Jilbab, Syariat Islam dan Kacamata Barat
Oleh: Khalif Muammar MA*
Seringkali seseorang tidak menyadari bahwa cara berpikirnya sudah tidak islami, meski secara fisik kelihatannya dia menggunakan simbol-simbol Islam atau beribadah layaknya kaum Muslim.
Bukan hal yang baru jika seorang Muslim yang dididik dengan pendidikan sekuler, tiba-tiba ia memandang Islam dengan kacamata Barat. Contoh kasus adalah kampanye kesetaraan gender yang dilakukan kaum feminis. Kekeliruan tampak jelas ketika Dr. Amina Wadud melihat bahwa pemberian qawamah (kepimpinan rumah tangga) kepada kaum lelaki adalah diskriminasi dan penindasan terhadap kaum wanita. Asumsi dasarnya adalah kepimpinan merupakan satu kemuliaan, dengan memberikannya kepada kaum lelaki berarti kaum perempuan lebih rendah martabatnya daripada kaum lelaki.
Padahal, Islam tidak melihat kepimpinan sebagai kemuliaan atau kebanggaan, melainkan satu tanggungjawab dan beban. Ini berarti yang dipimpin tidak lebih rendah martabatnya dibanding yang memimpin. Tetapi justru yang memimpin mempunyai tanggungjawab yang lebih berat dibanding yang dipimpin.
Jadi, dengan cara pandang seperti ini kaum perempuan seharusnya merasa beruntung karena mereka ada tempat bergantung dalam keluarga. Tidak diangkat menjadi pemimpin berarti bebannya lebih ringan. Kaum perempuan adalah golongan yang paling beruntung karena Allah memberi banyak keringanan. Mereka tidak diwajibkan shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid, tidak wajib berjihad, tidak wajib membiayai keluarga, juga tidak wajib menjalani ibadah shalat ketika menstruasi. Toh tanpa melakukan semua itu mereka tetap mendapat ganjaran yang sama dengan kaum lelaki. Tetapi mengapa yang terjadi kaum feminis melihat secara terbalik? Masalahnya, kaca-mata dan tolak ukur yang digunakan sudah salah.
Kasus lain yang sering menjadi masalah di Indonesia adalah isu jilbab. Lima tahun ini, isu jilbab semakin berkembang tatkala beberapa daerah di Indonesia menerapkan Perda Syariat memberlakukan aturan jilbab. Termasuk di Aceh.
Kaum liberal mengeluarkan pemikiran, bahwa negara tidak boleh memaksakan jilbab. Kata-kata memaksakan itu sengaja diobral untuk memberi kesan negatif dari pelaksanaan syariat. Di Malaysia, Kelantan yang diperintah oleh partai Islam (PAS) sejak 28 tahun lalu, tidak mengalami masalah yang hebat seperti yang dialami oleh Aceh atau di beberapa daerah di Indonesia.
Harap tahu, di Kelantan –negara bagian di Malaysia di mana partai Islam menang mutlak— iklan-iklan diharuskan menggunakan jilbab atau menutup aurat. Walaupun dari segi kemajuan material, Kelantan tidak semaju negeri-negeri yang lain tetapi penghayatan Islam tampak lebih baik dibanding negeri-negeri lain di Malaysia.
Pemerintah yang ingin melaksanakan Islam di Aceh dan Kelantan menyadari bahwa negara mempunyai tanggungjawab melaksanakan kewajiban amar makruf nahi munkar. Pemerintah bertanggungjawab memastikan agar agama dan moral masyarakat terpelihara. Tidak seperti negara sekuler yang hanya memikirkan pembangunan material.
Muhammad Said al-Ashmawi, dalam bukunya Kritik Atas Jilbab (JIL, 2003), meragukan kewajiban jilbab dalam al-Qur’an surat al-Ahzab: 59 dan dengan sengaja membelakangi surat al-Nur: 30-31 yang disebutnya bersifat kondisional, elitis, politis dan diskriminatif.
