Faktor- Faktor Pembeda Tipe Kepribadian Extrovert dan Introvert
Banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan faktor -faktor yang mempengaruhi kepribadian. Eysenck (dalam Eysenck & Wilson, 1976) berpendapat bahwa kepribadian ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan lingkungan. Pendapat Eysenck didasarkan pada penelitian pada anak kembar identik, yang mempunyai hereditas identik. Anak kembar identik menunjukkan kesamaan perkembangan kepribadian sama, kendatipun mereka hidup terpisah satu sama lain. Kepribadian dan inteligensi dipengaruhi oleh faktor bawaan dan pada umumnya lingkungan hanya menyebabkan sedikit perubahan dan terhadap intelegensi tersebut.
Menurut E ysenck (dalam Smith & Vetter, 1982) faktor bawaan/genetik ini dalam perkembangannya membentuk pola unik yang kemudian menentukan bentuk, tingkah laku, kepribadian juga kecerdasan seseorang. Faktor-faktor organisme yang mempengaruhi tipe kepribadian berkaitan erat dengan kehidupan sosial individu.
Eysenck (dalam Smith & Vetter, 1982) pada awalnya merumuskan tipe kepribadian introvert dan extrovert sebagai bentuk keseimbangan antara excitation dan inhibition pada otak individu. Teori ini menjelaskan mengenai suatu proses yang terjadi dalam dalam otak yang berpengaruh dalam perilaku seseorang. Excitation berfungsi untuk membangkitkan kerja otak sehingga senantiasa dalam keadaan siap menghadapi stimulus dari luar. Dampak dari hal ini
adalah excitation memudahkan respon-respon perceptual, motor, fungsi belajar dan berpikir dalam sistem saraf pusat. Sebaliknya inhibition cenderung menyebabkan penurunan kerja otak sehingga tidak selalu dalam keadaan siap menghadapi stimulus dari luar. Hal ini memberi dampak penekana n pada respon- respon perceptual , motor, fungsi belajar, dan berpikir. Potensi inhibition ini lebih besar pada tipe kepribadian extrovert daripada tipe kepribadian introvert.
Individu yang merupakan tipe kepribadian extrovert, potensi inhibitionnya lebih baik dan kuat dibandingkan individu dengan tipe kepribadian introvert. Fungsi otak terhambat pada individu yang memiliki tipe kerpibadian extrovert ketika menghadapi peristiwa traumatis, individu cenderung tidak mampu mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Individu tidak memiliki pengaruh emosional yang kuat terhadap peristiwa traumatis tersebut dan sikapnya cenderun normal ketika dihadapkan pada situasi yang serupa. Sebaliknya individu yang memiliki tipe kepribadian introvert , kerja otaknya tidak pernah berhenti sehingga individu cenderung mengingat secara detail setiap peristiwa pada kejadian traumatis. Hal ini menyebabkan individu mengalami pengalaman traumatis yang berkepanjangan.
Pada tipe kepribadian extrovert secara berangsur -angsur inhibitio n bertambah sampai menghentikan aktivitas. Jika tidak ada istirahat panjang, maka semua kegiatan akan terhenti, dan jika ada kesempatan orang akan memiliki akan balik pada kegiatan. Sebaliknya pada tipe introvert, karena inhibition lebih sedikit, maka mereka dapat melanjutkan kegiatan untuk jangka yang lama. Ini berarti
bahwa tipe kepribadian introvert lebih tekun dalam melakukan suatu kegiatan untuk jangka waktu yang lama.
Walaupun teori inhibition dan excitation berhasil dengan baik dalam
memprediksi sejumlah fenomena perilaku, akan tetapi hal itu tidak dapat menyediakan bukti- bukti dasar yang cukup untuk memprediksi fenomena perilaku yang lain, seperti perbedaan extrover t dan introvert dalam hal ambang sensori, maka dalam perkembangannya, Eysenck (dalam Smith & Vetter, 1982), mengembangkan teori yang menjadi penyebab perbedaan antara tipe kepribadian extrovert dan tipe kepribadian introvert.
Perkembangan yang diperoleh menjelaskan bahwa penyebab utama
perbedaan antara inhibition dan excitation didasarkan atas aktivitas ascending reticular activating system (ARAS) sebagai mediatornya (Eysenck, dalam Smith
& Vetter, 1982). Hal ini cenderung bersifat konsisten dan sepanjang hidup
individu. ARAS sebagai suatu sistem utama di dalam otak yang bertanggungjawab untuk menyatukan dan mengontrol tingkat cortical arousal individu. ARAS merupakan tingkat aktivitas cerebral cortex yang ditandai dengan getaran ketika menghadapi rangsang dari luar.
Eysenck (dalam Feist & Feist, 1998) menjelaskan bahwa aktivitas cerebral cortex merupakan suatu kondisi psikologis yang lebih berkaitan dengan dasar- dasar neurofisiologis otak, yang cenderung lebih diwarisi daripada dipelajari. Karena extrovert mempunyai tingkat cortical arousal lebih rendah daripada introvert , mereka mempunyai ambang sensori yang lebih tinggi sehingga reaksi terhadap stimulus sensori lebih rendah.
Intorvert dicirikan dengan tingkat cortical arousal yang lebih tinggi sehingga hasil dari ambang sensori adalah memori yang lebih rendah, mereka mengalami reaksi terhadap stimulus sensori lebih besar.
Extrovert mempunyai bawaan tingkat cortical arousal rendah, maka mereka perlu sensori stimulasi yang tinggi untuk mencapai stimulasi yang optimal. Oleh karena itu individu dengan tipe kepribadian extrovert lebih cenderung berpar tisipasi dalam aktivitas yang menarik, asyik, dan merangsang. Mereka lebih menyukai aktivitas, seperti naik gunung, menyelam, minum alkohol, dan mengisap marijuana.
Sebaliknya introvert memiliki ambang sensori yang rendah sehingga untuk
mencapai stimulasi yang optimal dengan situasi menghindari situasi yang menyebabkan terlalu banyak perangsang. Oleh karena itu individu dengan tipe kepribadian introvert menghindari aktivitas seperti situasi sosial yang ramai, ski, menyelam, olah raga yang bersifat bersaing, atau memimpin suatu perkumpulan/permainan yang lucu.