Muhasabah

Jangan Tunggu Ramadan Berikutnya!



TERNYATA tidak hanya manusia saja yang menganggap waktu adalah sesuatu yang penting. Semesta raya yang terikat dengan waktu pun membuat setiap sendi pengisinya terikat dengan waktu.

Tumbuhan dan binatang, ritme hidupnya memperkirakan pergantian waktu. Mereka memperkirakan kapan pagi menjelang, malam menyongsong, musim dingin menyerang, atau musim panas merongrong. Hmm, apa sebenarnya waktu itu?

Waktu tak bisa dilihat. Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, hingga abad hanyalah simbol, bukan wujud dari waktu. Yang dirasakan hanyalah lama dan sebentar, itu adalah pengertian tentang waktu. Namun sadarkah kita bahwa waktu terus berlalu? Waktu pun terus berjalan dengan atau tanpa kejadian.

Ramadan yang tinggal beberapa pekan lagi adalah juga tentang waktu. Esensi dari waktu merupakan perubahan atau pergantian. Meski manusia tahu bahwa tidak perlu menunggu satu tahun untuk melakukan perubahan-perubahan dalam hidup. Ya, setiap saat adalah perubahan.

“Waktu mengubah segala-galanya kecuali sesuatu hal dalam diri kita, yang selalu kaget dengan perubahan,” kata seorang penyair Inggris, Thomas Hardy.

Waktu adalah anugerah. Permasalahannya, bagaimana kita memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan tentunya memiliki kemampuan untuk itu. Momen perubahan tidak hanya ada pada Ramadan menuju Lebaran saja atau momen-momen lain yang serupa.

Apalagi jika momen tersebut hanya kita gunakan sebagai ajang pelampiasan dari ketidakberdayaan atas kegagalan-kegagalan di masa lalu. Tak masalah menyulut petasan atau kembang api, yang penting setiap perbuatan yang mungkin sia-sia harus segera diiringi dengan kebaikan, agar waktu tidak sia-sia.

“Apa manfaatnya menyulut petasan atau kembang api?” Jika tidak bermanfaat, seperti kata Hardy di atas, akan selalu kaget dengan perubahan dan selalu menjadi orang yang tak siap atas perubahan.

Karena itu, lakukan revisi besar dalam hidup. Perjalanan hidup seseorang di suatu masa memang tak menjadi ukuran apa pun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain.

Sepotong episode hidup seseorang di suatu waktu, tak pernah menjadi ukuran bahwa dia juga akan menjadi orang yang sama dengan episode hidupnya di masa tertentu.

Manusia harus mempunyai waktu untuk segera merespons perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Revisi selalu membutuhkan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit.

Seperti perkataan Muhammad Natsir, “Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa (atau siapa pun) yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada satu masa akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.”

Betapa banyak orang yang tidak mau mengevaluasi dan merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus digerogoti usia, sampai jasadnya terus menerus dimakan waktu. Hingga akhirnya, dia tak mampu lagi melakukan perubahan yang berarti karena renta, atau karena usianya yang memang sudah selesai waktunya.

Betapa banyak orang yang tidak peduli dengan perguliran waktu dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa rencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tak memungkinkannya lagi untuk mengubah arah.

Betapa banyak di antara manusia yang membiarkan kehidupannya berlalu dengan produktivitas kebaikan yang rendah, sementara orang-orang lain telah memiliki saham kebaikan di mana-mana. Hidupnya berlalu dan berakhir begitu saja.

Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan mengalir seperti air. Apalagi jika menyadari, air selalu berbentuk seperti wadahnya, lalu jika wadahnya kemaksiatan, apakah kita rela terbentuk olehnya? Air juga mengikuti hukum gravitasi, ia akan turun, mencari tempat ke bawah, apakah kita mau terus-menerus turun?

Hidup harus direncanakan, diarahkan dan, dipelihara sedemikian rupa agar tujuan hidup benar-benar tercapai. Hidup harus pula direvisi, dibenahi, diubah jika perlu dan memang harus mengalami perubahan.

Agar hidup ini bisa seiring sejalan dengan semakin bertambahnya amal-amal saleh yang menjadi alurnya. Seperti apa yang dikatakan Utsman bin Affan RA,” Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf.”

Mari menghisab diri masing-masing. Perlukah merivisi hidup untuk mencapai tujuan hidup yang paling hakiki? Jika harus, bersegeralah, jangan tunda-tunda, jangan tunggu Ramadan berikutnya!

(Tim Rumah Zakat)

okezone.com

Go to top