Keluarga

Taman (yang bukan untuk) Bermain

http://asmaranala.blogsource.com/?tag_text=life

Kak, insyaAllah aku menikah jumat ini. Sabtu resepsinya. mohon doa restumu. kehadiranmu lebih membuatku bahagia.

SMS bahagia itu membuka hariku pagi ini. SMS dari sebuah nomor tak terdaftar, karena ponselku rusak semalam dan aku harus ganti handset. Aku segera menelpon nomor itu dan sebuh suara pria dengan riang menjawabnya. ..Ternyata seorang sahabatku di sebuah kota, ratusan mil dari Jakarta, yang memang sudah punya rencana menikah sejak beberapa bulan lalu. Kami sempat sekali bicara tentang pernikahannya di jendela yahoo messenger saat dia online setelah sekian lama menghilang.

Aku terkejut senang, ikut gembira dan agak kehilangan kata karena ternyata 'hari besar'nya itu tinggal beberapa hari lagi. Hari yang akan jadi sangat bersejarah buat sahabatku. Hari yang akan menjadi titik balik hidupnya. Hari di mana akan ada benang suci yang mengikatnya pada sebuah janji agung. Hari ketika keindahan dunia yang dipercantik rona merah di wajah mempelai wanita beradu rupa dengan keluasan angkasa ditaburi cinta perjaka yang akan menikahinya. Hari di saat rasa menjadi maha segala dan hanya ada cinta di mana-mana.

Hmmmm...setulusnya, aku berbahagia untuknya, untuk sahabatku itu. Sepenuh hati, aku berdoa untuk kebahagiannya, untuk imipan yang akan jadi nyata, untuk keabadian cinta. Pernikahan --bagiku masih sama--, kuharap adalah muara cinta bagi siapapun. Ya, aku selalu punya segudang harapan baik atas pernikahan seseorang. Aku pikir, adalah hal yang penting mendoakan pernikahan seseorang, apalagi ketika itu adalah seorang sahabat. Sebab, pernikahan seringkali tak seindah yang dibayangkan. Makanya, orang yang akan dan telah menikah sangat perlu dukungan keyakinan. Sebab, seperti pernah aku katakan, berumah tangga akan sama seperti kita membuka kotak pandora, semua serba tak terduga.

Dulu, aku pernah dengar sebuah analogi menarik tentang pernikahan. Ibarat sebuah taman, pernikahan adalah taman indah yang sangat menarik untuk dikunjungi, didiami. Segalanya serba menawan dari depan, dari luar pagar. Namun, ini bukan taman untuk bermain. Sungguh, tak akan ada mainan di dalamnya. Sebab, tak sedikit yang terkecoh saat melangkah. Taman yang penuh rahasia ini dikiranya taman angsa, di mana ia dapat berlari berputar-putar semaunya. Ini bukan taman tempat menemukan impian, karena di sinilah sejatinya kenyataan bertahta. Taman ini bukan nirwana. Sayangnya banyak yang menyangka taman pernikahan ini adalah surga. Lalu, ketika masuk, seseorang mulai menyadari kalau taman itu punya banyak kekurangan. Ada bangku taman yang retak hingga tak nyaman lagi diduduki, rumput yang tak sesegar dipandang dari luar, air kolam yang sedikit keruh dan cacat-cacat kecil yang mampu diabaikan. Taman itu masih akan mampu dibuat indah dengan hiasan pendar cahaya dari lampu-lampu cinta yang makin hari, kalau tak dirawat dengan kepercayaan akan makin lemah sinarnya. Ya, taman pernikahan butuh punya banyak ornamen yang selalu harus ditata ulang secara berkala. Kasih, kepercayaan, pengertian dan penerimaan serta pengabdian, itu ornamennya.

Cinta, yang dulunya jadi magma akan kehilangan gejolak, mendingin seiring waktu. Maka, cinta perlu padanan lain untuk membuatnya selalu ada. Cinta perlu bermetamorfosa kalau ingin sanggup melewati tahapan evolusi pernikahan. Mungkin terlalu skeptis dan apatis kalau aku katakan, pada satu titik, cinta bisa kehabisan gas dan berhenti berpijar. Tapi itulah kenyataan yang dialami banyak orang menikah. Tak perlu malu apalagi marah, karena jutaan orang mengalaminya. Tak sedikit yang tak lagi punya cinta di hidupnya. Berusaha jujur bahwa cinta mulai menghilang adalah cara paling bijak untuk mempertahankan keberadaan cinta. Menyadari akan adanya sesuatu yang hilang akan membuat kita tanggap dan segera mencari dan menjaganya dengan lebih baik agar cinta tak lenyap.

Tapi itu kalau berhasil. Ketika dua orang yang berada di dalamnya lupa keindahan yang dulu dilihat, dan gagal mengingat alaan yang membuat mereka memutuskan memasuki taman pernikahan, mereka akan mencoba cari cara untuk keluar, melarikan diri dari situ. Beberapa orang berhasil keluar, dengan tubuh penuh luka, tak sedikit yang binasa akhirnya. Beberapa mencoba tegar berdiri di dalam, berharap keajaiban cinta akan datang. Beberapa lagi tak kuat memanjat tembok janji untuk melapauinya. Mereka memutuskan tinggal di dalam, demi sebuah alasan : tanggung jawab. Tak apa, apa pun, semua ada baiknya, sejauh tak menyiksa.

Anehnya, semakin lama tinggal di taman itu, orang akan makin pandai memainkan perasaan dan mencukupi kebutuhan. Ada tahapan yang mungkin akan sangat berat, tapi bukan lantas tak bisa dilalui. Cinta, tanggung jawab, atau apapun alasannya, selalu ada untuk memeprtahankan orang berdiam di taman pernikahan. Akan selalu ada titik balik lain setelah hari pernikahan yang agung, yang dapat jadi pijakan lain untuk melangkah dan menyatukan genggaman. Pernikahan bukanlah sesuatu yang layak ditakutkan, tapi bukan pula hal harus dipuja dengan gegap gempita sebab di dalamnya akan ada banyak ujian. Sikap waspada barangkali adalah hal yang sebaiknya dibawa pada saat mengawali langkah, memasuki pernikahan. Waspada bukan karena curiga, tapi waspada supaya kita selalu siaga dan tak mudah tergoda. Percayalah, alam di luar akan terlihat lebih indah dari dalam, sama seperti kita sampai mengigau di siang terang membayangkan indahnya pernikahan. Tapi menikah adalah kodrat manusia, cinta selalu butuh wadah untuk mewujud. Jalani saja, dan kita akan menemukan selahnya.

Tak perlu takut atau cemas melangkah, menapaki pernikahan. Sebab tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, apalagi mengintimidasi. Aku hanya berusaha memberi gambaran tentang apa yang akan dilihat dari dalam. Berusaha mengabarkan apa yang dapat kulihat dengan mata telanjang untuk bisa jadi bahan obrolan siapapun yang akan menjelang ke pintu taman. Sesepi keindahan tamannya, amati kekurangannya dan jadilah orang yang selalu menghiasnya. Karena pernikahan memang tak layak dijadikan mainan.

(Buat FR, bahagiaku untukmu....)

Go to top