Membaca surat-surat dalam al Qurán, terdapat satu surat yang diberi nama An-Nisa’ yang artinya perempuan. Tidak ada surat dalam al Qurán yang diberi nama ar Rijal atau laki-laki. Saya menangkap bahwa pemberian nama an-Nisa’ dalam surat al Qurán itu, menunjukkan betapa penting posisi perempuan dalam kehidupan keluarga, bangsa, dan bahkan kehidupan secara keseluruhan
. Menurut apa yang pernah saya baca, dalam sejarah ada dua wanita yang menggambarkan sebagai penentu peradaban manusia, yaitu isteri Firáun dan isteri Nabi Luth. Dalam sejarahnya, kedua perempuan ini memiliki karakter yang sangat berbeda, isteri Faraun adalah perempuan shalehah, sedangkan isteri Nabi Luth adalah wanita Thalehah. Perbedaan yang sangat kontras juga mengenai suaminya masing-masing. Fairaun dikenal sebagai laki-laki yang sangat tidak baik, seorang raja yang mengaku sebagai tuhan. Ia sangat congkak dan sombong, penindas rakyat. Hal yang sangat berlawanan dengan itu, adalah Nabi Luth. Ia adalah seorang rasul atau utusan Tuhan, bertugas mengenalkan ke Esaan Tuhan dan akhlak mulia. Kisah ke dua tokoh manusia yang berbeda karakternya ini, tentu seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kehidupan manusia generasi setelahnya. Firáun yang sedemikian jahat, memerintahkan membunuh semua anak laki-laki, hanya ketakutan kalau-kalau muncul orang yang akan menjadi musuhnya. Namun karena ia memiliki isteri yang baik, atau shalihah, maka Musa pun menjadi selamat. Demikian pula sebaliknya, Nabi Luth yang sedemikian shalehnya, tetapi oleh karena memiliki isteri yang thalehah atau jahat, maka seluruh keluarga dan bahkan ummatnya menjadi rusak semuanya. Kisah tersebut menganggambarkan betapa peran wanita atau isteri dalam keluarga dan bahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Lewat kisah tersebut maka dapat dirasakan dengan jelas, Tuhan menunjukkan bahwa peran wanita dan isteri sedemikian strategis dalam membangun akhlak mulia bagi keluarga dan bahkan masyarakat pada umumnya. Masyarakat akan menjadi baik manakala isteri atau wanita-wanitanya baik dan begitu pula sebaliknya. Peran strategis posisi wanita juga dijelaskan dalam beberapa hadits nabi, di antaranya mengatakan bahwa, sorga berada di bawah telapak kaki ibu. Maka artinya, bahwa seorang wanita atau ibu berpotensi dan bahkan menjadi kekuatan penentu untuk mengantarkan putra-putrinya menjadi mulia, yaitu sebagai anak yang beriman, beramal saleh, dan berakhlakul karimah, hingga akhirnya masuk surga. Selain itu, masih dalam hadits nabi, disebutkan bahwa, wanita atau kaum ibu adalah bagaikan madrasah atau sekolah. Manakala madrasah itu baik, maka murid-muridnya akan menjadi baik, dan akan melahirkan lulusan yang baik pula. Anak shaleh dan shalihah hanya akan lahir dari lembaga pendidikan yang baik. Sedangkan seorang ibu atau wanita diibaratkan sebagai lembaga pendidikan yang akan melahirkan generasi setelahnya. Membaca adanya satu nama surat dalam al Qurán, yakni an-Nisa’, kisah kehidupan Firáun dan Nabi Luth, serta beberapa hadits nabi tersebut maka dengan sangat jelas menggambarkan bahwa posisi wanita atau kaum ibu dalam keluarga sangat strategis. Wanita menjadi penentu kehidupan keluarga dan bahkan masyarakat. Oleh karena itu, jika pada akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan gender yang bertujuan agar kaum ibu atau wanita menjadi berdaya dan bahkan memiliki kekuatan yang kokoh dalam membangun akhlak generasi penerus, maka perlu didukung dan diapresiasi. Adanya wanita yang kuat dan gigih dalam menegakkan akhlak mulia adalah merupakan kunci tegaknya keluarga dan masyarakat. Hari kelahiran RA.Kartini yang diperingati sekarang ini, semestinya dijadikan momentum untuk mengingatkan kembali terhadap posisi strategis kaum perempuan. Kisah isteri Firáun dan isteri Nabi Luth dijadikan pelajaran penting betapa posisi strategis kaum perempuan. Demikian pula, bangsa Indonesia adalah sangat beruntung, memiliki sejarah RA Kartini, seorang perempuan yang berjuang untuk menjadikan kaumnya meraih posisi terhormat. Perempuan dalam dunia yang semakin modern dan terbuka ini, seharusnya memang menempati posisi sebagai kekuatan untuk membangun akhlak yang mulia, obor dan tuntunan keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa secara keseluruhan. Sebaliknya, bukan memposisikan diri dan bangga tatkala sebatas menjadi tontonan atau hiburan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang