Oleh: Sholih Hasyim
JIKA energi spiritual itu mapan dan dahsyat, maka kita mampu melawan sikap tergesa-gesa, kemenangan sementara, keletihan dan kelelahan, perjalanan panjang nan berliku, godaan duniawi yang kerdil, trampil mengantisipasi berbagai tekanan internal dan intimidasi musuh. Dan pada saat yang bersamaan kita merasakan kehidupan yang bermartabat (izzah).
Kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan utamanya kehidupan bernegara kita sekarang ini membutuhkan energi spiritual untuk membangun kembali puing-puing kerusakan moral akibat terpaan badai materialisme. Serta penjajahan syubhat, syahwat dan ghoflah (kelalaian).
Sekarang juga kita memerlukan kekuatan ruhiyah itu untuk menyembuhkan bangsa dari patologi (penyakit) sosial. Sekarang ini kita membutuhkan energi spiritual untuk memperbaiki nasib bangsa yang telah terpuruk, miskin, bodoh, terbelakang, dan terjerat belenggu krisis. Dan sekarang ini kita memerlukan kekuatan moral itu untuk melawan tirani yang terjangkiti penyakit KKN secara kronis dan akut.
Sekarang ini kita membutuhkan reformis baru, sang juru selamat, pahlawan (banyak amal dan pahalanya), yang bisa membawa ke pinggir pantai para penumpang kapal Indonesia yang tenggelam di dasar laut. Kita membutuhkan imam (pemimpin spiritual) pada saat dimana para koruptor dihormati, orang yang baik dikucilkan, diisolir dan dituduh sebagai biang kerusakan negeri (teroris).
Setiap kali bangsa manapun menghadapi tantangan besar, muncul pahlawan yang memberikan arah dan memimpin perjalanan. Ketika bangsa Israil ditindas dan difakirkan Firaun, datanglah Musa dan Harun.
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut. Berkatalah mereka berdua : Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas. Allah berfirman : Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah : Sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah dating kepadamu membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS. Thaha (20) : 43-47).
Ketika mereka menghadapi paceklik, muncul Nabi Yusuf yang memegang kendali perekonomian dan mewujudkan kemakmuran.
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf (12) : 46-47).
Ketika Jalut (Goliat) mengancam mereka dari luar, Nabi Dawud hadir memimpin perlawanan dan membunuh Jalut.
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar." Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al Baqarah (2) : 49-50)
Ketika ummat manusia berada di tepi kehancuran peradaban Parsi dan Romawi, diutuslah Nabi Muhammad Saw.
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah (2) : 151).
Ketika kerajaan Bani Umaiyah mengalami pembusukan dari dalam, datanglah sosok Umar bin Abdul Aziz. Seorang pemimpin yang zuhud. Pengaruh kepemimpinannya demikian mendalam. Pesan-pesan ketaqwaan mendominasi tempat-tempat umum. Bahkan para amil zakat keliling Afrika, tetapi tidak ada yang menerimanya. Indikator kemakmuran yang tidak ada duanya. Maka, sejarah menamakan pasca kepemimpinan cicit Umar bin Khathab tersebut sebagai khalifah rasyidah kelima.
Merindukan Sosok Leader, Bukan Dealer
Bukan tantangan yang kita keluhkan sekarang ini, tetapi benarkah rahim pertiwi ini tak sanggup lagi melahirkan para pahlawan, leader seperti zaman revolusi kemerdekaan pada tahun 1945 dahulu. Benarkah negeri yang dilukiskan oleh Syekh Ali Thanthawi laksana “ sepenggal firdaus di bumi “ dan penyair Yaman “ - namudzajiyyah fil jannah - maket surga”ini akan hancur ditangan bangsanya sendiri yang terlalu kerdil menghadapi persoalan dan tantangan besar. Benarkah bahwa tantangan kehidupan dari Allah sekarang ini lebih besar dari kapasitas internal yang kita miliki. Mengapa semua ujian yang kita hadapi bersamaan dengan musibah kelangkaan pahlawan.
Sudah saatnya kekuatan spiritual yang kita peroleh selama bulan Ramadhan kita aktualisasikan untuk membangkitkan semangat pengorbanan dan kepahlawanan. Sebab kejahatan yang menggurita pada era globalisasi saat ini terlalu keras untuk dilawan oleh orang-orang yang lemah imannya. Badai materialisme terlalu menggoda untuk dihadapi oleh orang yang berjiwa kerdil.
Dengan nilai-nilai perjuangan, kepahlawanan, pengorbanan yang diserap dari sekolah Ramadhan itu kita menggalang tangan-tangan shalih yang terisolir di negeri ini untuk bersinergi. Memenangkan kebenaran diatas kebatilan. Mengedepankan aspek spiritual diatas material. Mengunggulkan aspek ruhaniah di atas sektor badaniyah. Mengedepankan iman dan takwa diatas ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengedepankan iman diatas akal dan naluri. Dan kita alirkan kembali darah segar ke dalam tubuh ummat yang tampak pucat dan lesu. Dan bermental bagaikan buih di lautan. Serta kita angkat kembali harga diri kita yang sudah jatuh.
Terakhir, mari kita sadari bahwa siapapun orangnya pasti pernah dan selalu pernah melakukan kesalahan. Dalam diri kita bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi ada naluri. Dalam diri kita tidak hanya ada akal dan iman, tetapi ada pula syahwat. Kita bukan hanya memiliki kekuatan, namun juga memiliki kelemahan sekaligus kekurangan. Kesalahan yang fatal adalah kita tidak menyediakan pada ruang kepribadian kita untuk memperbaiki diri. Janganlah kita persepsikan bahwa kekurangan, kelemahan itu mematikan peluang untuk maju.
Semoga kesalahan itu tidak terulang, dan kita berharap kesalahan itu sebagai tangga, jembatan untuk meningkatakan kualitas kita. Marilah kita berbuat sebanyak mungkin untuk menutupi segala kekurangan dan kelemahan bawaan kita. Sehingga sampai pada kondisi bahwa kekurangan kita bisa dikalkulasi. Sekalipun banyak kekurangan, tetapi yang menonjol dalam diri kita adalah kelebihan-kelebihannya.
Hari raya sejatinya membuka ruang kepribadian kita secara lebar untuk berkembang. Tidak terpuruk pada sisi gelap dan bahu tidak sedap diri. Ketika kita terbuka dalam merespons setiap perubahan menuju ke arah kebaikan dan kesempurnaan, indikator bahwa kita menempatkan diri termasuk agen perubah (‘unshur taghyir). Kesadaran untuk berubah adalah unsur yang termahal dalam kehidupan ini.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Anfal (8) : 53).
Tentu saja, Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.*