Plastik Selular (Cellular Foam)


BAB II TINJAUAN PUSTAKA



Salah satu cara proses pengolahan plastik adalah menggunakan metode foaming. Pemrosesan plastik dengan cara foaming adalah pemrosesan yang dilakukan dengan cara mendispersikan gas sebagai blowing agent ke dalam material plastik sehingga terbentuk plastik berpori (foamed plastik). Proses pengolahan plastik dengan cara foaming dikembangkan dalam dua bentuk, yaitu plastik selular dan plastik mikroselular.

II.1 Plastik Selular (Cellular Foam)

Proses pengolahan plastik selular merupakan pemrosesan plastik secara konvensional. Metode ini dalam pembuatannya menggunakan bahan – bahan kimia yang berbahaya sebagai blowing agent seperti CFC (Chlorofluorocarbon), HCFC (Hidrochlorofluorocarbon) atau senyawa beracun seperti benzene, toluene, acetone dan lain – lain yang tidak baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan polimer selular secara komersial untuk karet spon (sponge rubber) diperkenalkan antara tahun 1910 dan 1920. Namun polimer selular ini baru dipergunakan secara luas sejak 1940. Densitas sel yang dihasilkan pada plastik
jenis ini lebih kecil dari 106 sel/cm3 dan ukuran sel lebih besar dari 100 ȝm .


II.2 Plastik mikroselular

Teknologi perkembangan plastik selular adalah plastik foam mikroselular. Plastik foam mikroselular baru dikembangkan pada awal tahun 1980. Pengembangan produksi plastik mikroselular ditujukan untuk memperoleh plastik dengan densitas sel tinggi, diameter sel kecil dan rasio ekspansi volume tinggi. Kelebihan yang dimiliki plastik ini antara lain, memiliki karakteristik fisik yang lebih baik dibandingkan plastik seluler, disamping prosesnya yang lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.





II.2.1 Morfologi Plastik Mikroselular

Plastik dibedakan menjadi dua macam, yaitu amorphous plastic dan semicrystalline plastic. Terdapat dua daerah kekristalan pada jenis plastik semikristal : daerah amorf dan daerah kristal. Secara umum pembentukan struktur sel polimer berkristal lebih sulit dikontrol dibanding foam polimer amorf. Ketika gas tidak larut dalam kristal, larutan polimer–gas yang dibentuk selama pemrosesan plastik mikroselular tidak seragam.
Model berumbai (fringed micelle) didefinisikan sebagai kekristalan dengan istilah daerah-daerah teratur yang disebut kristalit (crystallite), dimana sembarang rantai polimer tertentu bisa memanjang melalui sejumlah kristalit. Polimer kristal umumnya lebih luas, lebih kuat, lebih keruh, lebih tahan terhadap pelarut, dan massa jenisnya lebih tinggi dibanding polimer yang amorf, sehingga dengan semakin tinggi derajat kekristalannya, maka semakin kuat pula sifat-sifatnya.
Morfologi kristal yang diamati dalam plastik sebagian besar memiliki struktur linier dan teratur. Ketidakteraturan atau percabangan dalam rantai molekul akan menyebabkan struktur amorf. Molekul-molekul atom tersusun dalam bentuk rantai polimer yang saling berinteraksi, bergabung menggunakan ikatan antar rantai sehingga membentuk kumpulan rantai yang disebut lamella, digambarkan sebagai struktur kristal tunggal polimer dengan bentuk dan susunan rantai yang sama. Interaksi inilah yang menentukan sifat-sifat fisik polimer.
Terdapat empat macam model lamella : a) regular , b) irregular , c) switchboard , d) loose loop. Macam-macam bentuk lamella digambarkan model dua dimensi pada gambar di bawah ini. Semua struktur kristal tunggal polimer mempunyai bentuk umum yang sama, digambarkan sebagai rangkaian rantai yang berbentuk flat dengan ketebalan sekitar 100 Å dan luasannya dalam ukuran micron persegi. Ketebalannya tergantung pada temperatur kristalisasi dan perlakuan annealing. Suatu polimer memiliki struktur yang teratur dengan mengandung gugus-gugus sangat polar yang menimbulkan interaksi dipol-dipol yang sangat kuat, kemungkinan berada dalam bentuk kristal. Polimer dikatakan amorf bila tidak memperlihatkan kecenderungan terhadap kekristalan.









daerah struktur kristal


daerah struktur amorf




Gambar 2.1. Gambar Model berumbai dengan daerah struktur plastik amorf dan kristal









Gambar 2.2. Skema dua dimensi yang menggambarkan bentuk lamella dalam plastik polimer


Untuk mengetahui banyaknya struktur kristal dalam polimer salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan analisa Difraksi X-Ray. Analisa DXR menghasilkan hubungan sudut difraksi 2 sebagai absis dan intensitas difraksi I sebagai ordinat yang kemudian dinyatakan dalam bentuk grafik. Dari data tersebut dilakukan perhitungan luasan daerah kristal dan daerah amorf dari





polimer sampel dengan menggunakan Metode Luasan dengan menggunakan program Image. Berikut merupakan gambar skematik dari grafik hasil analisa Difraksi X-Ray :



Gambar 2.3 Skematik grafik hasil analisa Difraksi X-Ray

Dimana :
Samorf = luas daerah amorf 2 = sudut difraksi (derajat)
Stotal = luas keseluruhan

maka luasan daerah kristal dan amorf dihitung dengan metode luasan persegi :


S I 2 x 2

(2.1)



sehingga nilai kristalinitas dihitung berdasarkan persen luasan tersebut :

Luasan Area Kristal
X 100% Luasan Area Total (Luasan Area Kristal + Luasan Area Amorf)


1
X c S

S amorf total


x 100 %


(2.2)


Struktur sel yang dihasilkan plastik mikroselular adalah struktur sel tertutup yang memiliki high impact yang tinggi (hingga lima kali lipat plastik murni), ketahanan dalam waktu yang lama (hingga 40 kali plastik murni), stabilitas thermal yang tinggi dan thermal konduktivitas yang rendah.





Berikut ini perbedaan karakteristik dari plastik foam selular dan

mikroselular :

Plastik foam selular Plastik foam mikroselular



Struktur
Diameter Sel : 30 – 300 ȝm

Densitas sel : 102 – 106 sel/cm3

Distribusi sel : besar Diameter Sel : 0,1 – 10 ȝm

Densitas sel : 109 – 1015

sel/cm3

Distribusi sel : kecil




Blowing agent Chlorofluorocarbon (CFC),

Hydrochlorofluorocarbon ), Hydrofluorocarbon (HFC), Komponen organik volatil (pentane, butan, dll)

Carbon dioxide (CO2) Nitrogen (N2), Campuran CO2 dan N2
Pengaruh

terhadap lingkungan Mudah terbakar dan sebagian

atau keseluruhan tidak dapat direcycle
Ramah, aman dan dapat direcycle



Penerapan Baki makanan, pengepakan,

struktur pengapung, lapisan absorber, isolasi dan lain – lain. Otomotif, biomedical,

isolasi khusus, peralatan olah raga, mikro filter dan lain - lain

Tabel 2.1. Perbedaan karakteristik dari plastik foam selular dan mikroselular





II.2.2 Proses Pembuatan Plastik Mikroselular
Secara skematik pembentukan proses pembuatan plastik mikroselular dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini.




.


Pembentukan larutan homogen polimer - gas

Gas

Polimer

Penjenuhan Temperatur Tekanan
Waktu penjenuhan






Nukleasi dan pertumbuhan sel



Dekompresi
Membentuk sistem tidak stabil














Pengontrolan terhadap pertumbuhan sel

Interval waktu


Pemanasan
Temperatur
Waktu

Pendinginan



Produk




Pendingi nan




Gambar 2.4. Proses pembuatan plastik mikroselular





Secara umum terdapat tiga tahapan utama dalam pemrosesan plastik mikroselular, yaitu tahap pembentukan larutan jenuh polimer–gas, tahap laju nukleasi gelembung gas dan pertumbuhan sel dengan cara menurunkan tekanan dengan cepat sehingga kelarutan gas dalam polimer menurun dan sistem polimer– gas menjadi tidak stabil. Maka gas akan berkembang membentuk sel (voids). Dan yang terakhir adalah tahap pengontrolan pertumbuhan sel untuk mendapatkan struktur sel yang diinginkan

II.2.2.1 Pembentukan Larutan Polimer – Gas

Proses ini dilakukan dalam tangki penjenuhan pada temperatur, tekanan dan waktu penjenuhan tertentu. Pengertian larutan homogen gas–polimer seperti yang dijelaskan Baldwin dkk [5], dimana jika terdapat 8 % berat CO2, maka perbandingan gas dan polimer adalah 72,2 gmol gas/gmol polimer (misal, PET, Mw =40000). Ini berarti jumlah gas sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah polimer, sehingga dapat dikatakan bahwa gas bertindak sebagai pelarut dan polimer sebagai zat terlarut.
Sato dkk [19] pada tahun 1999 melakukan penelitian dan perhitungan terhadap kelarutan CO2 dan N2 dalam polystyrene, polypropylene, polyethylene densitas tinggi, juga diprediksi dengan persamaan Sanchez-Lacombe berdasarkan data hasil penelitian Sato dkk, seperti terlihat pada Gambar 2.4. Gambar ini menunjukkan kelarutan blowing agent pada polypropylene lebih besar daripada polystyrene. Hal ini disebabkan oleh polypropylene memiliki struktur rantai kristal yang lebih teratur dan rapat, sehingga banyak gas yang mampu bertahan di dalamnya. Pada polystyrene memiliki struktur rantai amorf, sehingga gas mudah berdifusi keluar.








Gambar 2.5. Kelarutan karbon dioksida dan nitrogen dalam polypropylene dan polystyrene pada berbagai temperatur penjenuhan .




II.2.2.2 Nukleasi dan Pengontrolan Terhadap Pertumbuhan Sel

Selanjutnya larutan polimer – gas yang terbentuk tersebut dibawa ke keadaan thermodinamika yang tidak stabil dengan mengurangi tekanan gas secara cepat untuk mendorong terjadinya nukleasi gelembung gas dan pertumbuhan sel. Penurunan tekanan secara cepat akan menurunkan energi bebas larutan sehingga terjadi nukleasi gelembung – gelembung gas didalam plastik secara acak dan blowing agent akan berdifusi keluar atau ke dalam sel-sel tersebut. Selanjutnya sampel akan dikeluarkan dan didinginkan
Nukleasi gelembung gas diteliti oleh Colton dan Suh. [9] Penelitian tentang nukleasi sel dilakukan terhadap polystyrene dengan additive zinc stearat sedangkan blowing agent adalah N2 dan CO2. Mereka membagi menjadi tiga daerah nukleasi yaitu nukleasi homogen, heterogen dan nukleasi campuran (mixed mode). Nukleasi homogen terjadi ketika komponen kedua yang dilarutkan dalam fase pertama membentuk fase kedua stabil, seperti gelembung gas dalam liquid. Nukleasi heterogen terjadi ketika fase ketiga yang terbentuk pada permukaan kedua fase lainnya, seperti gelembung gas pada permukaan liquid dan solid. Nukleasi campuran (mixed mode) terjadi ketika nukleasi homogen dan heterogen berada pada regim transisi antara nukleasi homogen dan heterogen.





A.Nukleasi Homogen

Nukleasi homogen dari gelembung gas dalam polimer dapat dijelaskan dengan teori nukleasi dengan modifikasi penjumlahan antara energi volumetrik dan energi interfacial. Pembentukan gelembung gas dalam polimer melalui proses thermodinamika reversible mempunyai perubahan energi bebas Gibbs sebesar :
Ghom= -Vb P + bp bp (2.3)

dimana : Vb adalah volume sel yang terbentuk, P adalah tekanan gas dalam sel, bp adalah luas permukaan sel, bp adalah energi antar muka pada sel. Jika bentuk sel adalah bola dan harga bp adalah isotropis maka energi bebas diatas
menjadi :


Ghom = -(4/3)

r 3 P

2
bp

(2.4)


dimana : r adalah jari-jari sel. Ukuran kritis jari-jari nukleasi gelembung gas (r*)

terjadi pada saat G maksimum/pada saat dG 0 , maka didapat :
dr


2 bp
r*=
P


(2.5)


sehingga energi bebas gibbs dalam persamaan (2.4) menjadi :


