Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Sudah menjadi kebiasaan nabi Muhammad saw. ketika akan bepergian dalam sebuah peperangan misalnya, beliau selalu mengajak salah seorang dari istrinya, dengan cara mengundi mereka terlebih dahulu. Pada saat itu undian jatuh pada sayyiduna ‘Aisyah r.a., berangkatlah beliau membersamai Rasulullah saw. Karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya kewajiban berhijab, maka ‘Aisyah berangkat bersama rombongan dengan menggunakan tenda khusus yang dipasang di atas punggung unta.
Dalam perjalanan pulang sebelum memasuki kota Madinah, pada malam itu semua pasukan diistirahatkan sejenak. ‘Aisyah r.a. pun memanfaatkan waktu istirahat itu untuk pergi ke kamar kecil dan segera kembali menaiki tendanya. Sesampainya di dekat tenda, ‘Aisyah baru sadar bahwa perhiasannya tertinggal di kamar kecil, sehingga ia bergegas untuk mengambilnya. Pada saat itu ‘Aisyah kembali ke tempat tenda yang akan dinaiki, rombongan telah pergi meninggalkannya dan terpaksa harus menunggu di tempat itu setelah mencari-cari dan memanggil beberapa kali tidak ada jawaban.
Dalam kondisi ngantuk, beliau dikagetkan dengan suara Shafwan bin Al-Mu’athal, yang secara khusus ditugaskan oleh Rasulullah saw. untuk mengecek tempat istirahat pasukan setelah semua pasukan meninggalkan tempat itu, kalaulah ada barang yang tertinggal. Shafwan tidak mengatakan apapun ketika menjumpai sayyiduna ‘Aisyah r.a. tertidur di tempat itu kecuali uacapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Shafwan pun bersegera menundukkan untanya dan memberi isyarat kepada ‘Aisyah agar menaiki kendaraan tersebut. Keduanya berjalan menyusul pasukan hingga baru sampai di Madinah pada siang hari.
Di Madinah sudah tersebar berita yang sengaja disebarkan oleh seseorang yang bernama Abdullah bin Ubai bin Salul, bahwa sayyiduna ‘Aisyah berselingkuh dengan sahabat Shafwan bin Al-Mu’athal. Berita itu tersebar dengan cepatnya hingga Rasulullah saw. sendiri harus percaya dengan situasi kota Madinah pada saat itu. Sayyiduna ‘Aisyah sangat bersedih, karena beliau tidak merasa bersalah dalam peristiwa tersebut, sementara sikap Rasulullah terhadapnya berdeda dengan biasanya. Rasulullah pun sempat meminta pendapat kepada dua orang sahabatnya, yaitu Usamah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib, terkait dengan bagaimana caranya menyikapi masalah ini.
Singkat cerita, hingga akhirnya turunlah wahyu yang diabadikan oleh Allah dalam surat An-Nūr ayat: 11-22. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang pembebasan ‘Aisyah dari tuduhan keji yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Masyarakat Madinah pun tenang kembali dengan jawaban yang diberikan oleh Allah secara langsung tersebut. Rasulullah juga merasa senang dan segera memberitahu ‘Aisyaah bahwa Allah telah menjawab dan membebaskannya dari tuduhan keji itu. Ibunda dari sayyiduna ‘Aisyah pun memintanya segera kembali kepada Rasulullah saw., meskipun dalam hatinya masih sakit, seraya mengatakan, “saya tidak akan memuji kecuali kepada Allah yang telah menurunkan wahyu itu”.
Ada salah seorang sahabat, yaitu Misthah bin Uṡāṡah yang selama ini mendapat santunan dari Abu Bakar, ayahanda dari ‘Aisyah r.a. Dalam peristiwa yang dikenal dengan hadῑṡul ifki ini Misthah ikut termakan oleh opini yang berkembang dan mempercayainya. Pada saat ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan tentang pembebasan ‘Aisyah r.a. telah diturunkan, Abu Bakar sempat mau menghentikan santunannya kepada Misthah, hingga ditegur oleh Allah swt. dalam surat An-Nūr ayat:22. Demikianlah berita bohong atau hadῑṡul ifki yang sempat mengguncang masyarakat Madinah, bahkan Rasulullah juga ikut terpengaruh dengan peristiwa tersebut.
Pada akhir-akhir ini masalah hadῑṡul ifki telah menjadi bagian dari medu sehari-hari masyarakat kita. Berbagai berita bohong yang tersebar di media sosial sudah menjadi santapan masyarakat setiap hari. Hadῑṡul ifki yang sekarang dikenal dengan berita hoax itu bahkan ikut tersebar melalui tangan-tangan para ulama dan orang terpelajar. Di negeri ini, pada saat ini, dengan melalui media sosial, juru fitnah dan penyebar berita hoax telah berkuasa dan merajalela. Masyarakat sekarang menjadi mudah menerima berita hoax itu dan mempercayainya, karena memang berita-berita yang dibuat itu biasanya ada relevansinya dengan kejadian-kejadian yang melingkupinya.
Bukankan kita sering menerima berita tentang meninggalnya seseorang, dan kemudian kita sangat percaya dengan berita itu, langsung saja kita kirim ulang kepada kawan-kawan kita? Padahal orang yang diberitakan telah meninggal itu masih segar bugar. Kita mudah percaya dengan berita tersebut karena sebelumnya kita mendengar bahwa seorang yang dimaksud sedang dirawat di rumah sakit misalnya.
Berita hoax yang masih tersebar di media sosial saat ini adalah terkait dengan kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Telah banyak beredar berita tentang kegiatan tertentu yang akan dilakukan oleh Raja Saudi Arabia itu selama di Indonesia, namun semua agenda itu tidak benar adanya, hingga terpaksa fihak keduataan Saudi Arabia di Jakarta mengeluarkan rilis resmi yang menyatakan bahawa kedatangan Raja tersebut di Indonesia adalah kunjungan resmi kenegaraan sebagai bentuk kunjungan balasan Presiden Joko Widodo yang sebelumnya telah berkunjung ke Saudi Arabia.
Mengingat sudah sedemikian hebatnya berita hoax beredar di sekitar kita, maka sebagai seorang muslim harus berhati-hati dalam mempercayai dan mengirim ulang berita yang sampai di tangan kita. Kita telah diingatkan oleh Allah swt. dalam Al-Quran agar terlebih dahulu kita mengecek keabsahan sebuah berita yang sampai kepada kita (QS Al-Hujurat:6). Begitu juga Allah telah mengancam orang-orang yang dengan sengaja menyebar berita hoax tentang keburukan seseorang di masyarakat dengan ancaman azab yang pedih baik di dunia maupun di akhirat (An-Nūr:19).
Marilah sekali lagi kita merenungkan sabda Rasulullah saw. dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika ia menceritakan atau menyebarkan apa saya yang ia dengar”. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Rekomendasi Artikel: