Pertobatan seorang wanita, mantan pemimpin redaksi tabloid ‘panas’
Jauh sebelum masa –masa ketenangan jiwaku datang seperti saat ini, diriku tak ubah seonggok sampah di kubangan kehidupan. Tak seorang pun menghargai selain teman-teman semu, lingkungan semu, dan hiruk pikuk para pelaku bisnis media abu-abu.
Kisah hidupku bermula pada lembaran awal tahun 2000. Berawal dari kenekatan terjun di media panas, akhirnya menyeretku kian jauh dan menjungkirbalikkan idealisme dan hubungan personalku sebagai hamba Allah.
Sebelumnya, aku berkarir di sebuah harian kriminal di Surabaya. Setidaknya selama hampir 7 tahun lebih aku mendapat tempaan begitu keras dari para senior dan ilmu, serta pengalaman jurnalis yang tidak kudapatkan di bangku kuliah. Sempat juga dikirim ke Jakarta selama 2 tahun untuk memburu berita-berita hangat dari para selebritis. Kemudian kembali ke Surabaya dan ditempatkan di rubrik Liputan malam. Tak ayal aku pun mulai menceburkan diri dalam sisik pernik kehidupan gemerlap malam termasuk prostitusi dan narkoba.
Rupanya dua tahun tugas di Jakarta membuatku berpikir untuk kembali lagi. Apalagi orangtua dan seluruh saudara tinggal di Surabaya. Dan kesempatan itu datang tatkala seorang teman menawari kerja di sebuah tabloid. Tahun 2000 atau pasca tumbangnya Orde Baru melahirkan era kebebasan pers. Tak ada lagi pembredelan serta aturan rumit untuk membuat usaha media. Melihat kondisi menguntungkan ini, teman-teman sepakat membuat tabloid ‘panas’. Dengan harga Rp 3000 dan sajian memikat foto-foto serta berita model cantik bertubuh seksi, tabloid ini dengan segera menguasai pasar.
Tak kurang satu tahun, posisiku sebagai reporter investigasi lokasi-lokasi prostitusi ibukota maupun di berbagai daerah di pulau Jawa, dinaikkan menjadi redaktur pelaksana kemudian wakil pemimpin redaksi. Suatu ketika karena suatu konflik dengan menejeman, beberapa teman di posisi penting dicopot termasuk pemimpin redaksi. Menejemen kemudian menunjukku menggantikannya.
Penghasilan cukup lumayan ditambah fasilitas perusahaan dan pergaulan dengan para narasumber (model, agen, pengusaha dunia malam, dan sebagainya) dalam waktu singkat mengubahku dari seorang wanita biasa-biasa saja yang tidak suka kehidupan glamor menjadi rekanan dan sahabat para pelaku dunia malam. Bukan rahasia lagi dunia malam identik dengan pesta-pesta minuman keras dan narkoba.
Dan sejak itu diriku kian hanyut dan tak terkendali…
Kehidupan spiritualku berantakan. Kewajiban selayaknya manusia beragama kutinggalkan. Begitupun hubunganku dengan sanak saudara semakin jauh. Aku enggan untuk didekati . Sebaliknya aku lebih asyik dengan kesenangan duniawi. Setiap akhir pekan, selepas 5 hari berkutat mengurusi hasil liputan para reporter dan ikut sibuk memantau pemotretan gadis-gadis model, aku terlempar dalam pesta-pesta malam.
Seringkali aku mendapat pertanyaan, bagaimana perasaanku sebagai wanita menghadapi gadis-gadis belia yang berpose seronok di depan kamera? Mungkin klise, tapi inilah jawabanku sejujurnya. Inilah kehidupan, ada yang hitam ada yang putih. Kita tak berhak untuk memaksa seseorang menjadi hitam atau putih. Selain itu aku tidak merasa mengeksploitasi mereka. Merekalah yang datang dengan sukarela untuk menawarkan keindahan tubuhnya. Justru dengan tampil sebagai cover model tabloidku, ‘harga’ mereka otomatis akan naik berkali lipat. Jadi, siapa memanfaatkan siapa?
Namun Allah rupanya sangat sayang padaku. Setelah 6 tahun tenggelam dalam kesenangan duniawi, tangan Allah turun menyelamatkanku. Pertama, awal tahun 2006 perseteruan antara diriku dengan pimpinan perusahaan mulai mengemuka berbarengan dengan razia yang kian gencar dilakukan aparat kepolisian. Sebelumnya dua kali aku mendapat teguran keras dari Polda Metro Jaya, bahkan yang terakhir aku sempat diperiksa sebagai tersangka pornografi. Segala macam usaha jelas kulakukan untuk menghindari sel penjara, dan alhamdulillah kasus itu tidak dilanjutkan. Aku hanya mendapat sangsi wajib lapor dan tidak memuat foto-foto seronok. Dari dua pengalaman itu, aku merasa mulai lelah menghadapi pekerjaan yang penuh risiko.
Kedua, seorang teman mulai aktif menggiringku mengikuti taklim. Sungguh aku merasa sangat kotor dan tidak pantas sehingga mula-mula aku menolak keras. Tapi berkat ketelatenannya dibantu seorang ibu muda yang sangat piawai membuka wawasan dan mengenalkan ayat-ayat al-Qur`an lewat bahasa sederhana dan mudah dipahami (tanpa diembel-embeli ancaman dosa ini itu) diriku pun perlahan luruh dan takluk.
Untuk memperkuat langkahku agar lurus kembali, aku pun mulai gemar membaca dan menghayati sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasa cinta yang terus berkobar terhadap beliau nan agung dan suci ini tanpa aku sadari membantuku ikhlas melepas segala kesenangan sesaat. Begitupun untuk melepaskan diri dari jerat ‘asap ilusi’ ternyata cukup mudah. Tidak perlu harus pergi ke dokter spesialis atau ahli terapi. Akan tetapi cukup mengambil air wudhu dan berpasrah diri dalam sujud (shalat) mohon bantuan dan perlindungan dari sang satu-satunya pemilik segala kuasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).
Dari sinilah aku pun kian mematangkan diri keluar dari lingkaran abu-abu. Aku yakin dengan keputusan ini, Allah ridha dan akan tetap mencukupi segala kebutuhanku. Hijrah dengan melepas segala kemudharatan menuju segala kebaikan- meski kita tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana- segala ujian yang diberikan Allah haruslah dilalui dengan penuh keihklasan. Dan terbukti dengan bangkit dari kubangan lumpur, Allah memberiku berlian begitu indah. Aku kini telah melunasi obsesi sebagai penulis novel sekaligus kembali ke pelukan keluarga.
Novel “Sebelum CahayaMu Datang” kupersembahkan untuk semua kaum ibu yang tercederai aksi pornografi di bumi pertiwi. Dari lubuk hati terdalam, aku mohon maaf sebesarnya atas kiprahku selama menggeluti media ‘panas’. Sebelum menuliskan kisah hidupku di novel ini, jujur sempat terjadi perang batin. Pantaskah kisah kelamku ini dibaca publik? Setelah bermalam-malam aku tunduk sujud dan mohon ampun atas segala dosa pada sang maha pemilik jiwa raga, Allah SWT, akhirnya kuputuskan tidak ada salahnya menulis kisah ini sebagai bagian dari jihad. Aku memang tidak bisa mengubah orang lain, tetapi aku harus mengubah diriku sendiri.
Novel kedua “Pesan Dari Sambu” kupersembahkan untuk pulau tempatku dilahirkan, Sambu, Riau yang dipenuhi manusia separuh Melayu separuh Jawa. Sekarang aku sedang menyiapkan sekuel kedua dari Pesan Dari Sambu.
Semoga bisa dipetik hikmahnya. * Dikisahkan oleh Tasmi PS, manta Pimpred tabloid ‘panas’, Lipstik
• Bagaimana cara ‘teman’ itu menggiring Tasmi hingga mau datang taklim, dan apa pula yang disampaikan ‘ibu muda’ itu, ikuti kisah selanjutnya pada edesi berikutnya. SUARA HIDAYATULLAH, DESEMBER 2010