Faktor-Faktor Kuratif Terapi Kelompok
Terdapat sebelas faktor kuratif, yang merupakan kategori utama dalam terapi kelompok (Yalom,1975) yaitu :
a. Pembinaan harapan, semakin tinggi taraf harapan pasien terhadap keberhasilan terapi, maka akan tinggi pula taraf kesembuhannya.
b. Universalitas, bagi pasien berarti ada penerimaan yang tulus dari seluruh anggota kelompok yang disertai dengan kelegaan emosional.
c. Penerangan, sebagai pengikat dalam terapi kelompok, faktor penerangan sering digunakan, terutama terhadap pasien dengan masalah emosi yang berat.
d. Altruisme, di dalam kelompok dengan altruisme mereka dapat berperan penting untuk orang lain, menambah rasa berharga yang akan meningkatkan harga diri.
e. Pengulangan korektif keluarga asal, di dalam kelompok yang serupa dengan susunan keluarga asal, terbuka kesempatan untuk mengulang konflik-konflik yang dialami semasa kecil secara singkat. Ini memberikan kesempatan pasien untuk mencoba perilaku yang baru dengan orang lain.
f. Pengembangan tehnik sosialisasi. g. Peniruan perilaku.
h. Belajar berhubungan dengan pribadi lain.
Adanya umpan balik dari anggota lain, peniruan perilaku dan kesempatan berhubungan dengan pribadi lain, akan menolong anggota untuk mengembangkan tehnik isolasi yang lebih dewasa.
i. Rasa kebersamaan. j. Katarsis.
k. Faktor eksistensial.
Suasana kelompok yang dijiwai oleh rasa kebersamaan, akan memudahkan pasien untuk katarsis, penjernihan yang sifatnya emosional ini perlu dihayati dengan penuh kejujuran agar pasien dapat lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan yang dipilihnya.
Kesebelas faktor kuratif tersebut, diharapkan mampu membantu para pasien gangguan jiwa untuk merasa lebih berharga dan memahami arti hidup. Melalui observasi diri, umpan balik dari anggota lain, pasien peserta terapi kelompok mulai mengenal aspek-aspek signifikan dalam perilaku interpersonalnya, kelemahan, limitasi, distorsi, perilaku yang tidak sesuai yang menimbulkan respon-respon yang tidak dikehendaki orang lain.
Russell (2003) berpendapat bahwa kelompok dapat menimbulkan kebersamaan untuk menyelesaikan masalah kehidupan, menurut Wood (2003) kelompok merupakan tatanan yang alami bagi usia remaja sehingga terapi kelompok sangat bagus jika diterapkan pada remaja.
Menurut Direktorat Kesehatan Jiwa (1988) ada beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan terapi kelompok antara lain :
a. Motivasi untuk terapi
Sebagaimana dengan bentuk psikoterapi lain, pasien untuk terapi kelompok harus mempunyai motivasi untuk terapi. Orang yang mengalami sakit, kecemasan, rasa bersalah, depresi dan konflik-konflik emosional lainnya biasanya akan mencari kesembuhan dari penderitaannya. Jika mereka sendiri mencari terapi, maka motivasinya adalah jelas. Namun demikian ada orang-orang yang motivasinya harus dipertanyakan dan ada pula yang perlu dimotivasi segi jiwa dan terapinya. Individu yang dirawat di rumah sakit atas perintah pengadilan atau paksaan keluarga disertai dengan ancaman tidak selalu mempunyai motivasi. Golongan orang yang sosiopat sangat sedikit motivasi dan kecil sekali harapan untuk mendapat manfaat dari terapi kelompok, mereka juga menyukai cara hidupnya sendiri dan sedikit mempunyai kecemasan.
b. Kekuatan ego (ego strength)
Pasien untuk terapi kelompok harus mampu berfungsi atau mempunyai kapasitas untuk berfungsi di kemudian hari dalam lingkungan pekerjaan, keluarga atau sosial. Pasien juga harus mempunyai kapasitas untuk mengatasi rintangan dan keinginan untuk bekerja memecahkan konflik dan masalah.
c. Toleransi terhadap kecemasan
Pasien dalam terapi kelompok harus mempunyai toleransi terhadap kecemasan. Interaksi emosional antara anggota-anggota kelompok dengan terapis kelompok menimbulkan kecemasan dan di dalam terapi kelompok kecemasan ini (bisa) dipergunakan secara terapeutik oleh terapis.
Jika melihat uraian diatas sangat jelas bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal pada terapi kelompok kondisi pasien juga sangat menentukan, karena tanpa adanya motivasi pasien tidak akan mampu mengikuti terapi kelompok dengan baik, apalagi pasien tidak mampu berkomunikasi dengan baik.
4. Keanggotaan
Pertimbangan yang dipergunakan bagi setiap anggota terapi kelompok menurut Yalom (1975) tergantung pada jenis terapi kelompok yang dipilih, sehingga seleksinya akan bervariasi sesuai dengan struktur, prosedur dan tujuan terapi kelompok, sedangkan untuk mendapatkan hasil yang optimal pada pelaksanaan terapi kelompok di rumah sakit jiwa diperlukan berbagai persyaratan bagi setiap pasien yang akan mengikuti program terapi kelompok seperti yang dikemukakan dalam petunjuk teknis terapi kelompok pasien mental di rumah sakit jiwa (1988) antara lain sebagai berikut :
a. Persyaratan Bagi Pasien Rumah Sakit Jiwa untuk siap memasuki terapi
Kelompok.
Ada beberapa persyaratan bagi pasien untuk bisa mengikuti terapi kelompok antara lain :
1). Sudah ada observasi atau diagnosis yang jelas.
2). Sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu berlangsungnya terapi kelompok.
b. Persyaratan bagi efektivitas terapi kelompok untuk pasien rehabilitasi :
1). Disamping adanya target terapi yang bersifat kelompok, perlu ditentukan target terapi untuk setiap anggota kelompok.
2). Target kelompok untuk pasien rehabilitasi ialah :
a) Sebelum rehabilitasi mereka yang bersifat pasif perlu dibangkitkan.
b) Selama rehabilitasi mereka didorong agar mengikuti aktifitas yang lebih baik atau agar lebih terampil.
c) Sesudah rehabilitasi targetnya ialah bagaimana agar mereka bisa menghadapi hidup sosial dengan keluarga, teman sekerja dan masyarakat.
3) Perlu adanya rating scale bagi setiap pasien untuk mencapai target.
4) Untuk terapi kelompok RS Jiwa, dianjurkan bahwa :
a) Tidak terlalu ketat dalam menggunakan teknik terapi. b) Diagnosa pasien dapat bersifat heterogen.
c) Tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setaraf. d) Pengelompokan berdasar problem yang sama.
c. Jumlah anggota dan komposisi
Penyusunan serta perencanaan kelompok merupakan hal yang penting dalam terapi kelompok. Menurut Wartomo (1976), untuk kelompok dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 anggota merupakan angka yang ideal, sedangkan jumlah minimum adalah 4 anggota dan maksimum adalah 10 anggota.
Menurut Kaplan (1971), besar kelompok yang terdiri dari 7-9 anggota memungkinkan anggota berbeda dalam ras/suku, latar belakang sosial dan latar belakang pendidikan sehingga akan mirip dengan kehidupan nyata. Untuk rumah sakit jiwa jumlah anggota kelompok minimal 4 dan maksimal 10, sedangkan idealnya ialah 7 sampai dengan 9 orang. Haim Weinberg’s group psychotherapy resources guide (2002) merekomendasikan anggota kelompok adalah berkisar antara 8 sampai dengan 12, karena jumlah yang terlalu banyak justru dapat merusak suasana terapeutik.
Jenis anggota pada kelompok psikoterapi tergantung pada jenis kelompok. Sedapat mungkin anggota-anggota kelompok terdiri dari pasien yang memiliki persamaan problema sehingga masing-masing akan lebih mudah mengerti persoalan anggota lainnya dan dapat memberi komentar dan lain-lain. Pada pasien rumah sakit jiwa hal ini sulit dilaksanakan , kadang-kadang pengelompokan didasarkan atas berat ringannya psiko patologi, tujuan yang ingin dicapai dan taraf pendidikan.
d. Klasifikasi Pasien Untuk Terapi Kelompok.
Menurut petunjuk teknis terapi kelompok pasien mental di rumah sakit jiwa (1988) untuk menyederhanakan tujuan dan teknik terapi, maka perlu mengkategorikan pasien menjadi 2 golongan.
Golongan pertama meliputi pasien ambulatory yang tidak termasuk psikosis berat, tidak menunjukkan perilaku regresi, halusinasi dan delusi yang berat dan orang-orang yang memiliki kepribadian Skizoid serta neurotik.
Golongan kedua meliputi pasien-pasien dengan ego-psikopatologi berat yang menyebabkan psikotik kronik. Toleransi mereka terhadap kecemasan sangat rapuh sehingga kemampuan adaptasi kurang. Pada golongan ini terhadap ego- psikopatologi yang berat yang bisa menimbulkan problem-problem tertentu dalam proses terapi kelompok. Oleh sebab itu terapis harus berhati-hati dalam memilih teknik pelaksanaan terapi kelompok dan perlu melakukan klasifikasi terhadap pasien peserta terapi kelompok.
5. Indikasi Dan Kontra Indikasi
Semua pasien rehabilitasi perlu mendapatkan terapi kelompok kecuali mereka yang :
- Psikopat dan sosiopat
- Selalu diam dan atau autistik
- Mudah bosan.
6. Terapis Kelompok
a. Peran di dalam kelompok
Terapis memainkan peranan penting dalam terapi kelompok, menurut petunjuk teknis terapi kelompok pasien mental di rumah sakit jiwa (1988) Reaksi tranferensi dan tranferensi balasan merupakan faktor yang penting di dalam dinamika kelompok karena para anggota mengidentifikasikan terapis dengan tokoh orang tua. Terapis juga harus bersedia mawas diri bahwa perilakunya akan memberi dampak emosional dalam kelompok. Untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran atas perilakunya sendiri maka dianjurkan kepada terapis untuk sering bertukar pikiran dengan terapis kelompok yang lain atau yang lebih senior. Didalam kelompok manapun, apakah yang bersifat terapeutik ataupun non terapeutik, tokoh pemimpin merupakan pribadi yang paling penting dalam kelompok. Pemimpin kelompok lebih banyak mempengaruhi tingkat kecemasan dan pola tingkah laku para anggota kelompok jika dibandingkan dengan anggota kelompok itu sendiri. Karena peranan terapis yang penting ini maka diperlukan latihan dan keahlian yang betul- betul profesional.
Kehadiran terapis dalam terapi kelompok penting, selama proses terapi kelompok belum selesai. Jika terapis tidak bisa hadir maka bisa diganti oleh co-terapis dengan syarat sudah mengikuti proses terapi kelompok sejak awal. Sesudah terapis hadir kembali, terapis perlu menanyakan perasaan atau reaksi anggota kelompok atas ketidakhadirannya. Co-terapis
juga berfungsi sebagai pencatat (recorder) atas hal-hal yang terjadi selama terapi kelompok.
Penampilan perilaku pasien terhadap ketidakhadiran terapis tergantung pada beberapa faktor :
1). Derajat dan jenis psikopatologi : Pasien skizofrenia dan neurotik dapat bereaksi dengan perasaan menolak, rasa harga diri rendah, rasa bersalah, atau marah terhadap terapis. Pasien yang bersifat tergantung dapat kehilangan tempat bersandar. Pasien yang alkoholik dapat minum lagi.
2). Derajat rasa keterlibatan terhadap kelompok (group involvement / group maturity) : Sesudah pasien merasa lebih aman dalam kelompok mereka dapat mengekspresikan perasaannya dalam kelompok tanpa menghilangkan rasa ketergantungannya.
b. Persyaratan dan Kualifikasi
Persyaratan dan kualifikasi untuk terapi kelompok adalah sama dengan psikoterapis yang dinyatakan oleh Colby (dalam Juknis Dirjen Yan keswa , 1988), yaitu :
1). Pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologis dalam budaya anggota.
2). Memiliki kumpulan konsep teoritis yang padat dan logis yang cukup sesuai untuk dipergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan tingkah laku normal maupun patologis.