16 3
G*hom = bp
3 P 2



(2.6)


Penambahan satu/lebih molekul gas ke suatu nuclei kritis akan mengubah sel tersebut menjadi stabil. Jika terjadi dengan suatu frekuensi maka kecepatan nukleasi gelembung gas homogen, N hom diberikan oleh persamaan berikut :
Nhom = C0f0 exp ( - G*hom/ kT ) (2.7)


dimana :
Nhom = jumlah inti yang dihasilkan percm3/s
Co

fo

k = konsentrasi gas ( jumlah mol percm3 )

= faktor frekuensi dari molekul gas

= konstanta Boltzman’s





Dekompresi/pemanasan








Larutan homogen gas dalam polimer





Nukleasi






Energi Interfasial r2

G




r* r

Ghom


Energi Volumetrik r3


Gambar 2.6. Perubahan energi bebas dalam nukleasi gelembung gas homogen pada sel



B. Nukleasi Heterogen
Untuk nukleasi heterogen juga digambarkan oleh teori nukleasi klasik. Nukleasi gelembung gas pada interface polimer dan partikel solid, terlihat pada Gambar 2.7. Keseimbangan tegangan permukaan interfacial dapat dilihat pada persamaan:


ap bp


ab cos


…………………………………………………….(2.8)





dimana : ap , bp , ab adalah tegangan permukaan partikel solid - polimer, bubble- polimer dan partikel solid-bubble serta adalah sudut pembasahan interface maka pembentukkan gelembung akan terkumpul seiring dengan energi
bebasnya seperti persamaan :


Ghet


Vb P



bp bp



ab ab



ap ap


……………………………(2.9)



dimana : Vb = volume bubble dan


bp ,

ab ,

ap adalah luas bubble polimer,


partikel aditif-bubble dan partikel aditif-polimer, maka persamaan diatas menjadi :



Ghet

4 r 3 P
3


4 r 2 bp


S ( )


……………………………………(2.10)


dimana: S ( ) hanya tergantung pada sudut pembasahan dan bernilai 1/hr, menghasilkan jari-jari kritis, r* dan energi bebas gibbs yang dibutuhkan untuk
nukleasi kritis :


r* = 2


BP dan S ( ) = (1/4) (2 + cos ) (1 - cos )2 ………………... (2.11)
p

16 bp 3

G*het=


3 P 2

S ( )

………………………………………… (2.12)



Laju nukleasi heterogen dapat digambarkan sebagai laju nukleasi homogen dan

diperoleh persamaan :



Nhet=C1f1exp


G *het
kT



…………………………………….…(2.13)





GL




SL
Gas

Polimer



Partikel
SG
R


Gambar 2.7 Bentuk optimal spherical dari pembentukan gelembung gas heterogen





Proses pertumbuhan sel yang telah ternukleasi dipengaruhi oleh proses pemanasan setelah dilakukan dekompresi sebelum dilakukan penghentian terhadap pertumbuhan sel melalui proses pendinginan. Pada tahun 1999 Sumarno, dkk [15] telah melakukan penelitian tentang pembuatan plastic mikrosellular dengan metode pemanasan lambat (late heating) dan pemanasan cepat (quick heating). Pada pemanasan lambat, setelah sampel dilakukan proses penjenuhan yang selanjutnya dilakukan dekompresi, sampel diambil secara cepat dari tangki penjenuhan (kurang dari 30 detik). Setelah interval waktu tertentu (kurang lebih 3 menit setelah dekompresi), sampel tersebut dipanaskan dalam silicon oil bath pada suatu temperature foaming untuk waktu tertentu, kemudian dicelupkan dalam ice water bath. Pada pemanasan cepat sampel diletakkan pada brass tray untuk proses penjenuhan. Setelah didekompresi, sampel dijaga dalam tangki untuk waktu pemanasan yang diinginkan untuk memanaskan sampel oleh kapasitas panas dari rak dan tangki. Setelah proses pemanasan, air dingin dialirkan kedalam tangki untuk menghentikan proses pemanasan. Hasil penelitian yang telah dilakukan ini memberikan kesimpulan bahwa densitas sel dan diameter sel yang diproses dengan quick heating lebih besar daripada dengan metode late heating.
Pemrosesan plastik berkristal dilakukan oleh C.B. Park [11], yang meneliti proses pembuatan plastik mikroselular. Mereka melaporkan bahwa pembentukan larutan polimer-gas tidak seragam dan struktur foamnya dipengaruhi oleh kristal. Mereka juga meneliti pengaruh kristalinitas dan morfologi terhadap struktur foam poly ethylene terephtalat, polypropylene, polyethylene densitas tinggi dan lain- lain. Adanya struktur kristal mempengaruhi kelarutan gas dalam polimer seperti ditunjukkan sebagai berikut :
K = K* ( 1-Xc) ……………………………………………... (2.14) Dimana : K* = kelarutan gas dalam amorf
Xc = derajat kristalinitas

