Pemberdayaan dan Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan
2.2.1. Pemberdayaan (Empowerment)
Pemberdayaan atau empowerment ini berdasarkan makna katanya diartikan sebagai kekuatan yang berasal dari “dalam”, yang dapat diperkuat dengan unsur-unsur dari“luar”(Kartasasmita, 1996, dalam Soegijoko 1997 : 176). Dalam pengertian ini konsep pemberdayaan dimaknai sama dengan empowerment.
Berdasarkan asal katanya pemberdayaan atau memberdayakan, berasal dari kata empowement dan empower, yang menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionery (dalam Prijono dan Pranarka, 1996 : 3) artinya to give power or authority to, serta to give ability to or enable. Dimana pengertian pertama mengandung makna memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, sedangkan pengertian kedua mengandung makna sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.
Bryant & White (1987 : 25) mendefinisikan pemberdayaan adalah pertumbuhan kekuasaan dan wewenang untuk bertindak yang lebih besar kepada si miskin. Sedang Cook & Macaulay (1997) memandang pemberdayaan sebagai upaya membebaskan seseorang dari kendali yang kaku dan memberikan pada orang tersebut kebebasan untuk mempertanggungjawabkan idenya, keputusannya dan tindakannya. Di pihak lain Freire, sebagaimana dikutip Sutrisno (1996) dalam Abimanyu et. al, (1998 : 140-141), mengatakan bahwa pemberdayaan bukan hanya sekedar memberi kesempatan rakyat untuk menggunakan sumber alam dan dana pembangunan, akan tetapi merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang opresif atau dengan kata lain empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik.
Dari beberapa pendapat yang dipaparkan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemberdayaan merupakan suatu konsep pembangunan masyarakat dalam bidang ekonomi dan politik yang bercirikan people centered, participatory, empowering and sustainable. Asumsi dasanya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi, memiliki daya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik, dengan demikian pada dasarnya manusia itu bersifat aktif dalam upaya peningkatan keberdayaan dirinya.
Dan pada hakekatnya pemberdayaan berada pada diri manusia sedangkan faktor di luar diri manusia hanyalah berfungsi sebagai stimulus, perangsang munculnya semangat, rasa atau dorongan pada diri manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri, untuk mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya. Jadi memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, yang merupakan upaya memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996 : 144-145).
Pemberdayaan atau empowerment adalah upaya untuk membangun daya masyarakat dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Untuk itu agar kelompok masyarakat tersebut dapat “bangun” dan melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mampu mengejar ketertinggalannya dari saudara-saudaranya yang lain diperlukan pemberdayaan melalui tiga arah atau jurusan yang antara lain :
(a) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) dengan memperkenalkan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi (berdaya) untuk berkembang,
(b) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dengan menyediakan input (masukan) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat manjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang,
(c) Melindungi masyarakat yang lemah dalam proses pemberdayaan agar tidak menjadi semakin lemah oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat (Kartasasmita, 1996 : 159-160).
Ketiga arah atau jurusan pemberdayaan masyarakat di atas berpangkal pada dua sasaran utama, yaitu : (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (2) mempererat posisi masyarakat dalam struktur kekuasaan (Sumodiningrat, 1998 : 177).
Untuk sampai kepada sasaran di atas maka proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga pentahapan, yaitu : (1) Inisial : dari pemerintah, oleh pemerintah dan untuk rakyat, (2) Partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat, (3) Emansipatori : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama rakyat (Prijono dan Pranarka, 1996 : 2). Dimana pada tahap ketiga di atas masyarakat sudah dapat menemukan eksistensi dirinya, sehingga dapat melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam mengaktualisasikan dirinya.
Di samping itu pemberdayaan masyarakat juga membutuhkan suatu pendekatan utama dalam masyarakat, dimana masyarakat tidak boleh dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan itu sendiri, maka dikembangkanlah berbagai pendekatan yang mungkin dapat diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat, yang antara lain : (a) upaya pemberdayaan masyarakat yang terarah (targetted) atau pemihakan kepada yang lemah atau miskin, (b) pendekatan kelompok, untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi bersama-sama, (c) pendampingan, selama proses pemberdayaan yang dilakukan dengan pembentukan kelompok masyarakat miskin yang dilakukan oleh pendamping (pendamping lokal, tehnis dan khusus). Ia berfungsi sebagai fasilitator, komunikator atau pun dinamisator serta membantu kelompok mencari solusi atas masalah yang dihadapi (Kartasasmita, 1996 dalam Soegijoko 1997 : 179).
Dan berkaitan dengan hal tersebut, Cook dan Macaulay (1997 : 24) menawarkan pendekatan pemberdayaan dalam kerangka dasar yang dapat dilihat dari akronim “ACTORS” yang terdiri atas : (1) Authority, (2) Confidence dan competence, (3) Trust, (4) Opportunity, (5) Responsibilities, (6) Support.