tempat itu. Ada beberapa tukang potong rambut di sepanjang jalan yang melewati rumah saya, tetapi saya menyukai yang satu itu. Saya lebih menyukai dia, karena kualitas layanannya, sentuhan-sentuhan kesabarannya sangat terasa. Selain itu, semangat memuaskan pelanggan dari tukang potong rambut ini, sangat terasakan. Sekalipun banyak orang yang antri, dia tidak menunjukkan ketergesa-gesaannya. Sabar satu-demi satu dilayani dengan baik. Suatu ketika saya bertanya, kenapa dia tidak merekrut tenaga baru, agar bisa melayani lebih banyak lagi pelanggan. Atas pertanyaan saya tadi dia menjawab, bahwa potong rambut sangat terkait dengan selera masing-masing. Orang biasanya tidak suka berganti-ganti model potongan rambutnya. Biasanya mereka ingin memiliki model potongan yang tetap. Dia mengatakan, bahwa potongan rambut tidak sama dengan selera model potongan baju perempuan. Pada umumnya perempuan, menyukai model baju yang berubah-ubah, mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu yang selalu berubah. Orang laki-laki biasanya tidak menyukai potongan rambutnya berubah-ubah. Oleh karena sudah sekian lama ia menekuni pekerjaan sebagai tukang rambut, maka kepintarannya tidak hanya sebatas bagaimana cara memotong rambut, melainkan juga mengerti psikologi pelanggan. Tidak jarang, sambil dipotong rambutnya, pelanggan mengajak untuk ngobrol dengannya. Tentu pebincangannya menyangkut apa saja, terkait kehidupan pribadi, keluarga dan bahkan juga pekerjaannya. Oleh karena itu, kadang kala tukang cukur pun bisa dijadikan sumber informasi untuk memahami seseorang. Orang yang sudah merasa akrab, maka seringkali lupa, mana yang perlu dibicarakan dan mana yang tidak perlu disampaikan. Sehingga banyak tukang cukur ternyata banyak mengerti tentang sekian banyak orang tentang pribadi pelanggannya. Bagi saya yang menarik dari para tukang potong rambut adalah tentang manajemen kerja mereka. Jarang sekali tukang potong rambut mengetrapkan manajemen modern. Yakni, melakukan pembagian tugas sebagaimana di kantor atau di tempat usaha lainnya. Semua jenis pekerjaan yang terkait dengan potong memotong rambut, ditangani sendiri. Sebagaimana biasa, pagi bedaknya dibuka sendiri, kuncinya dibawa sendiri, ruang kerjanya dibersihkan sendiri, pelayanan memotong rambut dilakukan sendiri, jika alat-alat potong perlu dibersihkan dan juga dipertajam, gunting dan atau pisaunya juga dikerjakan sendiri. Uang jasa dari memotong juga diterima sendiri, dan juga segera dimasukkan ke sakunya sendiri. Nanti jika waktunya tutup, juga bedaknya ditutup sendiri, dan ditinggalah pulang ke rumahnya sendiri. Inilah saya katakan, ternyata tukang potong rambut memiliki manajemen yang khas, sehingga cara kerja itu kiranya bisa disebut sebagai manajemen tukang potong rambut, atau manajemen tukang cukur. Dengan mengetrapkan manajemen seperti itu, jarang penjual jasa potong rambut usahanya menjadi maju dan semakin besar. Mengapa itu terjadi, tidak lain karena menggunakan manajemen seperti itu, yakni semua hal ditangani sendiri. Namun, akhir-akhir ini sudah mulai ada pelayanan potong rambut diorganisasi. Saya melihat di mall atau beberapa pertokoan tertentu, sudah mulai ada usaha potong rambut yang dikemas dan atau dimanage secara modern. Penjual jasa potong rambut tersebut memiliki sejumlah pekerja yang tugasnya berbeda-beda. Ada yang bertugas memotong, sebagai kasir dan juga sebagai pelayan kebersihan. Ternyata, penjual jasa potong rambut pun bisa dimanage sebagaimana usaha di bidang lainnya. Akan tetapi, potong rambut tradisional tidak mau mengubah cara kerjanya, sehingga tidak pernah mengalami kemajuan. Terinspirasi dari manajemen tukang potong rambut itu, seringkali saya teringat pada pengelolaan atau manajemen lembaga pendidikan. Tidak sedikit lembaga pendidikan Islam, dikelola dengan cara sebagaimana tukang potong rambut tradisional mengelola usahanya. Ada pengurus, tetapi semua hal ditangani sendiri. Pengurus lain hanya sebagai simbol atau sebatas pelengkap. Karena itu lembaga pendidikan tersebut tidak maju-maju. Jika suatu ketika lembaga pendidikan itu disupervisi, dan hasilnya dianggap kurang maju, maka alasan yang dikemukakan, karena tidak tersedianya dana yang cukup. Padahal, jika ditelusuri lebih mendalam, stagnasi itu bukan disebabkan keterbatasan dana, melainkan karena dikelola dengan manajemen tukang cukur itu. Saya mengamati banyak lembaga pendidikan Islam, yang bercirikan khas, yaitu tahan hidup, sukar maju serta kaya masalah. Satu di antara berbagai sebabnya adalah lemah di bidang manajemennya. Sementara orang mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam tidak banyak mengalami kemajuan, karena keterbatasan dana. Saya berpandangan agar berbeda dengan kesimpulan itu. Lembaga pendidikan Islam umumnya sulit mengalami kemajuan, oleh karena pada umumnya masih mengikuti manajemen tukang cukur. Semua pekerjaan ditangani sendiri atau setidak-tidaknya tidak memberi kesempatan pada yang lainnya. Umumnya manajemennya tertutup. Oleh karena itulah, maka tepat jika pemerintah dalam mengembangkan pendidikan Islam, mulai memperkenalkan manajemen terbuka, transparan dan accountable. Saya sependapat bahwa hanya dengan cara itulah semua usaha pengembangan pendidikan, -----juga tidak terkecuali tukang cukur tentunya, akan menjadi dinamis dan maju. Allahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang