Tampaknya sekarang ini sudah tidak ada lagi kampus yang tidak dilengkapi dengan masjid, khususnya kampus yang sebagian besar warganya, ------dosen, karyawan dan mahasiswanya, beragama Islam. Bahkan ada sementara kampus yang masjidnya berukuran sangat besar. Kampus yang dilengkapi dengan masjid mengisyaratkan bahwa pimpinannya memahami makna pendidikan yang sebenarnya.
Akhir-akhir ini, menteri pendidikan nasional menekankan betapa pentingnya pendidikan karakter, agar semakin lebih ditingkatkan. Pandangan mendiknas tersebut disambut secara cepat dan meluas oleh masyarakat. Tidak ada yang kontra terhadap pandangan menteri tersebut, semua menyetujui. Kemudian, di mana-mana tema itu dibicarakan, didislkusikan, diseminarkan dan bahkan ditulis buku-buku terkait dengan tema itu. Kesamaan pandagan tetang pentingnya pendidikan karakter tersebut kiranya disebabkan oleh penglihatan yang sama terhadap kondisi bangsa ini. Bahwa akhir-akhir ini muncul fenomena yang semakin memprihatinkan, yaitu seperti misalnya penggunaan narkoba, hubungan seks bebas, korupsi yang terjadi secara meluas, kekerasan, manipulasi, tidak peduli terhadap penderitaan orang lain dan seterusnya. Semua itu dianggap mendesak ditanggulangi, di antaranya melalui pendidikan karakter. Masjid kampus adalah merupakan sarana efektif untuk menjadikan warga yang ada di lingkungannya menjalankan agamanya secara lebih baik. Agama yang dijalankan secara baik, sebenarnya adalah merupakan bagian bentuk dari pendidikan karakter itu sendiri. Seseorang yang secara disiplin menjalankan kegiatan ritual akan menjauhkan dirinya dari hal-hal buruk yang merugikan dirinya maupun orang lain. Kegiatan ritual, selain dilakukan sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan, sebenarnya adalah sekaligus dapat mempertajam dan memperkokoh pribadi seseorang. Memang masjid sebenarnya hanyalah sebagai tempat, dan akan memiliki arti yang sebenarnya manakala dimanfaatkan. Namun sayangnya, tidak semua warga kampus, tidak terkecuali para pimpinan dan dosennya, mau memanfaatkan fasilitas yang disediakan itu. Di berbagai tempat, banyak orang mengangap betapa pentingnya tempat ibadah dibangun, akan tetapi setelah selesai, belum tentu segera tumbuh kesadaran memanfaatkannya. Akibatnya, banyak masjid berukuran besar, namun masih sepi jamaáh, kecuali pada hari tertentu, misalnya pada waktu shalat Jumát. Betapa beratnya secara bersama-sama membiasakan shalat berjamaáh di masjid, baik terhadap dosen, karyawan, maupun para mahasiswanya. Semangat berjamaáh di masjid tidak ada beda secara signifikan antara dosen dan mahasiswa. Artinya tidak selalu bahwa dosen misalnya lebih rajin ke masjid setiap waktu berjamaáh dibanding mahasiswanya. Pada kenyataannya, ada sementara masjid kampus, yang jumlah jamaáhnya lebih banyak mahasiswa dibanding dosen dan karyawannya. Sementara masjid di kampus lainnya, jumlah jamaáh dari kalangan dosen dan karyawan lebih banyak, sementara mahasiswanya amat sedikit, sehingga seolah-olah tempat ibadah tersebut didominasi oleh dosen. Namun ada juga masjid kampus yang digunakan secara seimbang jumlahnya antara mahasiswa dan dosen. Bahkan ada pula masjid kampus yang sepi penggunaannya, baik oleh dosen maupun mahasiswanya. Akhirnya, masjid sebagaimana disebutkan terakhir ini, hanya digunakan sebagai pelengkap kampus, dan hanya ramai tatkala waktu shalat jumáh dan pada bulan puasa. Melihat kenyatan itu, ternyata di mana-mana sama, memanfaatkan masjid tidak mudah, tidak terkecuali di kampus-kampus. Penggunaan masjid secara sempurna, ------sekalipun sebatas dalam kegiatan ritual, adalah di pesantren-pesantren. Secara jujur diakui bahwa masjid-masjid di pesantren, biasanya tidak pernah sepi dari jamaáh. Hal itu bisa dilihat misalnya, di Pondok Gontor Ponorogo, di Al Amien, Prenduan, Madura dan juga di semua pesantren pada umumnya, tatkala dikumandangkan adzan, maka para santri, ustadz dan kyai segera menuju ke masjid untuk menunaikan shalat bersama-sama. Maka dalam hal memakmurkan tempat ibadah, sementara kampus, --------diakui atau tidak, masih kalah dibanding dengan pesantren. Padahal semestinya, kampus tidak boleh kalah, tetapi harus sama-sama menang. Sebab dalam hal memakmurkan masjid, sebenarnya tidak memerlukan lagi diskusi dan apalagi debat, tetapi cukup meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Nabi Muhammad pada setiap shalat selalu berjamaáh dan selalu dilakukan di masjid. Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa masjid adalah bagian dari pendidikan karakter atau pendidikan akhlak. Pada saat sekarang ini, di kampus-kampus sudah tersedia masjid, namun yang masih diperlukan adalah upaya memakmurkannya. Masjid-masjid di pesantren lebih ramai dan hidup, oleh karena para kyai dan ustadznya memberikan tauladan mendatangi tempat ibadah itu pada setiap shalat jamaáh. Demikian pula, pendidikan karakter terpeliraha oleh karena masjidnya selalu ramai digunakan. Oleh karena itu, memakmurkan masjid di kampus-kampus, sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Cara mudah, meniru saja apa yang dilakukan oleh ustadz dan kyai pimpinan pesantren. Yaitu, memulai dari para pimpinannya, maka yang lain akan ikut, baik dosen, karyawan dan mahasiswanya. Apa saja selalu tergantung dari para pimpinannya, tidak terkecuali adalah dalam memakmurkan masjid kampus. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang