Ada dua hari raya yang disyariatkan dalam Islam; Idul Fitri dan Idul Adha. Secara historis keduanya juga saling melengkapi. Keduanya sama-sama menanamkan rasa kesetikawanan sosial (social responsibility).
Idul Fitri dirayakan di bulan Syawal setelah melaksanakan shiyam (puasa) sebulan lamanya dan berzakat fitrah sebagai sarana untuk mentarbiyyah diri. Sementara Idul Adha sebagai simbolisasi penyembelihan ego dan kerakusan pribadi, selain sebagai saat turunnya ayat terakhir Alquran "alyauma akmaltu lakum dinakum.....(hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu), satu hari sebelum wukuf di arafah.
Perspektif Historis
Secara historis, penyembelihan hewan kurban pada hari Idul merujuk pada puncak ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah; menyembelih putranya sendiri, Ismail. Melalui mimpi, Allah perintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangan yang telah lama ia nantikan kehadirannya.
Penyembelihan hewan merupakan sarana dan cara pelestarian agama Ibrahim, meski sebenarnya perintah untuk berkurban juga telah ada sejak zaman Nabi Adam; saat kedua putranya, Qabil dan Habil diperintahkan berkurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah.
Penetapan syariat berkurban setelah rentang ribuan tahun peristiwa Ibrahim, menjadi media untuk menghapuskan penyimpangan pelaksanaan kurban yang tidak ditujukan kepada Allah. Banyak kalangan dalam masyarakat melakukan kurban yang mengarah kepada kemusyrikan.
Perspektif Fiqh
Dalam bahasa Arab, qurban bersal dari akar kata qaraba -yuqaribu –qurbanan, yang memiliki arti menghampirkan atau mendekatkan. Melakukan kurban menurut syariat Islam adalah menyembelih binatang –kambing, unta, sapi dan atau karbau- dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
Hal ini dilakukan merujuk pada ayat-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah....”(QS. Al Kautsar; 1-3). Hal ini kemudian dipertegas Rasulullah dengan ungkapannya, “Barangsiapa yang memperoleh kelapangan, namun ia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat salat kami.”
Berdasarkan kedua dalil naqli di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi setiap muslim yang mampu. Dan waktu penyembelihan adalah pada hari “H” plus tiga hari tasyriq setiap tahunnya.
Dengan demikian, semangat kurban merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menguji keimanan seseorang dan tingkat cintanya kepada Allah. Apakah harta dan segala yang ia miliki memalingkan dirinya dari Allah. Meski sebenarnya, cinta kepada harta maupun anak-anak merupakan fitrah, tetapi seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan di atas itu semua (lihat QS Al Taubah; 24).
Dalam sejarah Islam, banyak sahabat-sahabat Nabi yang membuktikan cinta mereka dengan berkurban demi mendapatkan cinta Allah dan rasul-Nya, meski harus meregang nyawa. Merekalah para syuhada, salaf shalih, dan mereka itulah nanti yang akan memperoleh derajat tinggi di sisi Rabb mereka.
Utsman bin Affan, umpamanya, telah mengukir sejarah awal Islam dengan tinta emas. Pada zaman Abu bakar Al shiddiq, terjadi musim paceklik yang sangat memprihatinkan. Banyak orang kesulitan mendapatkan bahan makanan, kemudian mengadukan perihal mereka kepada sang Khalifah, dan khalifah pun meminta mereka bersabar. Namun tak lama waktu berselang, tiba iring-iringan unta dari Syam membawa gandum, minyak goreng dan bahan pangan lainnya.
Lalu Utsman membagikan gandum dan hartanya itu secara cuma-cuma -tanpa pretense apapun- kepada penduduk yang sedang kekurangan hingga tak seorang pun yang luput. Itulah contoh pengorbanan seorang sahabat Nabi.
Hikmah dan Rahasia
Pakar tafsir kontemporer, Abdullah Yusuf Ali dalam masterpicenya The Holy Qur’an; Translation andf commentary, menjelaskan bahwa ibadah kurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial. Secara vertical, ibadah ini lebih merupakan ungkapan syukur, maka bacaan takbir justru lebih penting dari prosesi penyembelihan itu sendiri.
Artinya, karena kurban itu merupakan manifestasi keimanan seseorang, bukanlah wujud kurbannya lebih dipentingkan, melainkan nilai dan motivasi orang itu menjalankannya. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang khaliq. Yang dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan; lan yanalallah luhumuha wala dimauha, walakin lanaluhu al taqwa.....”, tegas-Nya.
Sedangkan secara horisontal, berqurban merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, khususnya kepada golongan yang lemah atau mereka yang dilemahkan (baca; dizhalimi) dan tertindas. Ibadah kurban pun mengajarkan kepada manusia utuk rela brkorban demi kepentingan yang lebih universal, baik kepentingan agama, bangsa, maupun kemanusiaan.
Dengan kata lain, kurban juga menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa. Pasalnya, kurban ini tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di sungai, malah daging kurban dinikmati bersama baik oleh orang yang berkurban maupun orang-orang miskin di sekitarnya.
Ulama besar Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita semua bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat kebinantangan manusia. Berqurban itu bukan hanya sebatas seekor kambing, tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan hawa nafsu kebinatangan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat kikir, egoisme personal maupun komunal, dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, berkurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial (social responsibility). Dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk berkurban, diharapkan timbul rasa kebersamaan di masyarakat sehingga bisa menggalang solidaritas, kesetiakawanan sosial dan introspeksi diri untuk kemaslahatan bersama.
Sebagai penutup, dengan berqurban, semoga kita mampu melawan syetan dan hawa nafsu yang hadir lewat iming-iming harta dan kekuasaan dengan menyembelih semua sifat kebinatangan kita selama ini guna mewujudkan kebersamaan dan membebaskan negeri ini dari keterpurukan.
Ahmad Arif
Delegasi khusus Pemuda & Mahasiswa Aceh, sekaligus panelist speaker dalam “1st Conference on Cultural Cooperation among the Muslim Youth”, Turki, 2005