Mereka juga menjabarkan bahwa laju pendinginan yang bervariasi akan mempengaruhi kristalinitas. Tekanan dan temperatur penjenuhan dilakukan pada 5
MPa dan 150 0C (423,15 K), diperoleh hasil bahwa sampel dengan laju

pendinginan cepat menghasilkan struktur sel yang lebih seragam dibanding laju





pendinginan lambat. Maka dari itu untuk memperoleh hasil plastik foam yang baik dilakukan pada temperatur mendekati sampai diatas Tm.
Baldwin dkk, [5] meneliti sistem PET – CO2 dan diperoleh hasil bahwa
pada temperatur 180 – 250 oC (453,15 – 523,15 K), struktur plastik yang dihasilkan bimodal. Sedangkan untuk pemrosesan plastik mikroselular pada PET amorf dan PET semikristal dengan CO2 sampai temperatur 100 oC (373,15 K) struktur sel belum terbentuk. Struktur sel bimodal baru terbentuk pada temperatur
150 oC (423,15 K) atau lebih. Mereka juga meneliti pengaruh waktu penjenuhan,

tekanan penjenuhan, dan konsentrasi gas CO2 terhadap kristalinitas PET. Selain itu juga dilakukan pengukuran gas CO2 yang berdifusi kedalam plastik berkristal pada waktu penjenuhan dan melakukan analisa persen kristalinitas plastik pada waktu penjenuhan dan tekanan penjenuhan tertentu bahwa kristalinitas PET akan meningkat dengan kenaikan waktu penjenuhan. Waktu penjenuhan dapat dihubungkan dengan banyaknya gas terlarut dalam polimer, dimana semakin lama waktu penjenuhan maka semakin banyak gas terlarut dalam polimer. Dengan adanya gas terlarut dalam polimer menyebabkan struktur plastik mengalami perubahan. Bentuk struktur plastik dapat dilihat pada Gambar 2.9 yang menunjukkan bahwa struktur plastik amorf tidak beraturan, maka dengan adanya gas terlarut akan mengalami pergerakan menuju susunan yang lebih teratur mendekati struktur kristal. Sedangkan untuk plastik berkristal susunannya lebih teratur dan akan semakin meningkat dengan adanya gas terlarut. Dengan meningkatnya waktu penjenuhan maka berat gas juga meningkat karena banyaknya gas terlarut dalam polimer. Hal ini mempengaruhi kenaikan kristalinitas polimer.









Gambar 2.8. Pengaruh Waktu penjenuhan terhadap % kristalinitas



Gambar 2.9. Pengaruh waktu penjenuhan terhadap berat gas CO2


Peneliti terdahulu pada sistem polypropilene-CO2 dilakukan oleh Rika & Bahtiar [8] pada tahun 2003 tentang pengaruh temperatur dan gas terlarut terhadap perubahan kristalinitas. Penelitian ini dilakukan pada temperatur 130-190 oC (403,15 – 463,15 K). Mereka menyimpulkan bahwa meningkatnya temperatur dan atau gas terlarut akan meningkatkan pergerakan antar rantai baik pada daerah





kristal dan daerah amorf sehingga mempengaruhi kristalinitas. Dan perubahan kristalinitas karena pengaruh temperatur dan gas terlarut juga dilakukan oleh Ana dan Bambang [1] pada system Polipropilen-N2. Mereka menyimpulkan bahwa
meningkatnya temperatur (40 – 100 0C) dengan jumlah gas yang sama antara

3,425 x 10-3–5,709 x 10-3 gr gas/ gr polimer ternyata menurunkan derajat kristalinitas. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya temperatur akan meningkatkan mobilitas antar rantai baik pada daerah kristal maupun amorf. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Deddy dan Hary pada tahun 2004 [4] dimana diketahui bahwa pada temperatur penjenuhan 125 0C – 160 0C dengan jumlah gas yang sama seperti yang dilakukan Ana dan Bambang terjadi kenaikan kristalinitas dengan naiknya temperatur penjenuhan dan pengaruh gas terlarut tidak signifikan terhadap perubahan kristalinitas.

II.3. Fenomena Perpindahan Massa dan Panas

Skema proses difusi yang terjadi dalam polimer dapat dilihat pada Gambar
2.9. Sampel polimer dengan ketebalan 2L, memiliki konsentrasi larutan seragam, Co dan permukaan pada x = ¡ L. Penyelesaiannya dengan persamaan Laplace untuk perpindahan massa tentang difusi dalam sampel:


C = D C



……………………………………………………(2.15)

t x
2L







C1 C0 C1



0






x

Gambar 2.10. Skematik Difusi gas pada sample





Dimana kondisi batasnya :

t = 0 ; x = x ; C = Co



t = t ; x = 0 ;


C = 0
t


x = L ; C = C1
dimana C adalah konsentrasi gas, x jarak dari pusat sampel, t dan D adalah waktu dan koefisien difusivitas. Sehingga persamaan menjadi :


C C0 = 1- 4


( 1)n



exp



D(2n


1)2


2t / 4L2


cos (2n


1) x …… (2.16)

C1 Co

n 0 (2n 1) 2L


Dari persamaan diatas untuk menghitung perbandingan dari total massa gas yang berdifusi kedalam polimer pada waktu tertentu, Mt terhadap total massa gas yang
berdifusi pada waktu tak hingga, M :


M t 1
M




n 0 (2n


8
1)2



exp



D(2n



1)2



2t / 4L2



………………...……. (2.17)


pada waktu yang pendek diperoleh persamaan:


M t 2
M

1 / 2

L2


1 / 2

2 ( 1)n ierfc nL
n 1 Dt


…………………………..….(2.18)


Berens dkk [2] . melakukan penelitian impregnasi gas kedalam polimer dengan menggunakan prosedur gravimetri sederhana. Prosedur ini melibatkan penyerapan gas pada sampel polimer dalam tangki bertekanan sederhana diikuti oleh pelepasan dan memindahkan sampel secepat mungkin dari tangki bertekanan ke timbangan dengan memperhitungkan perubahan berat desorpsi pada tekanan atmosfer.Pada saat ditimbang penurunan gas dicatat, kemudian dapat dilakukan plot berat sampel dengan akar waktu desorpsi yang awalnya linier. Difusivitas gas dihitung dari slope plot ini dengan ketebalan sampel awal. Ekstrapolasi linier waktu desorpsi nol memberikan berat gas dalam sampel pada akhir penyerapan.







Gambar 2.11. Skema tekanan dan berat sampel terhadap waktu absorpsi dan desorpsi pada system polimer-gas


Penelitian desorpsi gas untuk memperoleh harga koefisien difusivitas dilakukan oleh Kumar dan Weller [17]. Mereka melakukan pada sistem Polikarbonat – CO2 sampel dijenuhkan dengan gas pada tekanan penjenuhan 700
psi dan temperatur 20 oC (293,15 K). Setelah jenuh, sampel dikeluarkan dari

tangki dan ditimbang secara periodik sampai gas yang terdapat pada sampel konstan. Untuk tahap awal difusi, jumlah gas tetap dalam sampel tiap waktu digunakan untuk menghitung koefisien difusivitas dengan persamaan Crank. Plot grafik Mt /M sebagai fungsi (t/l2)1/2 seperti pada Gambar 2.11 , kemudian slope untuk menghitung koefisien difusivitas.







Gambar 2.12 . Kurva desorpsi untuk sistem polikarbonat – CO2 pada 20 oC

Add comment


Go to top