Tidak semua buku yang ditulis orang terkenal benar isinya. Tetap diperlukan sikap kritis
Sari seorang mahasiswi berjilbab pada sebuah perguruan tinggi umum favorit di kota Pahlawan, Surabaya. Ia dikenal sebagai mahasiswi yang gemar membaca dan aktif menghadiri diskusi keislaman.
Suatu ketika, dalam sebuah forum, ia mengungkapkan perasaannya setelah membaca buku karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer.
Menurutnya, ia menjadi bimbang dengan apa yang selama ini ia pahami tentang jilbab setelah melahab buku tersebut. Dalam buku itu, penulis yang juga tokoh mufassir Indonesia ini berpendapat bahwa jilbab tidak wajib bagi muslimah. Pendapat ini ia sandarkan pada hasil analisanya dari aneka pendapat ulama masa lalu dan cendekiawan kontemporer tentang jilbab.
Quraish berpendapat bahwa perbedaan para ulama itu adalah perbedaan pendapat manusia dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka. Juga pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, bukannya pertimbangan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jelas, pasti dan tegas.
Quraish, menurut Sari, menganggap bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi. Sedangkan Hadits-hadits yang merupakan rujukan untuk pembahasan tentang batas-batas aurat wanita, terdapat ketidaksepakatan tentang nilai kesahihannya. Dengan demikian, ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy atau dugaan.
Bahkan menurut Sari, buku tersebut mengarahkan pembaca pada titik kesimpulan bahwa jilbab tidak wajib berdasar argumen-argumen yang penulis kemukakan. Dan argumen-argumen itulah yang membuat Sari bimbang dengan apa yang selama ini ia yakini. Meski ia mengaku tidak pernah melepas jilbab, setidaknya pemikiran tersebut melemahkan keyakinannya tentang wajibnya berjilbab bagi muslimah.
Pemahaman tentang wajibnya berjilbab ia dapatkan dari kajian di kampus. Sebelumnya, ia tidak pernah memaki jilbab. Setelah membaca buku tersebut, ia sempat membanding-bandingkan penulis buku tersebut dengan para asatid (jamak dari ustadz) di kampusnya.
Dalam hatinya ia sempat meremehkan para asatid tersebut karena menurutnya dari sisi keilmuan, penulis buku tersebut lebih kapabel. Apalagi ia juga mengakui bahwa penulis buku tersebut termasuk cendekiawan Muslim yang ia kagumi. Hampir semua karyanya ia beli.
Perlu Bersikap Kritis
Apa yang dialami Sari sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja, terutama mereka yang pemahaman agamanya kurang mendalam dan tidak kritis dalam membaca buku.
Sebenarnya pembahasan masalah jilbab sudah banyak dikupas oleh para ulama salaf. Dalam pembahasan tersebut tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajibnya jilbab bagi muslimah. Dan hal ini sebenarnya juga nampak dalam salah satu paparan buku tersebut, yaitu pada bagian pandangan ulama masa lalu. Di sana dapat dilihat bahwa di antara para ulama, tidak ada yang berbeda pendapat mengenai wajibnya berjilbab.
Perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara mereka hanya pada batas aurat wanita, apakah seluruh badan dengan menutup semua wajah, tangan dan kaki ataukah dengan membuka ketiganya (wajah, tangan dan kaki) dalam batas-batas tertentu.
Tidak ada di antara mereka yang mempermasalahkan tentang rambut, leher, dan dada. Karena memang mereka sepakat bahwa ketiga anggota tersebut wajib ditutup. Ibn Hajar al-Asqallani dalam bukunya Fath al-Bari menulis, “Di sini terdapat peringatan bahwa tujuan hijab adalah ketertutupan agar tidak nampak sesuatu dari badan wanita.”
Lalu, mengapa Quraish berpendapat bahwa tejadi khilafiyyah dalam masalah jilbab? Itu karena di dalam bukunya, ia mengutip pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang menganggap bahwa jilbab tidak wajib. Langkah inilah yang membuatnya keliru.
Padahal dalam buku tersebut dengan tegas Quraish tidak sependapat dengan orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan atau tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu agama. Namun ironisnya, pendapatnya itu ia langgar sendiri. Terbukti ia tetap mengambil pendapat cendekiawan Muslim yang mengatakan bahwa jilbab tidak wajib. Padahal yang berpendapat seperti ini adalah orang yang tidak memiliki otoritas dalam bidang tersebut.
Misalkan ia mengambil pendapatnya Asymawi, yang dikenal sebagai cendekiawan Muslim Mesir yang keras menentang penerapan syariat. Cendekiawan satu ini dikalangan ahli ilmu di negerinya diakui sebagai orang yang tidak memiliki otoritas dalam masalah tersebut. Inilah kesalahan Quraish.
Dengan mengetahui sosok Asymawi dan pemikirannya, seharusnya Quraish tidak mengambil pendapatnya. Lebih-lebih pendapat itu bertentangan dengan ijma’ ulama mulai zaman sahabat hingga sekarang. Bagaimana mungkin masalah hukum agama Quraish lebih memilih pendapat orang yang terkenal sebagai penentang penerapan syariat Islam dan mengabaikan pendapat para sahabat dan para ulama yang sudah terkenal berjuang membela agama? Dan seharusnya juga tidak membandingkan pendapatnya dengan pendapat para ulama yang otoritatif dalam menafsiri al-Qur`an dan istimbatul ahkam.
Pendapat Asymawi itu tidak bisa diterima menurut kaidah ilmu agama dan juga tidak bisa dibandingkan dengan pandangan para ulama untuk membuat suatu kesimpulan apakah jilbab masuk wilayah khilafiyyah atau tidak.
Masalah jilbab sebenarnya sudah menjadi bagian pembahasan yang sudah banyak dilakukan oleh para ulama salaf, yang semuanya tidak ada khilafiyah.
Untuk Sari dan para muslimah, sebaiknya juga kritis membaca sebuah buku. Sebab tidak semua buku bisa dibaca sembarangan. Kita harus teliti dan bertanya kepada orang yang mengerti tentang masalah tersebut. Meski buku tersebut ditulis oleh orang yang terkenal, tidak ada jaminan isinya semuanya benar. Karena itu, membaca buku lain yang membahas tema yang sama tetap harus dilakukan. Ini dimaksudkan sebagai pembanding agar wawasan kita terbuka dan bisa memilih mana yang paling kuat hujahnya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Sari dengan mengungkapkan di forum ilmiah merupakan langkah yang tepat. Sebab dengan cara ini para pengkaji ilmu akan ikut mengupas buku tersebut dengan serius.
Ia juga termasuk beruntung karena bisa aktif di sebuah kajian keilmuan sehingga jika ada masalah bisa disampaikan di forum tersebut. Sedangkan di luar sana, masih banyak orang yang setelah membaca buku tertentu menjadi bingung dan tidak menemukan jawabannya. Bahkan bisa jadi terpengaruh dengan buku tersebut dan mengubah keyakinannya. Dan faktanya, inilah yang banyak terjadi di masyarakat.
Mereka yang dulunya memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Islam, lambat laun menjadi luntur. Mereka mulai mempertanyakan hukum-hukum Allah. Bahkan sebagian ada yang terang-terangan menentang syariat Islam setelah membaca buku-buku yang dianggapnya brilian, padahal sesungguhnya racun.
Semoga tulisan ini semakin memperkuat keyakinan Sari dan para muslimah lainnya bahwa jilbab itu wajib. Kita harus tetap kritis dalam membaca setiap buku dan tidak mudah terpengaruh. (Abdul Hakim/Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang) SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2011