Saya bersyukur mengenal Pak Malik Fadjar cukup lama, sehingga berbagai pelajaran penting dalam kehidupan dapat saya pelajari dari integritas beliau. Sejak menjadi mahasiswa, sekalipun secara formal tidak pernah mengikuti kuliahnya, saya mengenal beliau dengan baik. Sebelum saya lulus di IAIN Sunan Ampel Malang, saya mendapatkan kesempatan menjadi pegawai harian, yang bertugas sebagai staf administrasi di perpustakaan. Pak Malik sangat menggemari buku dan segala macam bahan informasi lain, yang mungkin dalam pandangan beliau, kegemaran seperti itu merupakan cara beliau, sekaligus cara memberikan pelajaran kepada generasi muda, untuk berlajar dari pengalaman (learning from experiences, learning from history), yang dalam al-Qur’an seringkali ditekankan, terutama untuk menjamin kesinambungan pengalaman umat manusia. Karena itu, sebagai staf perpustakaan, saya sering dipanggil oleh beliau—saat itu beliau menjabat sekretaris Fakultas IAIN Sunan Ampel Malang—untuk mencarikan bahan bacaan yang beliau perlukan, persis seperti cara pengkaderan yang dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi ketika membimbing John L. Esposito, yang belakangan kemudian menjadi seorang pakar perkembangan Islam yang sangat terkenal. Suatu ketika, saya dipanggil ke ruang kerjanya dan menanyakan, apakah saya bisa menulis. Ketika itu beliau memerlukan tulisan tentang Monografi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama. Sekalipun belum berpengalaman menulis, secara spontan saya memberanikan diri menyanggupi tawaran itu. Pertimbangan saya, tawaran ini merupakan kesempatan yang amat baik untuk belajar menulis dan mengenal Pak Malik lebih jauh. Jika saya bersedia maka beliau menyanggupi memberikan bahan-bahan tulisan, berupa buku, hasil penelitian, serta makalah dan lainnya yang diperlukan yang masih tersimpan di rumah beliau. Tidak lebih dua minggu, tulisan setebal lebih seratus halaman, dapat saya selesaikan. Tulisan itu segera saya serahkan, dan rupanya Pak Malik pun terkejut, saya bisa menyelesaikan naskah setebal itu dalam waktu hanya dua minggu. Saya masih ingat, beberapa hari kemudian saya diberitahu bahwa setelah dibaca, naskah yang saya tulis tersebut dinilainya sudah bagus. Tulisan tersebut kemudian dikirim ke Departemen Agama Pusat, untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan program Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, yang saat itu sedang menjadi isu sentral. Maka, banyak kegiatan bertema kerukunan umat beragama dilaksanakan, seperti Dialog Antarumat Beragama, Kerjasama Sosial Kemasyarakatan, Seminar Pendidikan Multikultural, serta berbagai penelitian mengenai faktor-faktor kerukunan beragama di Ambon, Tanah Toraja, Bali dan lain-lain. Dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan kerukunan umat beragama seperti itu, oleh Pak Malik Fadjar bersama tokoh agama lain, saya sering diikut-sertakan, walaupun sebatas ditugasi menyusun naskah, menyiapkan surat menyurat, dan lain-lain. Sadar akan makna kegiatan-kegiatan itu bagi proses regenerasi, saya merasakan pengalaman itu sebagai kesempatan yang sangat berharga sebagai stapping-stone yang kuat untuk melangkah ke depan. Dengan dilibatkan kegiatan itu, misalnya, saya berkesempatan mengenal orang-orang penting dan juga tokoh-tokoh yang tidak mungkin saya peroleh jika saja saya tidak mendapatkan tugas seperti itu. Saya kemudian mengenal KH. Abdurrahman Wahid, (Gus Dur), Pak Syafii Ma’arif, Romo Yansen, Pak Djohan Efendi, Pak Nurcholish Madjid, Pak Muslim Abdurrahman dan lain-lain. Mereka itulah para tokoh, yang menjadi sahabat Pak Malik Fadjar yang sering bertemu, berdiskusi dan melakukan kerjasama. Selain itu, Pak Malik Fadjar juga memiliki banyak kegiatan terkait dengan penelitian, seminar, dan dialog yang melibatkan banyak tokoh, baik tingkat regional maupun nasional. Pak Malik Fadjar tampaknya menyenangi cara kerja saya, yang selalu saya usahakan sebaik mungkin. Atas dasar itu, saya selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan beliau. Sekalipun tugas-tugas yang diberikan pada saya sebatas menyusun naskah, mengedit tulisan, membuat sinopsis beberapa tulisan untuk bahan seminar, saya merasa beruntung dan bahagia sekali. Semua tugas itu saya lakukan sebaik-baiknya dan dengan penuh kebanggaan. Pikiran saya ketika itu, saya harus bisa menyelesaikan tugas-tugas itu sebaik mungkin. Selanjutnya, selain di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, saya juga bekerja di Universitas Muhammadiyah Malang. Sudah sejak lama, sekitar tahun 1975, selain aktif menjadi saaf Tata Usaha di Fakultas Tarbiyah, sore hari saya bekerja sebagai staf administrasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ketika Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dijabat oleh Prof. Masyfuk Zuhdi, saya ditugasi bekerja di kampus itu pada sore hari sebagai staf Perpustakaan merangkap staf Tata Usaha pada Bagian Umum. Kemudian sepulang Pak Malik Fadjar dari studi di Florida State University, Amerika Serikat, beliau diminta oleh Pimpinan Universitas Muhammadiyah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial. Tidak lama beliau menjabat sebagai dekan, selanjutnya beliau terpilih sebagai Rektor UMM. Saya, kemudian, ditunjuk mengganti posisi beliau sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial, dan juga tidak lama kemudian ditunjuk menjadi Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) UMM sejak tahun 1983 sampai berakhir tahun 1996. Ilustrasi singkat di atas mengungkapkan betapa lama saya bergaul dengan Pak Malik Fadjar, mulai menjadi staf administrasi di Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Malang, yang beliau ketika itu sebagai staf Pimpinan, sampai beliau menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, dan yang paling berharga dalam pengalaman itu, saya mendampingi beliau sebagai Pembantu Rektor I selama tidak kurang dari 13 tahun. Melalui ungkapan ini saya ingin menunjukkan betapa dekat dan mendalam hubungan saya dengan beliau. Saya bergaul dengan Pak Malik tidak saja dalam kedinasan, melainkan juga dalam kegiatan keluarga, dan kemasyarakatan. Berbekalkan pengalaman seintensif itu saya memperoleh keunggulan apa saja dari Pak Malik Fadjar. Saya selalu menempatkan beliau pada posisi bukan saja sebagai atasan di kantor, melainkan lebih dari itu, Pak Malik Fadjar, dalam hidup saya, selalu saya posisikan sebagai orang tua, guru, sumber inspirasi, mitra dialog tentang kehidupan yang sebenarnya. Peran Pak Malik Fadjar dalam membentuk pribadi saya, jika itu harus saya ungkap, rasanya saya terlalu miskin kata dan bahkan kalimat untuk menggambarkan betapa besar peran beliau dalam membentuk sejarah kehidupan saya. Entah orang percaya atau tidak, saya pernah bermimpi, terkait dengan peran Pak Malik Fadjar bagi kehidupan saya pribadi. Mimpi yang saya alami, ketika itu saya masih duduk di tahun terakhir kuliah di IAIN Malang, tidak pernah saya ungkap kepada siapapun, termasuk kepada Pak Malik Fadjar kecuali dalam tulisan ini. Di dalam mimpi itu, saya diajak bebepergian oleh ayah saya. Ke mana saya diajak pergi oleh ayah, saya tidak tahu. Perjalanan kaki, dalam mimpi itu, melewati bukit, bahkan gunung, dan lereng-lereng gunung. Saya berdua dengan ayah, yang memandu selama berhari-hari. Di tengah perjalanan, bertemu Pak Malik Fadjar. Dalam mimpi itu, ayah saya menyatakan bahwa dirinya sudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, dan menyerahkan saya kepada Pak Malik Fadjar untuk meneruskan perjalanan saya. Dengan demikian, perjalanan selanjutnya, saya tempuh bukan lagi bersama ayah, melainkan dengan Pak Malik Fadjar. Perjalanan itu sama, saya diajak oleh Pak Malik Fadjar menelusuri jalan yang sangat jauh, naik-turun