Kalau bukan lebaran, mungkin kita terlalu banyak berapologi untuk ketidakhadiran kita dalam silaturahim yang mengikat persaudaraan dan kasih sayang.
Apa yang biasa dilaporkan seputar lebaran mungkin sudah sangat familiar bagi kita: laporan lalu lintas serta embel-embel masalah keamanan dan ketertiban yang menyertainya. Sudah sangat banyak hal tersebut kita simak melalui berbagai media massa. Maka di kesempatan ini, penulis bermaksud mengajak para pembaca menelusuri kisah lain dalam suatu episode bernama lebaran, hari raya yang menggoreskan catatan perjalanan tak terlupakan.
Kami Memanggilnya “Mamih”
“Mamih”, begitu kami memanggilnya. Sebenarnya sama saja dengan kata “Mami”, tapi kami tambahkan “h” di belakangnya, karena kami memang orang Sunda, ejaan pun tipikal Sunda.
Mamih adalah anggota tertua di keluarga kami, tepatnya nenek buyut dari penulis. Usianya sudah lebih dari 80 tahun, namun ia tak pernah menyerah pada sesuatu bernama pikun yang biasa menyerang para orang lanjut usia di seluruh penjuru dunia. Ia memang sudah tak bisa banyak bergerak, namun di tempat tidurnya, ia masih berusaha melakukan banyak hal, termasuk dengan telaten menyiapkan bingkisan “angpao” lebaran bagi para cucu dan cicitnya. Hal yang luar biasa, ia masih bisa mengingat semua cucu dan cicitnya yang tak bisa dibilang sedikit.
Meskipun tempat tinggal penulis dan Mamih hanya berjarak tak sampai satu jam perjalanan, namun pertemuan penulis dengan Mamih kalau dipikir-pikir memang hanya setahun sekali, yaitu pada momen lebaran. Bahkan dalam keseharian, sosok Mamih jarang sekali hadir di benak maupun doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Ah, Mamih…maafkan aku… Betapa Mamih tak pantas mendapatkan sikap acuh seperti itu. Lebaran tahun ini pun, ketika tiba di rumah Mamih, penulis tak segera menemuinya, melainkan sibuk memilih makanan dan mengobrol di ruang tamu. Namun ternyata Mamih lebih dahulu mencari cicitnya yang tidak perhatian ini. Dan dengan senyum hangat ia menyambut dari atas tempat tidurnya, “Lebaran tahun lalu kamu lagi di negeri orang. Berarti udah dua tahun kan kita nggak ketemu? Dari tadi Mamih teh nyariin kamu…”
Tanpa terasa air mata menghujani pipi.
Jarak
Adalah jarak yang ada dalam begitu banyak perbedaan ini. Perbedaan usia dan mungkin juga peradaban. Penulis duduk bersebelahan dengan sosok yang dekat dalam hubungan darah, namun begitu jauh untuk sekedar menjadi akrab. Seperti inikah hasil dari jauhnya jarak desa dan kota? Juga peradaban dan gaya hidup yang memisahkannya, yang sejak bertahun-tahun lalu juga memisahkan penulis dengan sang kakek.
Kami, kakek dan cucu, duduk diam tak bicara. Masing-masing bingung akan topik apa yang hendak dibicarakan. Akhirnya kakek angkat bicara, bertanya mengenai kuliah juga hal-hal yang lebih pribadi. Penulis menjawab dengan canggung, juga dengan Bahasa Sunda yang agak putus-putus karena bahasa dengan orang yang lebih tua berbeda dengan bahasa sehari-hari. Percakapan berjalan alot dan lebih seperti basa-basi. Namun sepertinya tak demikian dengan maksud kami berdua. Kami yang dipisahkan jarak yang begitu jauh untuk sekedar menjadi akrab dan menunjukkan kasih sayang satu sama lain.
Kalau Bukan Lebaran...
Kalau bukan lebaran, kapan lagi? Kita biasanya sibuk dengan urusan masing-masing: sekolah, kuliah, bekerja. Kalau bukan lebaran, mungkin kita terlalu banyak berapologi untuk ketidakhadiran kita dalam silaturahim yang mengikat persaudaraan dan kasih sayang. Semoga lebaran yang hanya setahun sekali dapat mendekatkan yang jauh, mengeratkan yang renggang, dan mendamaikan yang bertikai.