Kuncinya ada pada ketulusan dan langkahnya dimulai dari tekad untuk menjadi bagian dari kerja keras memuliakan Islam.
Seorang ibu bercerita bahwa ia sangat ingin melanjutkan kuliahnya karena khawatir tidak dapat menjadi ibu yang cerdas. Ia ingin sekali menjadi seorang ibu yang dapat menjadi tempat bertanya anak-anaknya sekaligus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, kecerdasan seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya memang mutlak perlu. Tak hanya ibu muda tersebut yang dihinggapi kekhawatiran, banyak kaum ibu yang juga dihinggapi kekhawatiran yang sama. Apalagi saat berkejaran dengan kecanggihan teknologi informasi dan melihat fenomena banyaknya anak menjadi korbannya.
Namun demikian, tentu kita sepakat bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya yang terlihat secara kasat mata. Menjadi seorang ibu yang cerdas juga bukan hanya hak seorang perempuan yang memiliki sederet titel tanda kelulusan dari sejumlah lembaga pendidikan. Menjadi seorang ibu yang cerdas sejatinya adalah menjadi ibu yang mampu mengantarkan anak-anak mereka menjadi orang-orang yang memahami hikmah dan menggunakannya untuk kemuliaan Islam.
Memahami Hikmah
Tentunya, untuk dapat mengantarkan anak-anak mereka menjadi orang-orang seperti ini, seorang ibu juga lebih dahulu harus menjadi orang-orang yang memahami hikmah dan sepenuhnya menggunakan hikmah tersebut untuk kemuliaan dien ini. Sehingga, apapun yang terlontar dari lisannya dan perbuatannya adalah segala hal berkaitan dengan hikmah yang akan disampaikan.
Marilah kita menengok perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguasai hikmah sebelum ia diangkat menjadi utusan-Nya. Dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau terbiasa memikirkan berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya. Fenomena alam dan sosial yang terjadi di sekitarnya, menjadi media pembelajaran luar biasa, sebagai bekal Muhammad muda untuk menjadi seorang rasul.
Memikirkan ayat-ayat Allah yang bertebaran di muka bumi ini, sesungguhnya juga merupakan media terbaik untuk menajamkan pikir, hati, dan lisan. Metode ini pula yang digunakan oleh Allah saat mendidik para utusan-Nya. Alangkah baiknya, jika seorang ibu pun dapat dengan cerdas menggunakan metode ini untuk mengasah kecerdasan pikir, hati, dan lisannya hingga ia kelak dapat mengajarkannya kembali pada anak-anaknya.
Seperti yang terjadi dalam sebuah kisah berikut ini tentang seorang ibu yang cerdas mengajarkan tentang bagaimana kebesaran Allah kepada anak-anaknya dengan menggunakan perumpamaan kemampuan semut melihat.
Ibu tersebut mengajak anak-anaknya untuk bereksperimen dengan memperhatikan semut-semut yang sedang berjalan beriringan menuju sarangnya. Di atas iringan semut tersebut, mereka meletakkan kertas yang menaungi, hingga membentuk bayangan. Ketika iringan semut mulai berubah karena adanya banyangan hitam di atas mereka, ibu tersebut memulai dialognya bersama anak-anaknya.
Sang ibu bertanya pada anak-anaknya, apakah menurut mereka, semut-semut itu dapat melihat kertas yang menaungi. Sang anak dengan ragu menjawab, “Apakah mata semut yang kecil dapat melihat kertas yang besar di atas kepala mereka?”
Sang ibu pun menegaskan, “Semut hanya tahu ada bayangan di atas mereka. Namun, mereka tidak tahu yang menaungi mereka adalah kertas berbentuk segi empat. Semut pun tidak tahu bahwa benda yang membentuk bayangan ini bernama kertas. Semut tidak “secanggih” kita.”
Lalu si ibu pun dengan mantap mengaitkan perumpamaan tersebut dengan kebesaran Allah. Dia kemudian memberikan kesimpulan pada anak-anaknya bahwa manusia dengan semut pun memiliki persamaan. Bahwa sebagai manusia kita tidak dapat merasa sangat besar dan karena itu pula, kita tidak dapat melihat Allah Yang Maha Besar dengan mata kepala. Yang dapat kita lihat hanyalah yang sebatas kemampuan mata kepala kita.
