Semua ada waktunya. Jalani saja. Jangan terus berkeluh kesah. Sabar dan yakin atas sekenario Allah.
Memulai aktivitas sehari-hari sepenuhnya di rumah memang tidak mudah. Terutama bagi mereka yang sebelumnya terbiasa sibuk dengan aktivitas di dunia kerja. Begitu banyak keinginan yang mendesak agar kembali pada rutinitas semula di luar rumah. Walaupun, cita-cita menjadi satu-satunya orang yang menuntun langkah si buah hati di jalan takwa sudah dibulatkan dalam hati.
Tak jarang kondisi seperti ini yang membuat seorang Muslimah merasa sangat tertekan dengan kewajiban-kewajibannya sebagai istri dan ibu. Beban ini kemudian menumpulkan logika, lalu serta-merta menunjuk anak sebagai penyebabnya. Padahal, tentu anak bukanlah penyebab apalagi titik awal kemunduran eksistensi perempuan. Menjadi istri bukan berarti mengubur potensi dan tentu saja memiliki anak bukan berarti berhenti mengejar mimpi.
Ada Waktunya
Terkadang, kita harus mengakui bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kelemahan. Dua di antaranya yang kerap menghantui perempuan saat menjadi istri dan menjadi ibu adalah tergesa-gesa dan berkeluh kesah.
Tergesa-gesa ingin segera mewujudkan apa yang diinginkan, tetapi kadang lupa dengan proses yang harus dilalui. Kita semua tentu menginginkan sebuah keluarga yang harmonis dan tercukupi segenap kebutuhan ekonomi, bahkan bila memungkinkan dapat berlebih. Sayangnya, seringkali kenyataan tak berlaku demikian. Yang ada adalah pasangan yang bergaji tak pas dengan kebutuhan. Yang nyata di depan mata adalah anak dengan setumpuk kerepotan yang dibuatnya setiap waktu.
Yakinlah, semua ada waktunya. Ada waktunya kita harus bersabar dengan segala kondisi yang tak sesuai dengan keinginan hati. Ada waktunya kita menjalani hidup dengan kesederhanaan dan ada waktunya kita menikmati kerepotan yang dihadirkan anak. Sama sekali bukan untuk sebuah kesia-siaan. Namun, untuk sesuatu yang besar yang tengah Allah persiapkan untuk kehidupan yang lebih baik di waktu yang akan datang.
Kelemahan lain yang kerap mengusik perjalanan kita adalah terlalu banyak berkeluh-kesah. Keluh kesah sungguh bukan hal yang terlarang, akan tetapi bila terlalu sering dirasakan dan dilontarkan, tentu akan memberatkan langkah.
Berdamailah dengan realita. Pandanglah dengan mata hati yang jernih bahwa apa yang kita alami saat ini sesungguhnya adalah tahapan yang diberikan Allah agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Bila saat ini kita harus berjibaku dengan setumpuk pekerjaan rumah, kerewelan anak, plus pekerjaan untuk mencari nafkah tambahan, yakinlah bahwa beban lebih yang kita tanggung adalah alasan untuk menjadi lebih bernilai di hadapan-Nya. Bahwa apa yang membuat punggung kita semakin membungkuk karena letihnya memikul tanggung jawab adalah training yang Allah berikan agar kita siap mengemban amanah yang lebih besar. Bukankah amanah membangun peradaban berawal dari dalam rumah?
Bila memang perlu berkeluh kesah, berkeluh kesahlah dengan membawa hasil. Artinya, tak sekadar curhat atau membicarakan kesedihan yang semakin membuat batin terpuruk. Namun, bicarakanlah dengan pasangan tentang apa yang harus dilakukan agar nafas bisa sedikit terasa lebih lega. Saling berbicara dan menemukan solusi bersama, akan membuat kita merasa ditemani dan diringankan.
Maknai dengan Iman
Sungguh, menjadi istri dan ibu adalah pekerjaan yang mulia. Karena itu, bersabarlah dengan kesabaran yang luar biasa saat menjalani tanggung jawab yang mulia ini. Tanggalkan perasaan rendah diri, apalagi keraguan terhadap masa depan.
Cara bersabar telah Allah berikan dalam surat Ali-Imran ayat 139: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang yang beriman.”
Inilah kuncinya; kesedihan, rendah diri, dan kelemahan akan lenyap dan berganti dengan kemuliaan manakala kita kembali pada iman.
Bila kesibukan yang kita lakukan hanya sekadar sebuah rutinitas karena sebuah kata “seharusnya”, maka tak heran kita akan terperangkap dalam kejenuhan. Karena, rutinitas kesibukan memang tak menyelesaikan keinginan-keinginan kita yang tak pernah usai.
Bila kita membersihkan rumah karena “seharusnya rumah adalah bersih”, maka ketika anak kita menumpahkan makanan di atas lantai yang baru saja di pel, tentu kita akan segera marah dan merasa usaha kita sia-sia. Padahal sejatinya, rumah tak akan pernah bersih dengan sekali pembersihan. Memasak atau pekerjaan rumah lainnya pun tak akan dilakukan hanya sekali, selama kita masih hidup dan kita masih tinggal bersama keluarga.
Sungguh, seluruh kesibukan dan rutinitas hanya akan menggerus usia dan cita-cita, bila kita tak segera berganti alasan dan tujuan. Renungkanlah kembali, apa yang telah terjadi, bila alasan kita menjalani semua kesibukan selama ini bukanlah karena iman. Seluruh kesibukan hanya menjadi cucuran peluh yang tak berarti. Seluruh usaha dan tenaga yang terkuras tak pernah melunasi sahara dalam jiwa kita. Semakin banyak usaha yang kita kerahkan dan semakin banyak hasil yang kita peroleh, semakin membuat kita merasa kurang dengan apa yang kita terima. Kita pun akan merasa menjadi sapi perah, tapi tak pernah mencapai apa yang kita inginkan.
Berhentilah sejenak. Gantilah alasan kesibukan kita dengan iman. Karena, dengannya, kita akan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Kita akan lebih jeli melihat dan mensyukuri nikmat yang kita miliki. Kita juga akan mengerti bahwa apa yang kita lakukan semata adalah upaya untuk membuat-Nya senang memperhatikan kita. Bila pun ternyata banyak kekurangan dan keterbatasan, maka dengan iman, kita akan meyakini bahwa Allah akan selalu menggenapkan apa yang tak mampu kita lakukan.
Lalu, siapkanlah seluruh potensi dan kemampuan. Yakinlah bahwa tujuan kita melakukan seluruh aktivitas di rumah atau dimanapun, semata-mata bukan untuk sesuatu yang fana. Tujuan kita adalah keabadian di raudhah-Nya. Bila Allah tetapkan kita saat ini berpangkat istri dan ibu, tak lain, agar kita senantiasa berlatih dalam rutinitas, sehingga terampil menyiapkan bekal terbaik, pulang ke kampung akhirat.
Marilah, benarkanlah dengan iman bahwa segala sesuatu yang Allah berikan saat ini adalah yang terbaik dari-Nya. Sebagaimana yang dipesankan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anha: Sesungguhnya ada seorang hamba yang dimudahkan untuk mencapai keinginan-Nya. Tetapi, Allah melihatnya dan berkata pada malaikat, ‘Jauhkanlah ia dari keinginannya itu karena bila Aku memudahkan ia memperoleh keinginannya maka ia akan lebih dekat dengan neraka.’ Selanjutnya hamba tersebut bertanya-tanya mengapa dia gagal mendapatkan apa yang diinginkannya padahal orang lain mendapatkannya. Padahal tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena karunia Allah semata.” SUARA HIDAYATULLAH, PEBRUARI 2011
*Ummu Arina, ibu rumah tangga tinggal di Bekasi.