Muhasabah

Jalinan Hati di Tanah Suci

Entah bila tepatnya kami pertama kali berjumpa, namun hari itu kami duduk berdampingan di Masjidil Haram, di antara dua waktu shalat di bulan haji. Saya tidak tahu persis sejak kapan dia mulai duduk disebelah saya karena saat itu saya sedang khusuk dengan Al Quran di tangan. Sekeliling saya agak sepi. Sebagian jamaah memanfaatkan antara dua waktu shalat untuk ke luar masjid sekedar mengisi perut atau memperbaharui wudhu. Seperti biasa saya mengaji dengan suara rendah, namun suasana masjid yang sedang sepi tampaknya membuat orang yang duduk di sebelah saya dapat mendengar bacaan saya dengan cukup jelas.

"Saya suka bacaanmu….", begitu katanya kira-kira setelah saya menutup kitab suci dan tersadar akan dia -seorang ibu- yang kiranya sudah menyimak bacaan saya sejak tadi. Katanya dia teringat anaknya yang suka mengaji. Kemudian kami berkenalan dan obrolan kami pun mengalir begitu saja tentang banyak hal. Satu yang saya ingat bahwa salah seorang anaknya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama dengan saya. Sayang saya tak membawa apa-apa saat itu yang patut untuk saya berikan padanya sebagai tanda mata, namun alhamdulillah buku kecil dan pena di tas saya sempat saya sodorkan, berikut sebuah kartu nama yang terselip di dompet saya. Lalu kami bertukar alamat. Begitulah Allah mempertemukan kami.

Penggalan kejadian berikutnya sungguh saya lupa. Entah kapan dan bagaimana akhirnya kami berpisah dan tak sempat bersua lagi hingga ibadah haji berakhir.

Hampir dua tahun berlalu. Ibu itu kiranya tetap mendapat tempat di hati saya. Satu dari sekian banyak orang yang saya temui silih berganti selama dalam perjalanan haji. Pertemuan dengannya masih saya ingat meski tak banyak yang bisa saya lakukan. Hanya sekedar mengenang-ngenang. Buku kecil bertuliskan alamat yang dulu saya sodorkan padanya di Masjidil Haram kiranya tersimpan rapi di rak buku di rumah kelahiran saya. Ribuan kilometer jauhnya dari tempat saya berada sekarang. Ah, bahkan saya tak dapat memberitahukan pada ibu itu bahwa alamat saya telah berubah, setidaknya untuk sementara waktu, karena sepulang berhaji mendadak saya harus mendampingi suami melanjutkan pendidikan di negeri lain. Yah, mungkin suatu saat Allah akan memberi jalan bagi kami bersilaturrahim lagi, pikir saya jika terkenang padanya.

Saya tak menyimpan harapan terlalu tinggi untuk dapat berkomunikasi dengannya lagi. Setidaknya hingga saya dapat pulang ke tanah air dan mendaparkan kembali buku kecil saya itu. Hingga suatu hari belum lama ini sebuah email tak dikenal masuk ke mailbox saya. Tanpa nama, hanya alamat email muncul sebagai identitas pengirim di folder Inbox. Pertama melihat, saya nyaris mengabaikannya. Sempat saya berburuk sangka itu hanya "junk mail " yang seringkali langsung saya hapus tanpa tertarik untuk melihat isinya yang seringkali memang tak bermanfaat, malah bisa-bisa membawa virus yang membahayakan komputer bahkan otak saya! Namun subjectnya benar-benar menarik hati, "my Haji friend", begitu tertulis. Sontak saya teringat padanya dan dengan dag dig dug saya putuskan untuk membuka email itu.

Subhanallah…! Ternyata benar. Itu email dari dia. Fatima namanya, seorang ibu dari Cape Town, Afrika Selatan. Di emailnya ia bercerita bahwa ia sering teringat akan saya namun tak dapat menghubungi karena kartu nama yang dulu saya berikan tak ditemukannya. Lalu selama liburan musim panas tahun ini ia membuka kembali buku hariannya saat melaksanakan perjalanan haji. Dia kemudian membaca catatannya tentang pertemuan kami, dan menemukan kembali kartu nama bertuliskan alamat dan email saya terselip di buku itu. Begitulah, setelah hampir dua tahun, Allah mempertemukan kami kembali.

Sejak itu komunukasi kami tersambung kembali. Silaturrahim antar benua yang di awali di Tanah Suci. Saya sungguh mensyukuri Allah telah mempertautkan hati kami sedemikian rupa hingga kami saling mengenang dan berusaha untuk bertemu lagi, walaupun di dunia maya. Ah, bisa jadi kelak Allah akan benar-benar mempertemukan kami kembali di dunia nyata, inshaallah. Siapa tau jalan nasib suatu saat membawa saya ke selatan benua Afrika atau membawa sister Fatima ke depan pintu rumah saya dimana pun saya kelak berada. Atau tentunya akan indah juga jika kami dipertemukan lagi di tempat pertama kami berkenalan. Ah, saya mulai bermimpi…:)

Ya, siapa tau? Mungkin suatu saat saya akan kembali menulis tentang sister Fatima. Tentang persaudaraan kami dan reuni kami, entah di mana……

Go to top