Akan tetapi dengan mata yang terbatas tersebut, Allah pun telah mengaruniakan begitu banyak keindahan yang dapat kita lihat. “Itulah Allah yang sangat mencintai kita dan bila kita bersyukur, maka Allah akan semakin “mempercanggih” pengelihatan yang kita miliki.” Demikianlah sang ibu kemudian menutup pembicaraan dengan buah hatinya.
Dimulai dari Diri
Menjadi cerdas dan mencerdaskan anak dengan berbagai fenomena yang ada di sekeliling kita, memang bukan pencapaian yang mudah. Akan tetapi, kekuatan hatilah yang dapat mengiringi langkah kita untuk menjadi yang terbaik bagi anak-anak. Kekuatan yang didapat oleh hati yang senantiasa berharap pada petunjuk Allah, serta prasangka baik terhadap tingkah polah anak yang kadang di luar dugaan.
Berprasangka baik ini sangat penting dalam proses kita mencerdaskan diri. Bagaimana tidak, menyamakan apa yang kita pikirkan dan apa yang anak pikirkan dengan keingintahuannya yang besar, tentunya menuntut wawasan yang luas dan kelapangan hati. Misalnya saja, bila tingkahnya yang memainkan baju kotor dalam tumpukan baju yang belum dicuci sudah kita anggap sebagai kenakalannya dan “kejorokannya”, maka otomatis kita tidak akan tertantang untuk memberikan penjelasan pada anak tentang pentingnya kebersihan baju yang kita pakai. Kita juga tidak akan tertantang untuk menjelaskan tentang apa itu kuman, tentang apa itu bakteri, penyakit apa yang mungkin ditimbulkan oleh kuman dan bakteri tersebut, dan apa yang harus kita lakukan untuk mengupayakan kesehatan pada anak.
Demikianlah, belajar untuk menjadi seorang pendidik yang cerdas bagi sang buah hati memang bukanlah hal mudah. Langkah awalnya pun bermula dari diri sendiri. Menjadikan diri lebih baik dan mengasuh buah hati hingga menjadi harapan umat, sungguh adalah kerja yang menguras seluruh upaya. Namun, inilah arti sejati jihad seorang perempuan. Ladang meraih surga yang tak kalah beratnya dibandingkan medan peperangan yang harus dihadapi seorang laki-laki. Sangat merugi jika seorang perempuan melewatkan kesempatan berharga meraih surga ini untuk diserahkan kepada orang lain.
Rasulullah bersabda, “Bersungguh-sungguhlah berbakti kepada ibumu karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.” (Riwayat Imam Nasa’i dan Thabrani). Maka kewajiban kita pula untuk meninggalkan jejak yang dapat diikuti oleh anak-anak agar mencapai surga. Jejak tersebut haruslah dibuat dengan sepenuh pengetahuan dan hikmah terbaik yang bersumber dari al-Qur`an.
Langkah untuk membuat jejak itu tentu harus diawali dari hati yang tulus. Perjalanan untuk mengubah kebiasaan yang sudah melekat, tentu bukan hal mudah. Apalagi, jika kita melakukan itu untuk kepentingan orang lain, dalam hal ini untuk kepentingan anak. Perlu sebuah ketulusan yang dalam untuk mengubah diri sendiri dan mengupayakan hal-hal terbaik yang sebelumnya tak pernah kita lakukan atau bahkan tak ingin kita lakukan.
Namun demikian, yakinlah bahwa Allah bersama orang-orang yang berjuang menuju kebaikan dan akan menguatkan kita mengupayakan kebaikan tersebut. Insya Allah, pengetahuan dan kebijaksanaan akan datang dari setiap ciptaan-Nya yang terhampar di langit dan di bumi serta dari segala kehendak-Nya yang silih berganti mengawal kehidupan. *Kartika Trimarti, Ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat SEPTEMBER 2012