Umum

Wanita Jepang

Hari Jum’at yang lalu, UIN Maliki Malang menyelenggarakan kuliah tamu, yang diberikan oleh Dr.HC Anni Ewasaki dari Jepang. Pembicara ini sebenarnya lahir di Indonesia, tetapi bersuami orang dari negeri Sakura. Bersama suami dan putra putrinya, ia bertempat tinggal di Jepang, tetapi setiap saat datang ke Jakarta, karena ia aktif sebagi Direktur Pusat Studi Jepang untuk kemajuan Indonesia.

Hal yang menarik bagi saya dari kuliahnya itu adalah tentang wanita Jepang terkait dengan pendidikan. Sebelum mendapat informasi dari kuliahnya itu, saya memiliki gambaran bahwa orang Jepang yang hidup di negara modern, para wanitanya berpikiran bebas dan kurang peduli pada pendidikan, anak-anaknya diserahkan pada pembantu. Selain itu, saya membayangkan wanita Jepang terlalu sibuk dengan kariernya, sehingga keluarga dinomor duakan. Anggapan saya tersebut ternyata salah. Wanita Jepang justru sangat memperhatikan pendidikan bagi putra-putrinya. Mereka memiliki filsafat hidup tentang keluarga yang sedemikian indah dan menarik. Seorang ayah dianggap sebagai bapak yang harus menunaikan peran dan fungnya secara utuh. Demikian pula perempuan harus menunaikan tugas-tugas sebagai ibu, terutama dalam mendidik putra-putrinya secara sempurna. Artinya, ibu dianggap sebagai pendidik utama bagi para anak-anaknya sehingga tidak boleh dikalahkan oleh tugas lain apapun. Peran itu dipandang sebagai penentu bagi kehidupan masyarakat. Seorang ibu, yang misalnya gagal melakukan perannya sebagai pendidik, akan beresiko sangat luas. Pendidikan keluarga yang gagal, hingga mengakibatkan seseorang tidak memiliki karakter atau kepribadian yang diharapkan, maka akan merugikan bahkan merusak, tidak saja keluarga yang bersangkutan, tetapi juga bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dipandang sebagai sangat strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya dianggap sebagai penyempurna. Wanita Jepang, sebagaimana dialami dan dijelaskan sendiri oleh Dr.Anni Ewasaki, tatkala mulai berkeluarga dan memiliki anak harus berhenti bekerja. Mereka melakukan peran sebagai seorang ibu yang bertugas mendidik para putra-putrinya di rumah. Para wanita Jepang, baru boleh aktif kembali berkarir di tengah masyarakat, manakala putra-putrinya sudah dianggap dewasa. Bekerja sebagai pendidik bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai kekangan, melainkan bersifat utama, strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Bekerja di rumah sebagai pendidik tidak kalah mulia dibanding dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh suaminya di perusahaan, birokrasi pemerintahan, politik dan lain-lain. Bahkan, mereka memandang bahwa keberhasilannya dalam mendidik putra-putri, dirasakan sebagai kebanggaan, dan karena itu harus dilakukannya sendiri. Selain itu, keberhasilan karier suami, dipandang sebagai akibat dari peran isterinya di rumah. Suami Jepang dianggap tidak akan maju dan berkembang manakala tidak didukung oleh isterinya yang bekerja di rumah dengan sepenuhnya. Dalam pandangan Islam dikenal bahwa kaum ibu adalah bagaikan madrasah. Jika madrasahnya baik, maka muridnya akan menjadi baik. Demikian pula para lulusannya akan baik pula. Ajaran Nabi yang sedemikian indah dan mulia itu ternyata diaplikasikan oleh wanita Jepang. Agar anak-anak mereka menjadi baik, maka seorang ibu justru harus memberikan sendiri pendidikan di rumah secara baik. Pendidikan bagi anak-anaknya tidak boleh diserahkan kepada pembantu. Wanita Jepang merasa bangga mendidik putra-putrinya sendiri. Ukuran sukses keluarga Jepang tidak saja dilihat dari banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan, tetapi juga dalam mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang baik, dari hasil pendidikannya, jutru lebih utama dari yen yang diterimanya. Peran wanita dalam keluarga Jepang seperti itu, maka pada umumnya, keluarga Jepang tidak memiliki pembantu rumah tangga. Mereka tidak menyukai para anaknya dididik oleh orang lain. Pendidikan keluarga yang dilakukan oleh ibunya sendiri dianggap lebih utama. Demikian pula peran ibu di rumah tangga, juga menyiapkan makanan untuk suaminya. Peran di dapur itu dianggap mulia. Pusat kegiatan ibu, biasanya memang di dapur. Oleh karena itu, bagian dapur pada rumah-rumah di Jepang lebih baik dari tempat-tempat lain. Sebab di tempat itu, anak-anak dididik dan dilayani. Bedanya dengan rumah-rumah di Indonesia, maka kamar tamu, -----karena dianggap lebih utama, biasanya lebih baik dari dapurnya. Mendengarkan ceramah Dr.HC.Anni Ewasaki, rasanya berbalik keadaan di Jepang dengan kondisi yang banyak terjadi di Indonesia. Wanita Indonesia menganggap bahwa pendidikan bagi para anaknya bisa dipercayakan kepada pembantu. Tugas-tugas mendidik dianggap sederhana, sehingga bisa diserahkan kepada sekolah dan atau pembantunya. Akibatnya, anak-anak tidak sepenuhnya merupakan hasil pendidikan ibunya sendiri, melainkan oleh para pembantunya itu. Selain itu, maka anak-anaknya menjadi lebih dekat dan bahkan banyak meniru perilaku pembantunya daripada orang tuanya sendiri. Hal itu terjadi karena peran ibu sebagai madrasah, diserahkan sepenuhnya kepada pembantu dengan segala akibatnya. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Go to top