Menurutnya, kondisional setelah perang Khandaq keamanan umat Islam tergugat. Dianggap bersifat politis karena ia diturunkan untuk membendung politik kaum munafikin setelah peristiwa al-ifk. Ia juga berpandangan, jilbab itu adalah keputusan elitis dan diskriminatif karena ayat tersebut bertujuan untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba sahaya. Atas alasan-alasan ini menurutnya, jilbab tidak boleh diaplikasikan di zaman sekarang. Kesimpulan Ashmawi di atas adalah metodologi khusus yang sering dipergunakan kaum liberalis. Metodologi historisitas, begitu para penganut liberal mengatakan, adalah yang selama ini digunakan oleh Barat dalam mengkaji ajaran Kristen termasuk dalam membedah Bible.
Sejak tahun 60-an, Fazlur Rahman (guru Nurcholis Madjid) telah menggunakan metode historisitas ini dalam bukunya Islamic Methodology in History untuk meragukan otoritas al-Sunnah dan Ijma’. Dalam kajian historis ini mereka akan membelakangi normativitas. Atas dasar ini mereka akan mengkritik apa saja dan siapa saja termasuk Nabi Muhammad SAW dan al-Qur’an.
Bagi mereka, dalam sejarah yang bersifat immanen tiada sesuatu pun yang suci (sakral), sesuatu yang sakral hanya wujud dalam ruang keagamaan yang transenden. Setiap perintah agama itu dilihat sebagai produk budaya dan sejarah. Bagi kaum liberal, tidak ada yang benar-benar produk Tuhan. Bahkan menurut guru kaum liberal di Indonesia, Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an adalah produk budaya.
Islam tidak memisahkan historisitas dengan normativitas. Rasulullah SAW yang disaksikan dalam sejarah tidak berbeda dengan Rasulullah SAW yang dijelaskan dalam agama. Kajian historisitas seperti ini memang cocoknya hanya dikembangkan dalam agama Kristen, bukan Islam. Aspek normativitas tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Bagaimana seseorang bisa menjadi orang yang beriman kalau ia tidak mengikut perintah Allah SWT?
Dengan dalih berpegang kepada maqasid al-shari’ah (prinsip-prinsip syariah), kaum liberal mengatakan bahwa esensi kewajiban berjilbab adalah kesopanan dalam berpakaian. Oleh karena itu, yang penting adalah kefahaman terhadap standar kepantasan umum (public decency) dan pembentukan akal budi.
Di sini mereka telah mendangkalkan jilbab sebagai formalitas kosong. Padahal dalam aturan tersebut ada spirit atau ruh untuk menjaga kesucian kaum wanita. Kalaupun itu hanya bentuk luar dan kesopanan itu masalah dalam, maka kita tidak boleh mengabaikan antara yang luar dengan menumpukan hanya kepada yang dalam. Islam memberi perhatian yang seimbang terhadap kedua aspek exoteric dan esoteric. Keduanya, dalam Islam saling mempengaruhi dan penting dalam kehidupan manusia.
Prinsip berpikir kaum liberal berikutnya adalah menaruh curiga terhadap segala bentuk pelaksanaan syariat Islam. Kecurigaan ini ada hubungannya dengan Islamophobia (sikap takut kepada Islam) yang telah menyebar di seluruh dunia. Mereka curiga dan mempunyai pengandaian yang negatif terhadap segala ajaran Islam tanpa menyelidiki dengan teliti asumsi-asumsi tersebut.
Kasus Malaysia
Umumnya, mayoritas masyarakat Barat tidak menghormati tradisi. Selagi seseorang masih mengamalkan tradisi, yang didalamnya agama, maka dia tidak dianggap modern dan maju. Apakah benar agama –dalam konteks ini Islam– menjadi penghalang kemajuan?
Buktinya tidak. Di Malaysia, kesadaran berjilbab relatif tinggi. Mayoritas artis yang memilih untuk berkerudung tidak merasakan risiko negatif terhadap karir mereka. Wardina Safiyyah, Siti Nurhaliza, Fauziah Ahmad Daud, tetap populer dan laku walaupun penampilan mereka semakin sopan.
Seorang pekerja rendahan di perusahaan multinasional di Kuala Lumpur pernah mengambil tindakan hukum terhadap perusahaannya yang memecatnya, karena dia memakai jilbab. Masyarakat di sini tahu hak mereka dan tidak tunduk kepada tekanan golongan kapitalis. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asing itu yang terpaksa tunduk dan menghormati hak-hak orang Islam untuk melaksanakan ajaran Islam. SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2008
* Peneliti di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM dan penulis buku ‘Atas Nama Kebenaran’: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal (2006). Penulis kini berdomisili di Malaysia.