Petang itu, saya melajukan sepeda motor menembusi jalan-jalan ibu kota yang selalu dilanda kemacetan, terutama pada saat jam berangkat dan pulang kantor. Menjelang suatu perempatan, laju kendaraan saya pelankan kemudian saya hentikan karena lampu lalu lintas di perempatan jalan raya itu menyala merah. Saya membuka kaca helm dan melihat ke arah langit. Nampaknya mendung mulai menaungi jalanan yang saya tempuh. Seorang anak kecil beranjak dari pinggir jalan menangadahkan tangan kepada para pengendara yang berhenti karena lampu merah itu. Tidak jauh di sebelah kanan saya adalah lintasan rel kereta api dari Tanah Abang menuju Manggarai, dan tidak jauh dari rel kereta api itu saya lihat sosok ibu yang tengah sibuk membuat tenda dari lembar-lembar plastik sebagai atapnya. Cuaca mendung rupanya menjadikan mereka segera bersiap membuat tempat perlindungan dari hujan yang bakal mengguyur mereka.
Saya tercenung dengan pemandangan yang boleh jadi lazim di tengah-tengah kehidupan metropolitan ini. Orang-orang yang tidak punya rumah, membangun tenda di lahan-lahan kosong di sepanjang jalan. Mereka membuatnya dari papan seadanya sebagai dindingnya, menjadikan kardus-kardus sebagai kasurnya dan plastik-plastik sebagai atap yang melindungi mereka dari terpaan air hujan. Tiang-tiang peyangganya adalah dari kayu atau bambu yang diikat dan dihubung-hubungkan dengan tali rafia. Disekitar rumah itulah – di mana banyak dijumpai persimpangan jalan dan lampu lalu lintas, mereka mengais kehidupan dengan menengadahkan tangan kepada para pengendara yang melintas. Jika sedikit kreatif mereka akan mengamen, atau menawarkan jasa “membersihkan” mobil dengan bulu kemoceng.
Dengan kehidupan yang minimalis seperti itu, apakah mungkin mereka mengenal kehidupan sekolah kecuali “sekolah alam”? Adakah mereka memiliki cita-cita melebihi keinginannya yang sekedar memburu sesuap nasi demi menghilangkan rasa lapar? Adakah pengetahuan dimilikinya selain yang ia lihat dan rasakan dari lingkungan sekitarnya? Seperti hingar bingar pemilu di USA misalnya, atau kesemarakan pilkada di berbagai belahan negeri ini, atau kontroversial UU Pilpres yang baru saja disahkan? Ah, saya merasa miris dan maaf, terlintas sebuah persepsi yang menyamakan mereka dengan kehidupan binatang. Astaghfirullah. Bukan karena bermaksud merendahkan, justru miris karena potensi kemanusiaan yang semestinya ada, terpasung oleh tekanan yang mereka hadapi. Jiwa saya ingin protes, kenapa sisi kemanusian yang seharusnya ada tidak tertampakkan? Bukankah setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan? Potensi ruhiyah dan fikriyahnya mereka seakan mati karena dominasi pemenuhan kebutuhan fisik yang masih terseok-seok dalam meraihnya.
Mereka adalah potret nyata dari orang-orang yang termarginalkan. Dan menjadi kewajiban kita secara kolektif untuk mengangkat kehidupan mereka agar lebih manusiawi dan bermartabat. Bermartabat di sisi kehidupan manusia dan bermartabat dalam pandangan Allah SWT.
Pikiran saya tertuju pada misi penciptaan manusia yang tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, menjadi khalifah di muka bumi, memakmurkan dan mensejahterakan manusia secara umum. Jika mereka merasakan tekanan kehidupan ekonomi yang begitu menghimpit sehingga tidak mampu untuk beribadah kepada-Nya, sungguh, kita telah menciptakan suatu kondisi yang merampas hak kemanusiaannya, yaitu hak untuk beribadah dan hak untuk mengekspresikan kebaikan kepada sesama. Karena pada fithrahya, manusia itu cenderung kepada kebaikan dan suka berbuat baik.
***
Di suatu tempat yang lain, saya membayangkan orang-orang selain mereka, namun mereka terampas pula dari misi kemanusiaan yang semestinya diembannya. Bukan oleh kemiskinan dan kepedihan hidup, justru oleh gelimangan harta yang melimpah ruah. Mereka adalah para pencinta dunia, yang membenarkan segala cara demi meraihnya dan tidak benar dalam membelanjakannya sesuai koridor yang ditetapkan-Nya. Tidak ada manfaat dari hartanya selain menjadikannya lupa dan mencegahnya dari beribadah kepada-Nya. Harta yang melimpah ruah itu justru makin menjauhkannya dari misi kemanusiaan untuk beribadah kepada-Nya, karena kesalahan prosedur dalam memilih cara memperoleh dan cara membelanjakannya.
Jika demikian, apa bedanya mereka dengan para gelandangan pengemis di pinggir jalan itu? Mereka sama-sama jauh dari misi hidup dan penciptaannya, sama-sama tidak tahu arah hidup yang harus ditujunya. Bedanya, para pengemis itu tinggal di tenda-tenda yang mudah roboh tertiup angin. Sedangkan para pecinta dunia itu tinggal digedung-gedung mewah lengkap dengan segala fasilitas dan securitynya.
***
Saya tersadar bahwa misi penciptaan kita sebagai manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Hanya untuk beribadah, bukan yang lain. Hanya ditujukan kepada-Nya, bukan selain-Nya. Demi mengingati misi tersebut, segala rasa capai dan payah karena aktivitas sepanjang pagi hingga malam menjelang, rasanya hilang begitu saja. Namun jika melalaikan misi itu, boleh jadi yang lahir adalah rasa gundah gulana, amarah dan kecewa karena kondisi yang tidak berpihak pada kenyamanan kita.
Bagi mereka yang diberi kemudahan rezeki, mengingati misi penciptakan manusia, membawa diri mereka kepada ketundukan kepada Rabb Sang Maha Pencipta. Lalu meluncurlah ungkapan syukur dan lahirlah tindakan-tindakan positif sebagai wujud dari kesyukuran tersebut.
Pada akhirnya fenomena petang yang saya jumpai di sepanjang jalan itu mengingatkan saya untuk senantiasa mengingat bahwa misi penciptaan saya adalah semata-semata untuk beribadah. Beribadah dalam arti luas tentu saja, yang berdampak positif pada perbaikan diri, keluarga, masyarakat, negara, dan kemanusiaan pada umumnya.
Semoga kita tetap berada dalam koridor misi agung tersebut. Amin.
Waallahua’lam bishshawaab