bukit dan gunung, dan akhirnya—masih dalam mimpi itu—kami berdua sampai pada suatu tempat, yang sampai saat ini saya tidak mampu mengingat di mana tempat itu. Namun, secara mengejutkan, Pak Malik Fadjar mengatakan pada saya, bahwa beliau merasa cukup mengantarkan saya dalam perjalanan panjang. Beliau mempersilahkan saya pergi sendiri, dengan menyatakan bahwa saya sudah bisa mengembara sendiri tanpa dampingan beliau. Saya ketika itu berpisah dengan beliau. Dan, akhirnya mimpi itu pun selesai. Saya terbangun. Pengalaman ini sangat pribadi dan sangat menyentuh perasaan, yang diakui atau tidak sangat mempengaruhi kehidupan saya. Mimpin indah ini, tidak pernah saya lupakan, karena maknanya yang tidak pernah terputus dan terlepas dari sejarah kehidupan saya. Pada awalnya, saya juga selama itu tidak yakin keberanan mimpi saya dan juga tidak pernah mencoba mencari makna apa di balik mimpi itu. Namun, setelah melewati perjalanan hidup yang panjang, merenung, dan mencoba sekali-kali mengingat, serta mencari makna mimpi yang tidak pernah saya lupakan dan menggoda perhatian saya itu, saya dapat sedikit memaknai labih daripada yang dapat saya tuturkan dengan kata-kata atau kalimat. Pengalaman dan makna itu senantiasa hidup sebagai arus utama dan kekuatan laten dalam jiwa saya. Dari proses perjalanan batin yang panjang itu, ternyata jalan hidup saya, sejak awal anak-anak hingga pada saat ini, terasa persis dalam kisah mimpi itu. Sejak kecil saya dibimbing oleh orang tua saya sendiri, kemudian peran-peran pendidikan dan pengayaan pengalaman itu, secara nyata diambil alih dan diteruskan oleh Pak Malik Fadjar. Selanjutnya setelah beliau menganggap saya dewasa, dilepas oleh beliau, agar saya melakukan peran-peran secara mandiri. PAK MALIK FADJAR: PRIYAYI JAWA, CENDEKIAWAN, DAN ISLAM MODERNIS Nuansa “Jawa” Pak Malik Fadjar saya rasakan dalam setiap pergaulan dan penampilannya. “Jawa” yang saya maksudkan bukan pada simbol-simbol pakaian yang dikenakan, karena selama saya bergaul dengan beliau, belum pernah saya melihat Pak Malik Fadjar mengenakan pakaian Jawa, misalnya dalam upacara pernikahan sekalipun. Orang Jawa modern, sekalipun sehari-hari mengenakan pakaian jas lengkap, tetapi tatkala menyelenggarakan ritual seperti pernikahan akan mengenakan pakaian Jawa. Pak Malik Fadjar, tidak seperti itu. Budaya Jawa yang saya maksud adalah terkait dengan bagaimana Pak Malik Fadjar bertatakrama dalam pergaulan, berbahasa, memperlakukan orang lain— model-model dan pola-pola pandangan hidup yang saya kenal. Beliau selalu tampil dalam budaya luhur. Sekalipun kepada muridnya, seperti kepada saya misalnya, beliau tidak pernah menampilkan diri dalam performa asal-asalan. Adagium Jawa yang mengatakan bahwa ajining diri songko lathi, ajining rogo songko busono, rupanya sangat dipegang oleh Pak Malik Fadjar. Pak Malik, selama saya kenal, tidak pernah berbicara hal-hal rendah dan murah. Beliau menyenangi joke-joke, ceritera-cerita, san kisah-kisah, namun semua itu dipilih yang memiliki makna hidup yang mendalam. Saya belum pernah—mohon maaf—mendengar Pak Malik terlibat pembicaraan yang bernuansa rendahan tanpa makna, yang pembicaraan itu dimaksudkan sebatas agar orang lain tertawa. Pak Malik Fadjar selalu menjaga untuk tidak melalukan sesuatu yang tidak perlu, hingga saya memaknai beliau selalu berada pada posisi high culture atau budaya tinggi orang orang Jawa. Beliau selalu menampilkan gaya priyayi, tetapi tidak menunjukkan ke-priyayian-nya. Yang saya kenal bahwa kaum priyayi selalu serba-memilih yang serba-berkualitas dalam berbagai aspek kehidupannya. Sekalipun berposisi, atau diposisikan, sebagai priyayi, Pak Malik Fadjar sangat dekat dengan orang-orang kecil, baik di kantor; dengan mahasiswanya, dan juga dengan para tetangganya. Para staf di kantor sangat hormat, kadang sampai takut; namun, mereka tetap mencintainya. Pak Malik Fadjar, setahu saya, selalu ditakuti sekaligus disenangi oleh orang-orang kecil. Mereka takut kalau apa yang dilakukan tidak menjadikan Pak Malik berkenan. Mereka menyenangi, karena Pak Malik Fadjar selalu memperhatikan orang-orang kecil. Seringkali saya dengar ucapan Pak Malik Fadjar: “perhatikan,Dik, orang-orang-orang itu; jika mereka marah, doanya akan didengar oleh Allah.” Sudah menjadi kebiasaan Pak Malik, jika mendapat honorarium, selain gaji bulanan, kemudian ketemu staf, selalu menyisakan untuk memberi bagian kepada staf itu. Beliau, tercitrakan selalu menyisihkan sebagian dari segala yang diperoleh untuk berbagi dengan orang-orang yang tidak memperoleh anugerah itu. Beliau tampaknya sangat menghayati peran-peran besarnya, misalnya sebagaimana yang dihayati dari pesan al-Qur’an bahwa sebagian dari anugerah yang diberikan Allah kepada kalian (manusia) adalah bagian yang harus ditunaikan kepada kaum yang memerlukan (haqqun lis-sa’ilîn wal-mahrûmîn). Gaya hidup seperti itulah yang menjadikan Pak Malik Fadjar di mata staf atau bawahan sangat berwibawa, berkharisma, dan karenanya sangat dicintai oleh mereka. Karakter ke-Jawa-an Pak Malik juga terlihat dalam memperlakukan staf. Pak Malik selalu mengormati orang sekalipun kepada bawahannya. Cara mengingatkan orang, memberikan nasihat, dan menyampaikan perintah selalu menggunakan bahasa yang sederhana, sopan, namun mudah dipahami. Inilah barangkali metode dan etika berbicara yang indah dan efektif, yang diajarkan oleh Allah, sebagaimana tercermin dalam terma-terma komunikasi al-Qur’an, seperti qawlan khafîfa, dan qawlan yasîra, qawlan layyina, dan qawlan balîgha. Bahasa yang disampaikan yang tidak menyinggung hati, kadang berupa kiasan, tetapi menyentuh lubuk hati, dan kemudian diterima dengan baik dan ikhlas. Banyak orang menjadi senang dengan pengarahan dan nasihat-nasihatnya. Hanya, seringkali, oleh karena maksud yang diinginkan oleh Pak Malik belum tampak dijadikan pegangan, lalu diulang-ulang, sehingga beberapa orang menyebut, ceramah Pak Malik Fadjar tidak banyak perubahan. Mungkin saja, karena alasan watak psikologi kebanyakan orang yang mudah “melupakan” sesuatu yang bermanfaat, atau karena mudahnya jiwa terperosok kepada yang rendah, maka pengulangan yang dilakukan menjadi sarana untuk menegaskan kembali pentingnya ketelatenan dan keuletan (atau kesabaran) dalam menghadapi umat. Pengulangan dalam pengarahan dan nasihat adalah proses yang sangat alamiah untuk menghadapi jiwa alamiah manusia, analog dengan tetesan air yang rutin dengan volume yang sama akan dapat menembus kerasnya batu sekalipun. Kenyataan yang terjadi pada pengalaman Pak Malik, sekalipun pengulangan nasihat yang rutin dikemukakan, yang disertai dengan niat yang tulus untuk membangun pribadi generasi muda, malah mereka yang selalu mendengar nasiha-nasihatnya tetap menyenangi dan tidak mengurangi kekhidmatan dalam memperhatikannya. Misalnya, beliau selalu menyebut bahwa lembaga pendidikan agar maju dan terus mempertahankan relevansi dengan tuntutan masyarakatnya, maka harus selalu melakukan proses tiada henti, yang disebutnya: change, growth and reform.. Selain itu, dalam memperbincangkan tentang isi pendidikan, beliau selalu berpesan agar pendidikan itu selalu menyesuaikan dengan kebutuhan masa depan anak, persis seperti diilustrasikan dalam sebuah hadis Nabi yang berperspektif jauh ke depan mengenai regenerasi, disampaikan melalui Ali bin Abi Thalib, yaitu: “Didiklah anak-anak kalian, karena mereka diciptakan untuk suatu masa, yang bukan masa hidup kalian.” (‘allimû awlâdakum, fainnahum makhlûqûna li zamanin ghayru zamanikum). Oleh karena itu, para pengelola pendidikan sudah seharusnya melakukan proses change, growth, and reform itu secara terus menerus tanpa henti. SOSOK BERTANGGUNG JAWAB, RASIONAL, DAN ARIF Sekian lama bergaul dengan Pak Malik, banyak sekali pelajaran yang saya peroleh. Khusus terkait dengan mengurus lembaga pendidikan, beliau selalu memberikan pedoman agar tanggung-jawab dikedepankan, lebih-lebih terkait dengan nasib seseorang. Mahasiswa yang sudah memberikan kepercayaan kepada para pemimpin harus diantarkan sampai mereka mencapai tujuan-tujuannya. Pelayanan kepada mahasiswa harus maksimal dan dilakukan sebaik-baiknya. Mereka harus dijemput dan diantarkan sampai selesai. Berbagai problem yang dihadapi di kampus, misalnya, harus dipandang sebagai problem bersama yang dihadapi pimpinan dan yang dipimpin sekaligus, ada aspek leadership, ada pula sisi followership-nya, yang semuanya bersinergi dalam satu kesatuan organisasional. Dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa, misalnya, tidak jarang mereka menuntut perbaikan-perbaikan pelayanan. Jika itu terjadi, Pak Malik senantiasa segera menyediakan diri untuk berdialog, mencari penyelesaian bersama. Tidak diperbolehkan menahan atau membiarkan persoalan sampai berlarut-larut. Persoalan harus segera dihadapi dan diselesaikan. Dalam pikiran beliau, seorang pemimpin harus bertanggungjawab dan menghadapi mahasiswa, dosen, dan karyawan harus dilakukan secara terbuka dan apa adanya. Jika semua sudah mendapatkan kejelasan, maka persoalannya harus dihadapi dan diselesaikan bersama. Tidak boleh siapa pun memberikan tekanan-tekanan dan apalagi dengan cara mengancam yang tidak semestinya. Demikian juga tidak boleh sesuatu dibebankan kepada orang lain tanpa alasan. Dalam menyelesaikan masalah, semua orang harus bertanggung jawab, dan harus ada kesediaan untuk menyelesaikan secara bersama-sama. Dalam menyelesaikan sesuatu, beliau mengajarkan semua pihak harus bertanggung jawab sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Pak Malik tidak mau membebani orang lain, tetapi beliau juga tidak mau terbebani. Menghadapi Pak Malik jangan coba-coba memberikan tekanan, apalagi mengancam. Suatu misal, seorang staf mengancam mengundurkan diri agar keinginannya terpenuhi, maka pasti jawaban yang diberikan adalah sialahkan mundur; dan bahkan sebelum mundur pun yang bersangkutan akan di-“mundur”-kan. Sesama kolega, sahabat, teman yang telah berada pada teamwork harus tulus dalam pengertian yang sesungguhnya. Ketulusan tidak boleh bersyarat. Selain itu, tidak boleh ada janji yang tidak mungkin terpenuhi. Semua harus bersedia bertanggung jawab, dan tidak diperbolehkan melimpahkan apalagi melemparkan tanggungjawab atau bahkan nasib kepada orang lain. Pertimbangan-pertimbangan rasional sangat mewarnai dan kental dalam pengambilan keputusan. Sekali lagi, banyak hal yang saya dapatkan dari Pak Malik. Namun, yang satu ini, yakni tatkala menempatkan seseorang pada posisi tertentu, selalu didasarkan pada pertimbangan rasional. Pertimbangan emosional dan juga primordial dalam menempatkan seseorang tidak pernah saya lihat. Tidak pernah saya melihat Pak Malik menempatkan seseorang pada posisi dan jabatan tertentu hanya atas dasar pertimbangan memiliki hubungan dekat, kenalan, dan sejenisnya. Kalaupun sepintas mungkin tampak demikian, sesungguhnya yang terjadi adalah karena kemampuan dan profesionalismenya. Apa yang tidak disukai bangsa ini, yang disebut dengan penyakit KKN— Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tidak pernah saya temukan dalam perjalanan sekian lama saya bergaul dengan Pak Malik Fadjar. Apapun yang tampak tidak selaras, jika didalami dengan jiwa terbuka dan bijaksana, akan dapat dipahami bahwa dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kedinasan, serta berkomunikasi formal dan informal semuanya dijalankan secara arif. Prinsip bagaimana agar orang tidak dendam, sakit hati, cemburu, dan seterusnya diupayakan secermat mungkin. Orang tidak boleh memiliki sifat-sifat yang tidak terpuji, namun suasana atau lahirnya sifat itu juga harus dikondisikan sedemikian rupa agar tidak mucul dan berkembang sehingga semakin merugikan bagi lembaga. Pendekatan yang ditempuh, biasanya, melalui dialog, diskusi, pemberian pengertian seluas dan sekomphrehensif mungkin. Tidak boleh, siapa pun dibiarkan bertanya-tanya dan menafsirkan sendiri berbagai persoalan yang berkembang di kampus. Pak Malik selalu menganjurkan untuk memberikan pengertian secukup mungkin. Itulah yang saya katakan sebagai kearifan yang selalu dijaga. Pimpinan, baginya, harus selalu menghindarkan orang menjadi curiga dan menafsirkan yang bukan-bukan. Prasangka tidak boleh dibiarkan berlanjut, semuanya harus dijelaskan. Tampaknya, Pak Malik berpandangan bahwa di manapun dan kapan pun harus dibangun suasana sehat lahir dan batin. Pelajaran yang mengesankan lagi lainnya bagi saya, kita harus menampilkan yang terbaik, mewujudkan manfaat yang terbaik bagi orang banyak. Kebaikan yang tampak menunjuk kepada kebaikan yang sama pada sisi yang tidak tampak dari diri seseorang, demikian pula dalam sebuah organisasi atau lembaga. Bahwa tampilan lahir adalah selalu menjadi cermin apa yang ada dibatin setiap orang. Kearifan lainnya yang saya dapatkan dari Pak Malik adalah agar tidak melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak menyukai akibatnya (yang dalam bahasa agama disebut sebagai al-itsm, dosa atau dusta). Sebagai contoh kecil dan sederhana, yang juga ditekankan oleh Pak Malik, jika kita tidak suka dipermalukan, maka jangan sekali-kali mempermalukan orang lain. DIRINDUKAN OLEH SEMUA Oleh warga UIN Malang, khususnya generasi tua yang mengenal Pak Malik, baik dari kalangan dosen, karyawan termasuk karyawan tingkat bawah, belaiu sangat dibanggakan dan sekaligus dirindukan. Jika dirasakan Pak Malik sudah sekian lama tidak ke kampus, apalagi ada yang mendapat informasi bahwa beliau sedang di Malang, lalu tidak sempat ke kampus UIN selalu menjadi bahan pertanyaan. Warga UIN Malang memposisikan Pak Malik tidak sebatas sebagai orang yang penah menjadi pimpinan, atau tenaga pengajar, lebih itu sebagai sosok panutan yang sangat dicintai dan dibanggakan. Mungkin ini sangat dipengaruhi oleh—lagi-lagi—kearifan Pak Malik. Beliau selalu memosisikan para dosen senior sebagai guru dan sahabat dekat. Kepada karyawan, Pak Malik juga memberikan empati yang tinggi. Pesan-pesan Pak Malik kepada semua warga kampus, bahwa kampus ini harus dijaga, jangan sampai dirusak oleh konflik, lembaga ini adalah asset dan sekaligus kebanggaan umat, semua prinsip penting itu rasanya tidak pernah dilupakan, dan suara pesan itu masih terus terngiang-ngiang di setiap telinga yang pernah mendengarkannya. Semua warga kampus UIN Malang, sungguh, sangat bahagia mendengar Pak Malik Fadjar telah genap usia 70 tahun. Artinya, Pak Malik yang sangat dicintai dan dibanggakan warga kampus telah dikaruniai oleh Allah tidak saja peluang-peluang dalam masa hidupnya untuk beramal shalih secara luas; lebih dari itu, juga, usia panjang yang disyukuri bersama. Seluruh warga kampus UIN Malang sangat mencintai dan membanggakan Pak Malik, karena pernah menjadi mahasiswa UIN Malang—dulu IAIN Malang—karyawan, pejabat, dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Malang, dan meninggalkan Malang ke Jakarta mendapatkan amanah menjadi Menteri Agama dan selanjutnya menjadi Menteri Pendidikan Nasional RI, bahkan pernah menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Ad-Interim, sehingga oleh semuanya dirasakan dan dipandang sebagai kebanggaan yang nyata. Pak Malik, seluruh warga UIN Malang menyampaikan: “Selamat Ulang Tahun yang 70, semoga Allah SWT. menganugerahkan kesempatan yang lebih panjang lagi, melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya, serta selalu memberikan ridha-Nya kepada Pak Malik Fadjar sekeluarga.” Wallâhu a’lamu bish-shawâb.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang