Teori Kepemimpinan
Dalam pandangan tradisional, kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kriteria keturunan atau usia atau senioritas. Kelemahan pandangan ini yakni terlampau pesimistik yang menganggap kepemimpinan hanya bisa terjadi karena anugerah (ascribed) bukan sesuatu yang bisa dicapai (achived). Pandangan lain yaitu pandangan yang sangat tergantung pada lingkungan yang mempercayai bahwa
pemimpin adalah sebuah keterjadian yang kebetulan on the right place, at the right time.
Pendekatan terhadap teori kepemimpinan antara lain dikemukakan kembali serta dipertegas antara lain oleh Kirpatrick & Locke, Shields, Fulop & Linstead (dalam Tjiptono, dkk, 1999). Pendekatan tersebut seperti yang akan diuraikan berikut ini:
a. Trait Theory ( The Right stuff )
Pandangan yang dikenal pula dengan istilah The Great Man (atau The Great Woman) View ini, mengasumsikan bahwa indidividu-individu tertentu dilahirkan dengan sifat pribadi atau karakteristik inheren (seperti atribut fisik dan intelektual) sehingga membuat mereka menjadi pemimpin natural. Sebagai contoh faktor seperti tinggi badan kerapkali diasosiasikan dengan kemampuan menjadi pemimpin seperti dalam dunia militer dan olaraga.
Meskipun demikian, teori sifat lebih menekankan aspek kepribadian ketimbang fisik. Pendekatan ini berusaha mengidentifikasi kombinasi faktor-faktor psikologis yang dapat membedakan pemimpin dengan pengikut. Namun hasil penelitian dari pendekatan ini tidak memuaskan karena hanya sedikit sekali sifat yang bisa digolongkan sebagai khas bagi pemimpin. Ciri sifat tersebut seperti: intelegensi, dominansi, kepercayaan diri, energi-aktivitas, pengetahuan terhadap tugas dan lain- lain. Termasuk dalam pendekatan ini adalah kepemimpinan karismatik, atau kepemimpinan yang berdasar pada karisma yang di dalamnya terkandung kuat unsur dominansi, serta kepercayaan diri.
Kelemahan dari pendekatan di atas antara lain yakni susah ditentukan seberapa besar ciri sifat itu menentukan seseorang untuk bisa menjadi pemimpin atau tidak. Seberapa tinggi intelegensi yang dibutuhkan, seberapa giat energi yang dibutuhkan. Dalam hal intelegensi itu saja misalnya, saat ini banyak mendapat tentangan. Bila yang dimaksud intelegensi di sini adalah kecerdasan otak, maka sekarang orang lebih percaya pada intelegensi emosi sebagai penentu keberhasilan. Contoh lain saat seseorang ingin menjalin kerjasama dengan orang lain, barangkali tak terlalu dipentingkan IQ tingkat superior, tetapi justru terletak pada kepandaian melihat kebutuhan orang atau menjaga kepercayaan mereka. Sanggahan lain terhadap pendapat ini adalah jika orang dengan ciri sifat tertentu saja yang bisa menjadi pemimpin artinya seolah-olah pemimpin itu sudah ditentukan dan tidak bisa dikembangkan.
b. Behavioral Theory ( The Right Style )
Pendekatan behavioral berusaha meninggalkan karakteristik deterministik pendekatan sifat, dengan asumsi bukan hanya ada satu pendekatan natural dan universal dalam kepemimpinan. Sebaliknya ada berbagai macam gaya kepemimpinan yang berbeda. Dalam pendekatan ini, fokus utama beralih dari identifikasi serangkaian kompetensi kepemimpinan universal menjadi identifikasi sejumlah alternatif gaya kepemimpinan. Dengan kata lain pendekatan behavioral berusaha menentukan apa yang dilakukan para pemimpin efektif, misalnya bagaimana mereka mendelegasikan tugas, berkomunikasi dan memotivasi anggota atau pengikut.
Pendekatan behavioral memusatkan perhatiannya pada 2 aspek perilaku kepemimpinan yaitu fungsi kepemimpinan (task-related dan group maintenance) dan gaya kepemimpinan (task oriented dan employee-oriented). Beberapa teori terkemuka dalam kelompok pendekatan ini antara lain teori X dan Y (Douglas McGregor), Studi University of Michigan (Rensis Likert) (dalam Tjiptono, dkk
1999).
c. Situational Theory ( The Right Style for the Circumstance )
Pada prinsipnya pendekatan sifat dan perilaku berupaya mengidentifikasi suatu gaya kepemimpinan terbaik. Pendekatan situasional atau dikenal pula dengan pendekatan kontigensi, menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang digunakan tergantung pada faktor-faktor situasi, pengikut, tugas, organisasi, dan variabel lingkungan lainnya. Dengan kata lain kepemimpinan efektif tergantung pada kemampuan menilai lingkungan sehingga dapat memutuskan perilaku kepemimpinan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi. Teori-teori situasional yang banyak diadopsi antara lain teori kontigensi Fred Fiedler, teori siklus kehidupan Hersey dan Blanchard, path goal theory dari Robert house, Fulop, dkk (dalam Tjiptono, dkk,
1999).