Perbandingan Sistem Pendidikan Indonesia dan Jepang

Beberapa puluh tahun yang lalu salah satu tokoh nasional dan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan itu harus terpenuhi atau dilaksanakan dalam tiga hal yaitu; Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah. Beliau berpendapat bahwa ketiga hal tadi harus bersama-sama mendukung terselenggaranya pendidikan yang ideal bukan hanya satu atau diantaranya.

Hal ini juga dikarenakan kesemuanya saling terkait dan saling mendukung ibaratnya jika salah satunya saja tidak mendukung maka cita-cita kita tentang pendidikan yang ideal akan sulit tercapai. Tetapi seiring perjalanan waktu pola pendidikan dibangsa kita hanya menempatakan sekolah sebagai yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan. Dan saat ini paradigma pendidikan kita membentuk seperti itu. Ini justru kesalahan pola pikir yang berlebihan dan keinginan pemerintah untuk lepas tangan dari tanggung jawabnya.

1. Landasan Filosofis dan Kebijakan Sistem Pendidikan

Untuk memahami perbedaan yang ada antara sistem pendidikan Jepang dan sistem pendidikan Indonesia, akan sangat baik bila kita terlebih dahulu melihat landasan filosofis yang mendasari kedua sistem pendidikan tersebut. Membicarakan sistem pendidikan dari sisi filosofis akan cenderung terkait dengan nilai ideal yang dijadikan landasan bagi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kinerja. Sebagai contoh, Pancasila yang dijadikan landasan filosofis bangsa Indonesia diharapkan menjadi salah satu pedoman hidup dari bangsa yang terdiri atas beragam latar belakang agama dan suku bangsa ini.

Kurikulum adalah cerminan filsafat yang dipercayai oleh masyarakatnya (Alwasilah 2007:16). Dengan demikian, penyusunan kurikulum akan senantiasa berkaitan dengan tiga bidang filsafat, yaitu ontology yang berkaitan dengan hakikat realita, epistemology yang membahas hakikat pengetahuan, dan axiology, bidang filsafat yang mengkaji permasalahan nilai.

2. Sistem Pendidikan Jepang

Peraturan pendidikan di Jepang dapat dibedakan dalam dua periode, yaitu sebelum dan sesudah perang Dunia II. Sebelum perang, kebijakan pendidikan yang berlaku adalah Salinan Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan (Imperial Rescript on Education). Dinyatakan bahwa para leluhur Kaisar terdahulu telah membangun Kekaisaran dengan berbasis pada nilai yang luas dan kekal, serta menanamkannya secara mendalam dan kokoh. Materi pelajarannya dipadukan dalam bentuk kesetiaan dan kepatuhan dari generasi ke generasi yang menggambarkan keindahannya.

Itulah kejayaan dari karakter Kaisar, dan ia juga telah mengendalikannya dengan sumber-sumber berpendidikan. Pendidikan hendaknya mampu mengafiliasikan seseorang kepada orang tuanya, suami isteri secara harmoni, sebagai sahabat sejati, menjadi diri sendiri yang sederhana dan moderat, mencurahkan kasih sayang kepada semua pihak, serta menuntut ilmu dan memupuk seni.

Dari situlah pendidikan tersebut dapat mengembangkan daya intelektual dan kekuatan moralnya yang sempurna, selalu menghormati konstitusi, dan menjalankan hukum. Dalam kondisi darurat sekalipun, diharapkan dapat mempersembahkan keberanian demi negara, melindungi dan menjaga kesejahteraan istana Kaisar seusia langit dan bumi. Maka, tidaklah menjadi orang yang baik dan setia semata, melainkan mampu melanjutkan tradisi leluhur yang amat mulia.

Sesudah perang, mulai 3 November 1946, konstitusi baru Jepang menetapkan kebijakan pendidikannya atas dasar hak asasi manusia, jaminan kebebasan berfikir, dan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan akademik, dan hak bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan mereka. Pada Maret 1947, melalui Peraturan Pendidikan Nasional (School Education Law) ditetapkan susunan dasar pendidikan keseluruhan atas dasar 6-3-3-4 beserta tujuan khusus pada tiap jenjangnya.

Pada Maret 1947 juga berlaku Hukum Dasar Pendidikan (Fundamental Law of Education) yang pada hakekatnya merupakan statement filsafat pendidikan demokratis yang dalam banyak hal berbeda dengan Imperial Rescript on Education. Misalnya, dalam hubungan antara warga dengan negara, dalam Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa, Citizens have the duty to develop their intellectual and moral faculties, observethe laws, and offer themselves courageously to the State in order the quard and maintain the prosperity of Imperial throne (Imam Barnadib, 1986: 53), (setiap warga memiliki kewajiban untuk mengembangkan daya intelektual dan moral mereka, melaksanakan hukum dan mempersembahkan keberaniannya demi negara untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan istana Kaisar).

Sedangkan dalam Fundamental Law of Education disebutkan bahwa, Citizen have the right to equal opportunity or receving education according to their ability; freedom from discrimination on acaount of race, cree sex, social status, economic position, or family origin; financial assistance, to the able needy, academin freedom, and the responsibility to build a peaceful State and society (Imam Banrnadib, 1986: 53), (Setiap warga memiliki kesempatan yang sama menerima pendidikan menurut kemampuan mereka, bebas dari diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, status sosial, posisi ekonomi, asal usul keluarga, bantuan finansial, bagi yang memerlukan, kebebasan akademik, dan tanggung jawab untuk membangun negara dan masyarakat yang damai).

Perbedaan yang lain adalah mengenai tujuan pendidikan. Dalam Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kesetiaan dan ketaatan bagi Kaisar agar dapat memperoleh persatuan masyarakat di bawah ayah yang sama, yakni Kaisar. Adapun tujuan pendidikan menurut Fundamental Law of Education adalah untuk meningkatkan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa yang bebas.



3 Pendidikan Wajib

Wajib sekolah berlaku bagi anak usia 6 sampai 15 tahun, tetapi kebanyakan anak bersekolah lebih lama dari yang diwajibkan. Tiap anak bersekolah di SD pada usia 6 tahun hingga 12 tahun, lalu SMP hingga usia 15 tahun. Pendidikan wajib ini bersifat cuma-cuma bagi semua anak, khususnya biaya sekolah dan buku. Untuk alat-alat pelajaran, kegiatan di luar sekolah, piknik dan makan siang di sekolah perlu membayar sendiri. namun bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat dan daerah.

Di samping itu ada juga bantuan untuk kebutuhan belajar, perawatan kesehatan, dan lain-lain. Seorang anak yang telah tamat SD diwajibkan meneruskan pendidikannya ke jenjang SMP. Dengan demikian, sekolah wajib ditempuh selama 9 tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP.

Hampir semua siswa di Jepang belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama SMP, dan kebanyakan mempelajarinya paling tidak selama 6 tahun. Mata pelajaran wajib di SMP adalah bahasa Jepang, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, seni rupa, pendidikan jasmani, dan pendidikan kesejahteraan keluarga. Berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu sehingga jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 177-178).

4 Pendidikan Menengah Atas

Ada tiga jenis SMA, yaitu: full time, part time (terutama malam hari), dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3 tahun, sedangkan kedua jenis sekolah lainnya menghasilkan diploma yang setara. Bagian terbesar siswa mendapat pendidikan menengah atas di SMA [I]full time. Jurusan di SMA dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan pola kurikulum, yaitu jurusan umum (akademis), pertanian, teknik, perdagangan, perikanan, home economic,dan perawatan. Untuk masuk ke salah satu jenis sekolah tersebut, siswa harus mengikuti ujian masuk dan membawa surat referensi dari SMP tempat ia lulus sebelumnya.

Hampir semua SMP dan SMA serta Universitas swasta menentukan penerimaan siswa melalui ujian masuk, dan setiap sekolah menyelenggakan ujian masuk sendiri. Siswa yang ingin masuk sekolah yang bersangkutan harus mengikuti ujian. Karena ujian masuk sangat sulit, siswa kerap mengikuti les tambahan (bimbingan belajar) di juku atau yobiko pada akhir pekan atau pada sore/malam hari biasa, selain pelajaran sekolahnya (Abd Rachman Assegaf, 2003: 178-179).

5 Pendidikan Tinggi

Ada tiga jenis lembaga pendidikan tinggi, yaitu: universitas, junior college (akademi), dan technical college (akademi teknik). Di universitas terdapat pendidikan sarjana (S-) dan pascasarjana (S-2 dan S-3). Pendidikan S-1 berlangsung selama 4 tahun, menghasilkan sarjana bergelar Bachelor’s degree, kecuali di fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang berlangsung selama 6 tahun. Pendidikan pascasarjana dibagi dalam dua kategori, yakni Master’s degree (S-2) ditempuh selama 2 tahun sesudah tamat S-1dan Doctor’s degree (S-3) ditempuh selama 5 tahun.

Junior college memberikan pendidikan selama dua atau tiga tahun bagi para lulusan SMA. Kredit yang diperlukan di junior college dapat dihitung sebagai bagian dari kredit untuk memperoleh gelar Bachelor’s degree (S-1). Lulusan sekolah menengah (setingkat SMP) dapat masuk ke technical college (akademi teknik). Pendidikan di lembaga ini berlangsung selama 5 tahun (full time) untuk mencetak tenaga teknisi.

Universitas dan junior college memilih mahasiswanya berdasarkan hasil ujian masuk serta hasil prestasi belajar dari SMA. Untuk sekolah negeri dan umum daerah, sejak tahun 1979 diberlakukan “tes gabungan kecakapan” yang seragam, sebagai tahap pertama dari sistem ujian masuk. Tahap kedua berupa ujian masuk universitas yang bersangkutan sebagai seleksi final.

Pendidikan tinggi di Jepang berada di bawah pengelolaan tiga lembaga, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Ada lima jenis pendidikan tinggi yang bisa dipilih mahasiswa asing di negara Jepang ini, yaitu: program sarjana, pascasarjana, diploma (non gelar), akademi, dan sekolah kejuruan. Program sarjana menerima tiga macam mahasiswa, yaitu: mahasiswa reguler, mahasiswa pendengar, dan mahasiswa pengumpul kredit.

Mahasiswa reguler adalah mereka yang belajar selama 4 tahun, kecuali jurusan kedokteran yang harus menempuh 6 tahun. Mahasiswa pendengar adalah mahasiswa yang diijinkan mengambil mata kuliah tertentu dengan syarat dan jumlah kredit yang berbeda di setiap universitas tetapi kredit itu tidak diakui. Adapun mahasiswa pengumpul kredit hampir sama dengan mahasiswa pendengar, tetapi kreditnya diakui.

Sedangkan program pascasarjana terdiri atas program Master, Doktor, Mahasiswa Peneliti, Mahasiswa Pendengar, dan Pengumpul Kredit. Mahasiswa Peneliti adalah mahasiswa yang diijinkan melakukan penelitian dalam bidang tertentu selama 1 semester atau 1 tahun tanpa tujuan mendapatkan gelar. Program ketiga adalah diploma, yang lama pendidikannya 2 tahun. Enam puluh persen dari program ini diperuntukkan bagi pelajar perempuan dan mengajarkan bidang-bidang seperti kesejahteraan keluarga, sastra, bahasa, kependidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Akademi atau special training academy adalah lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan bidang-bidang khusus, sepertiketerampilan yang diperlukan dalam pekerjaan atau kebidupan sehari-hari dengan lama pendidikan antara 1 sampai 3 tahun. Adapun sekolah kejuruan adalah program khusus untuk lulusan SMP dengan lama pendidikan 5 tahun dan bertujuan membina teknisi yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 179-180).



6 Sistem Pendidikan Indonesia

India dan Malaysia merupakan contoh bagi hadirnya pengaruh sistem pendidikan kolonial Inggris atas kelanjutan sistem pendidikan yang berlaku di kedua negara tersebut. beberapa praktek pendidikan yang dilaksanakan Inggris ternyata diteruskan, bisa jadi karena dianggap masih relevan, baik oleh India maupun Malaysia. Pengalaman yang sama bisa dipakai untuk menjelaskan akar sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Bedanya, meskipun pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia telah berlangsung selama tiga setengah abad, justru sistem pendidikan yang banyak digunakan adalah masa kependudukan jepang. Sebut saja sistem penjenjangan pendidikan di Indonesia pasca kemerdekaan.

Ketika akhir pendudukan Jepang, pola sistem penjenjangan yang berlaku adalah 6-3-3-4, begitu Indonesia merdeka ternyata sistem penjenjangan ini diteruskan dengan menerapkan 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi SMP, 3 tahun bagi SMA, dan 4 tahun sampai 6 tahun bagi perguruan tinggi. Tentu saja dengan menyebut kolonial tersebut bukan menunjukkan totalitas karena terlalu banyaknya perbedaan yang dikembangkan oleh negara bersangkutan setelah merdeka. Pasca kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia mengalami serangkaian transformasi dari sistem persekolahannya .

Hal ini bisa dilihat dengan adanya perubahan undang-undang tentang pendidikan, yaitu UU No.4 Tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dan UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui undang-undang ini, maka pendidikan nasional telah mempunyai dasar legalitasnya.

Namun demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan suatu hal yang baku. Suatu sistem merupakan suatu proses yang terus-menerus mencari dan menyempurnakan bentuknya. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia selama ini belum mampu menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja, bahkan lulusan yang dihasilkan juga masih disanksikan kualitasnya.

Dalam Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

7 Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun yang terdiri atas program pendidikan 6 tahun yang diselenggarakan di SD dan 3 tahun di SMP. Kurikulum pendidikan dasar menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu, yang masing-masing disebut semester gasal dan semester genap. Kurikulum pendidikan dasar disusun untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar disusun untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SMP atau Madrasah Tsanawiyah (MTS).

Padanan dari SD adalah MI, sedangkan SMP adalah MTS. Bedanya, SD dan SMP berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sedangkan MI dan MTS di bawah Departemen Agama (Depag). Di samping itu, komposisi kurikulum agamanya lebih banyak di MI dan MTS dengan rasio 70% umum:30% agama, sedangkan di SD dan SMP hanya memberikan pelajaran agama dua jam pelajaran dalam satu pekan. Jam belajar di SD lebih panjang dari pada TK. Normalnya siswa masuk kelas pikil 07.00 dan pulang pada pukul 12.00.

Isi kurikulum pendidikan dasar memuat mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal. SD menggunakan sistem guru kelas, kecuali untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sedangkan SMP menggunakan sistem guru bidang studi.

8 Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah meliputi SMA, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), atau yang sederajat dengannya. Tujuan pendidikan menengah adalah menungkatkan pengetahuan siswa dalam melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya.

Program pelajaran di SMA dan kejuruan lebih luas dari pada pendidikan dasar. Program pengajaran umum mencakup bahan kajian dan pelajaran yang disusun dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Ilmu Pengetahuan Alam (Fisiska, Biologi, dan Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi), dan Pendidikan Seni. Sejak kurikulum 1994, program pengajaran di jenjang pendidikan menengah ini diatur dalam program pengajaran khusus yang meliputi tiga jurusan, yakni program Bahasa, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Kurikulum SMA dan yang sederajat menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu yang masing-masing disebut semester gasal dan semester genap, sedangkan sistem pengejarannya memakai sistem guru bidang studi.

9 Pendidikan Tinggi

Setelah seorang siswa yang telah menamatkan studi di SMA atau yang setaraf dengannya, apabila ia bermaksud untuk melanjutkan pendidikannya bisa memilih perguruan tinggi manapun yang ada di Indonesia. Berbeda dengan sekolah menengah, perguruan tinggi menerapkan sistem kredit semester (SKS). Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa jika dapat menghabiskan jumlah kredit mata kuliah yang ditargetkan dan dapat menempuhnya dalam waktu tertentu sesuai dengan rencana yang diprogramkan, mahasiswa tersebut dapat menyelesaikan pendidikan tinggi Strata 1 (S 1) dalam waktu 4 tahun.

Namun bila tidak sanggup karena banyak mengulang mata kuliah yang rendah nilainya atau karena cuti, waktu yang ditempuh untuk diwisuda sebagai seorang sarjana bisa lebih dari 4 tahun. Kalau ia berhasil wisuda dan berniat melanjutkan studi lanjut, masih ada dua tahap dalam pendidikan tinggi yang dapat ditempuhnya, yaitu jenjang S 2 atau Magister yang normalnya ditempuh selama 2 tahun dan jenjang S 3 atau Doktor yang efektifnya ditempuh selama 2 tahun, sedangkan sisanya untuk penelitian. Apabila seluruh tahap pendidikan tinggi ini ditempuh, diberi gelar Doktor untuk bidang yang dipilihnya. Jenjang ini mengakhiri karier akademik seseorang secara formal.

Seperti halnya di banyak negara lain, di Indonesia juga dikenal adanya perguruan tinggi negeri yang dikelola langsung oleh pemerintah dan perguruan tinggi swasta. Dalam realitasnya, pelajar Indonesia banyak yang mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terlebih dahulu, baru menetapkan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Kesan sekolah negeri dan PTN lebih unggul dan absah serta dianggap lebih mudah mendapat kerja masih melekat dan banyak diyakini oleh masyarakat.

10 Komplikasi Ujian Akhir Nasional di Indonesia

Proses pembodohan yang paling parah yang dilakukan pihak sekolah adalah pada proses ujian semester dan ujian nasional. Bayangkan adanya standarnisasi nilai pada Ujian Akhir Nasional (UAN) dimana dari tahun ketahun terus ditingkatkan bukannya menjadikan pihak sekolah berupaya meningkatkan mutu mengajarnya untuk meningktkan jumlah kelulusan. Pihak sekolah justru malah mencari cara agar pada saat UAN nanti mampu memperoleh bocoran soal dan membantu siswa-siswanya.

Hal ini saya kira bukan lagi menjadi sebuah rahasia. Jika kita perhatikan laporan pemberitaan media tentang soal ujian yang bocor atau adanya pihak guru yang bekerjasama dengan kepala sekolah untuk memberikan kuci jawaban kepada siswa dari tahun ketahun tetap ada. Bahkan sebenarnya yang tidak ketahuan lebih banyak lagi. Apalagi bagi sekolah unggulan atau sekolah favorit justru berupaya keras tetap menjaga angka kelulusan siswanya yang tnggi meskipun dengan cara yang salah.

Belum lagi jika kita sebutkan tentang guru yang merubah atau mengganti nilai siswa karena siswa itu anak pejabat atau anak kepala sekolah dan sebagainya. Atau fenomena mengganti buku raport beserta nilainya karena siswa itu butuh raport dengan nilai tinggi. Kesemua ini justru membuat siswa berpikiran buat apa belajar toh nantinya juga ada bantuan, sungguh sangat mengecewakan.

11 Perbandingan sistem pendidikan tradisional dengan modern

Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang "pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.



12 Antara Menghafal dan Berfikir

Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal.

Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang "kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik". Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa "menikmati" enaknya sekolah.

Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat.

Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik.



13 Kiblat Pendidikan

Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan "proses", dengan metode pengajaran yang disebut "Inquiry Teaching Method".

Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Jepang hari ini, memiliki kebebesan berfikir dan berkarya bagi siswanya sesuai dengan hobi dan potensi yang dimiliki siswanya, karena setiap siswa memiliki hobi yang tentu tidak sama, tidak semua siswa pintar matimatika

Go to top