdah Islamiyah

membuat Allah SWT senang kepada orang tersebut. Sehingga ketika hidup di dunia hatinya selalu dibahagiakan. Kebutuhannya dicukupi. Kesulitannya dimudahkan. Bahkan Allah SWT akan mendatangkan rezki untuknya dari arah yang tidak disangka-sangka.

Allah SWT pun menolongnya setiap kali orang itu membutuhkan pertolongan. Allah SWT pun mengangkat derajat kemuliaannya, sehingga tidak dapat diruntuhkan oleh siapa pun jua. Allah akan membuat dunia ini bertekuk lutut kepadanya dan menghamba melayaninya.Bila saat ajalnya tiba, maka Allah akan mencabut nyawa orang yang taat penuh dengan keindahan dan kelezatan husnul khatimah. Ketika jasadnya dimasukkan ke lubang kubur, maka kubur itu

akan menyambutnya bagaikan seorang ibu yang amat merindukan anaknya yang telah lama tak bersua. Kubur akan mendekapnya penuh dengan kehangatan dan kemesraan. Tidak ada siksa kubur baginya. Tidak ada padang mahsyar yang menyakitkan. Tidak pula siksa neraka jahannam. Semua itu diberikan khusus kepada siapa pun yang ketika hidup yang singkat di dunia ini, ia menjaganya dengan sebaik-baiknya.

Akan tetapi, Allah pun menyediakan neraka jahannam, yang nyalanya berkobar-kobar. Kalau manusia berdiri di atas bara api dunia, maka api itu hanya akan membakar telapak kaki. Lain lagi api neraka. Bila seorang manusia berdiri di atas bara api neraka, atau bahkan hanya mengenakan sandal penghuni neraka, maka telapak kaki yang menempel itu akan membuat kepalanya mendidih. Neraka disediakan bagi orang-orang yang tidak menyadari kedudukan mereka di hadapan Allah, bahwa dirinya itu adalah ciptaan Allah SWT, milik Allah dan pasti kembali kepada Allah SWT. Wallohul Haadi Ilaa Sawaa-is Sabiil.

-Abdul Rasyid Yusuf el Makassary_

Wahdah Islamiyah

Go to top