Seorang anak adalah ibarat kertas putih. Apa yang tergambar, sedikit banyak adalah pengaruh dari goresan orang tua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan yang kondusif, maka akan lahir darinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan dilingkungan yang buruk, maka akan lahir darinya kepribadian yang buruk. Setiap anak memiliki karakter khas yang merupakan hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa juga berupa karakter yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah, bisa juga karakter yang mudah sekali untuk diubah.
Karakter anak yang dibesarkan dengan sentuhan kasih seorang ibu, umumnya berbeda dengan karakter mereka yang tidak atau jarang mendapatkannya. Salah satu hikmah perintah Nabi Saw untuk menyayangi anak yatim, bisa dikaitkan dengan kondisi tersebut. Anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan yang utuh tentang kepada siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan kasih sayang. Oleh karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan kepada hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.
Anak yang tidak atau jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang, adakalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi sebuah kemajuan atau kesuksesan. Salah satu penyebabnya adalah karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai misal persepsi anak tentang sabar. Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar. Namun karena penanaman yang kurang tepat, kesabarannya itu tidak berbuah pada kegigihan/kemandirian dalam menjalani kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang, seorang hamba Allah dituntut untuk bersabar.
Namun apakah anak yang kurang mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang tidak mendorong pada kesuksesan? Data empiris menunjukkan tidaklah selalu demikian. Bahkan kita menyaksikan banyak anak yang tumbuh dengan belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", namun dia tumbuh dengan kepribadian yang labil.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang terlahir yatim, yang 6 tahun kemudian ibu beliau wafat menyusul kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber motivasi. Beliau adalah sosok yang tidak banyak mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari orang tuanya, namun demikian pribadi dan akhlak yang muncul dari diri beliau adalah pribadi indah yang mempesonakan. Tentu semua itu adalah karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang dengan sifat ar Rahman dan ar RahimNya, mengungguli sentuhan dan kasih sayang seorang ibu yang terbaik sekalipun.
Oleh karenanya kehilangan seorang ibu, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski terasa berat, kehilangan seorang ibu adalah bentuk ujian agar seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang seorang ibu di dunia ini.
Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari cintaNya. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka diutuslah seorang ibu. Seorang ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia merasa bahwa kehadirannya adalah amanah dariNya, sehingga ia berusaha mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan imbal jasa, pamrih, atau menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena pemilik segala puji hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.
Bagi kita selaku seorang anak, kewajiban kita adalah mencurahkan bakti dan taat secara benar sesuai petunjuk-petunjuk yang diberikanNya demi mengharap ridhaNya. Karena ridha Allah adalah ridha orangtuanya. Dan kewajiban berbakti itu, adalah kewajiban yang melintasi batas waktu, tidak berarti selesai ketika ibu kita meninggalkan dunia.
Ada kisah menarik yang bisa menjadi cerminan. Ketika Rasulullah Saw wafat, sahabat Umar begitu sangat amat terpukul. Pijakannya hampir hilang ketika menyaksikan fakta bahwa sahabat dan pemimpin ummat yang amat sangat dikasihinya itu meninggal dunia. Dengan perasaan penuh guncangan emosi sambil menghunuskan pedang, beliau mengatakan, “Barang siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah wafat, akan aku penggal batang lehernya!”.
Untunglah, ditengah kondisi yang serba panik itu, tampillah Abu Bakar Asshiddiq menenangkan gunjangan jiwa kaum muslimin dengan membacakan firmanNya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS 3: 144).
Kemudian beliau berpidato, “Barang siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tidak pernah wafat.”
Pedang yang berada di genggaman tangan Umar perlahan-lahan mengendur kemudian jatuh. Jiwa kaum muslimin yang semula bergejolak panas berangsur-angsur mendingin. Semuanya tertunduk haru. Nada tangis yang semula meraung-raung menunjukkan ketidakridhaan atas fakta yang terjadi, berubah menjadi tangis isak yang tiada henti dengan kucuran air mata. Bertahun-tahun mereka bergaul dengan Rasulullah Saw, seakan baru kali inilah mereka menyadari bahwa Rasulullah Saw tidak lain adalah manusia seperti diri mereka yang bisa wafat kapan saja bila Allah SWT menghendaki.
Ya, siapapun yang menyembah manusia, meski sekaliber Muhammad Saw, maka ia pasti wafat. Pesona seorang ibu tidaklah melebihi pesona Muhammad Saw, kewajiban kita kepada seorang ibu tidaklah melebihi kewajiban kita kepada Rasululllah Saw. Maka, kematian seorang ibu janganlah menjadikan kita terguncang.
Boleh jadi kita bisa menerima hal ini. Bagaimana bila yang mengalaminya adalah anak-anak kecil yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang? Inilah teguran bagi kita untuk selalu memperhatikan anak-anak yatim. Memberi cinta sebagaimana kita merasakan cinta. Memberi kasih sayang sebagaimana kita menerima kasih sayang. Dan memberi mereka fondasi kesuksesan sebagaimana kita menerima kesuksesan.
Ajakan Nabi Saw untuk memuliakan anak yatim adalah ajakan agar kita menjadi “ibu” bagi mereka. Kita bimbing mereka agar mereka mengenal “ibu” yang sebenarnya, ibu dari segala ibu, yakni Allah SWT.