3). Memiliki pengalaman teknis yang bersifat terapeutis yang menyatu dengan konsep-konsep yang dimilikinya melalui pengalaman klinis dengan pasien.
4). Memiliki kecakapan untuk mempergunakan dan mengontrol intuisi untuk membaca yang tersirat dan mempergunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan pasien dibelakang kata-katanya.
5). Memiliki kesadaran atas harapan-harapan sendiri, kecemasannya dan mekanisme pertahanan yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap tehnik terapeutiknya.
6). Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan kelebihannya (unconditional positive regards).
c. Tugas
Menurut Yalom (1975) terapis kelompok bertugas sebagai berikut :
1) Membuat dan mempertahankan kelompok.
Melalui wawancara awal dan seleksi yang baik terhadap calon anggota, terapis membentuk kelompok. Masa persiapan inilah yang mempengaruhi nasib kelompok. Tugas awal terapis adalah menciptakan sistem sosial. Terapis mempertahankan supaya anggota tetap hadir dan mengikuti kelompok yang dibuatnya. Gagalnya salah seorang anggota untuk mengikuti kelompok, dapat mempengaruhi anggota yang lain dan jumlahnya kelompok. Terapis sebaiknya mengenal hal-hal yang mempengaruhi kohesifitas kelompok ,
kelambatan, absen, membuat kelompok sendiri di luar tanpa diketahui anggota lain, pengkambinghitaman, akan mengancam integritas kelompok yang membutuhkan intervensi terapis. Ia harus membuat keputusan yang tepat demi hidupnya kelompok. Terkadang ia harus menunda pemenuhan kebutuhan salah satu anggota dan kalau perlu ia mengeluarkan seorang anggota demi kelangsungan hidup kelompok.
2) Membentuk budaya.
Begitu kelompok telah terbentuk, terapis harus membentuk kelompok menjadi sistem sosial yang terapeutik. Disini yang menjadi agen perubahan adalah kelompok, terapis bertugas membawa kelompok dari satu faktor kuratif ke faktor kuratif lainnya, melalui pembentukan budaya kelompok. Anggota harus merasa bebas untuk mengemukakan apa yang dirasakan ataupun yang dipikirkannya, kejujuran dan spontanitas harus dihadirkan dalam kelompok, dan yang sangat penting adalah selalu membawa kelompok pada "disini dan saat ini".
3) Membentuk norma.
Dalam membentuk norma kelompok, terapis dapat berlaku sebagai pakar teknis dengan memberi instruksi secara langsung pada anggota untuk berinteraksi satu sama lain. Secara verbal, terapis akan mengarahkan anggota untuk mengatakannya secara langsung pada anggota yang dimaksud, ini merupakan contoh norma kelompok untuk secara berterus terang mengalamatkan isu pada yang
bersangkutan. Secara nonverbal, terapis dapat mengangguk-angguk bila ada salah satu anggota yang telah berbicara langsung pada anggota lain, dapat pula tersenyum, jika ada anggota yang secara spontan memberi komentar atau tanggapan, atau mengernyitkan dahi ketika seorang anggota melempar kritikan tajam pada anggota lainnya. Sebagai peserta penetap model, terapis membentuk budaya melalui perilakunya sendiri yang dapat dipakai sebagai model di dalam kelompok, misalnya penerimaan tanpa penilaian, ketulusan dalam memberi pertolongan dan menunjukkan empatinya yang akurat.
Ada beberapa norma kelompok yang sebaiknya ada pada kelompok :
a) Kelompok pemantauan diri.
Sangat penting diawal pertemuan untuk menekankan tanggung jawab anggota terhadap nasib kelompok. Salah satu cara yang dapat dikemukakan adalah dengan mengatakan; bahwa sukses tidaknya kelompok akan banyak tergantung pada peran serta anggota. Diharapkan anggota akan menggunakan waktu seefisien mungkin bagi dirinya sendiri. Pemantauan diri yang dilakukan oleh anggota terhadap jalannya kelompok akan sangat bermanfaat untuk efektifitas kelompok dengan demikian terapis bukan penanggung jawab terhadap jalannya kelompok.
b) Pembukaan diri.
Pembukaan diri adalah komponen yang dibutuhkan dalam proses terapeutik. Di saat wawancara awal bagi calon diharapkan kesediannya untuk mengungkapkan diri dimuka anggota lain. Cepat atau lambat sesuatu yang dianggap rahasia oleh anggota suatu ketika akan dibukanya. Disini tidak boleh ada unsur paksaan, baik oleh anggota lain maupun dari terapis. Anggota berhak menentukan untuk pembukaan diri sesuai dengan kesiapannya.
c) Norma prosedural.
Ini adalah prosedur yang tidak berstruktur, tanpa latihan dan interaksi yang bebas sering terjadi, bahwa kelompok berinteraksi secara kaku, mereka mengambil waktu secara bergiliran, atau ada yang memakai waktu secara terus menerus dalam setiap pertemuan. Ada pula pertemuan yang selalu dimulai oleh anggota tertentu. Terapis perlu memberikan komentar proses tentang apa yang terjad selama ini.
d) Pentingnya kelompok
Semakin penting arti kelompok bagi anggota, kelompok akan menjadi semakin efektif. Bila ia akan tidak hadir, maka sebelumnya ia merasa perlu untuk memberitahu kepada kelompok. Ia juga akan selalu hadir tepat pada waktunya. Semakin ada kontinuitas antara pertemuan yang satu dengan yang lainnya, jalannya kelompok akan semakin baik. Tugas terapis adalah menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Kelompok akan semakin penting
bagi anggota bila mereka menganggap bahwa kelompok merupakan sumber dukungan dan informasi yang kaya.
e) Anggota sebagai agen penolong
Ini dapat terlaksana jika anggota menghargai pertolongan berharga yang saling mereka berikan. Untuk menunjang norma ini, terapis perlu mengingatkan pada suatu peristiwa yang menunjukkan bahwa setiap anggota saling menolong. Perilaku yang meremehkan norma saling menolong harus diberi komentar. Terkadang terjadi bahwa anggota melecehkan anggota lainnya melalui komentarnya. Ini perlu dikomunikasikan oleh terapis dan kelompok perlu diminta untuk memperhatikan peristiwa tersebut.
Dengan terbentuknya norma kelompok di dalam terapi, diharapkan proses terapi akan mendapatkan hasil yang optimal.
4) Perilaku efektif dalam memimpin kelompok.
Menurut George dan Christiani (dalam Prawitasari, 1989) ada beberapa hal yang patut dipahami oleh terapis :
a) Kemampuan untuk mendengarkan dengan aktif, yaitu mampu merangkum apa yang dikemukakan oleh anggota. Terapis perlu mengemukakan perilaku yang tidak selaras yang dilakukan oleh anggota, misalnya jika anggota menceritakan sesuatu yang berlawanan satu sama lain, maka terapis perlu memberi komentar tentang apa yang didengarkan.
b) Mengecek pengamatannya pada setiap anggota, terapis akan memberikan umpan balik kepada anggota tentang perilaku anggota yang spesifik, misalnya ada anggota menolak uluran pertolongan dari anggota lain, terapis mengemukakan pengamatannya ini pada kedua anggota tersebut dan memberi umpan balik bagi keduanya tentang peristiwa itu.
c) Menghubungkan pernyataan anggota yang satu dengan yang lain dan mengumpulkan kesamaan yang dialami keduanya.
d) Selalu membawa kelompok pada disini dan saat ini, artinya terapis memberikan komentar pada apa yang terjadi saat ini di dalam kelompok.
e) Konfrontasi, yaitu proses interpersonal yang digunakan terapis untuk memfasilitasi, memodifikasi dan perluasan dari gambaran diri orang lain (Smith,1992). Pada konfrontasi terapis harus melakukanya dengan sensitif dan penuh perhatian terhadap perilaku verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh anggota.
f) Iluminasi proses, terapis harus dapat memberikan komentar pada apa yang terjadi selama pertemuan, apa yang menonjol, apa yang istimewa, siapa yang telah aktif, siapa yang masih pasif dan apa yang telah dilakukan oleh seseorang anggota yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
g) Membuat ringkasan, ditiap akhir pertemuan, terapis harus membuat ringkasan sehingga hasil terapi dapat dengan cepat diketahui pada pertemuan yang akan datang.