Berita paling hangat di dunia pendidikan kita setelah pro kontra pelaksanaan UN adalah pembatalan Undang-Undang BHP (Badan Hukum Pendidikan) oleh Mahkamah Konstitusi pada 30 Maret 2010. Padahal, pemerintah Mendiknas di depan para Rektor PTN dan UIN se-Indonesia di Makassar beberapa waktu lalu mendesak agar PT yang saat ini sudah berstatus BHMN segera mengusulkan menjadi BHP. Yang sudah BLU segera mengusulkan menjadi BHMN, dan yang masih konvensional segera mengurus menjadi BLU. Himbauan lisan itu telah diikuti dengan himbauan tertulis secara resmi. Beberapa perguruan tinggi juga telah merespons himbauan Menteri dengan menyusun proposal. Dengan pembatalan tersebut tentu semua usulan mandek, alias tidak jadi diteruskan.
Sejak semula undang-undang ini telah mengundang pro dan kontra. Selain rujukan hukumnya tidak jelas, Undang-Undang BHP dikhawatirkan menjadikan perguruan tinggi semakin komersial dan program studi tertentu hanya bisa dijangkau oleh yang berduit. Kekhawatiran itu sudah terbukti. Beberapa perguruan tinggi yang berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menarik beaya sangat tinggi untuk program studi tertentu. Akibatnya yang bisa masuk ke program studi itu hanya mereka yang punya uang tebal. Masyarakat kelas bawah sulit menjangkaunya, sehingga pendidikan hanya untuk kaum the have. Fakta ini berlawanan dengan undang-undang yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak. Karena keputusan MK sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak bisa diganggu gugat, maka pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional), harus mematuhinya dan segera mengambil langkah kebijakan sebagai konsekuensi pembatalan itu. Pembatalan itu menjadikan perguruan tinggi kembali ke sistem konvensional, yakni menjadi perguruan tinggi milik publik yang bisa diakses oleh semua warga. Bagi perguruan tinggi yang sudah berstatus BHMN, saat ini ada tujuh PT, pembatalan itu mungkin dianggap merugikan. Sebab, mereka sudah menikmati status tersebut sehingga bisa menarik beaya masuk bagi mahasiswa baru sesuai ketentuan mereka sendiri dan membuka jalur masuk mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Ada sebuah perguruan tinggi yang setiap tahun merekrut mahasiswa baru mencapai sepuluh ribu lebih. Dengan jumlah mahasiswa baru yang begitu besar, maka jumlah masukan dana juga akan besar. Nafas BHMN atau BHP sejatinya adalah memberikan keleluasaan atau otonomi kepada perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas melalui kemandirian. Tetapi kemandirian atau otonomi ini dipakai dasar untuk menghimpun dana dari masyarakat semaunya. Bagi perguruan tinggi menghimpun dana besar dari masyarakat tidak ada salahnya. Toh, mereka bersedia dan ada dasarnya. “Jika tidak bersedia kami juga tidak pernah memaksa”, begitu jawaban salah seorang pengelola PT BHMN. “Kalau tidak mau, ya silahkan. Karena itu tidak ada masalah antara kami dengan warga masyarakat yang ingin kuliah di tempat kami. Nyatanya tiap tahun peminat selalu meningkat tajam. Yang jadi masalah adalah ada beberapa pihak yang merasa tidak nyaman dengan program pengembangan kami karena dianggap menguras habis mahasiswa”, begitu tambahnya. Peningkatan kualitas pendidikan tinggi tentu menjadi dambaan semua orang. Dan, menurut saya peningkatan kualitas akademik tidak harus dilalui dengan mengubah status kelembagaan. Jika masalahnya dana, maka selain pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah dan makanya harus menyediakan dana yang memadai masih ada sumber menghimpun dana, yakni melalui penelitian dan bekerjasama dengan memanfaatkan para ahli yang dimiliki setiap perguruan tinggi dan juga sarana laboratorium dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait. Lewat kerjasama pemanfaatan sarana laboratorium bisa diperoleh dana. Sayangnya, penelitian belum menjadi program prioritas di perguruan tinggi kita. Secara jujur dari tiga tugas konvensional PT, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, PT baru serius menjalankan tugas yang pertama. Di negara yang sudah maju perguruan tinggi bisa bermintra dengan baik dengan masyarakat, termasuk masyarakat dunia usaha. Hasil penelitian dibeli dan diberi hak paten sehingga semakin banyak hasil penelitian yang berkualitas semakin besar dana yang diperoleh. Persoalannya selain PT kita belum menggarap serius masalah penelitian, para dosennya juga belum menjadikan penelitain sebagai salah satu kebutuhan pokok seorang akademisi. Kalaupun melakukan penelitian umumnya sebatas untuk kepentingan kenaikan pangkat. Akibatnya, walau pangkat akademik sudah tinggi bahkan puncak pengetahuan penelitian sangat kurang. Untuk itu, memang diperlukan sebuah kebijakan bagaimana menjadikan penelitian menjadi aktivitas ilmiah para dosen dan anggota sivitas akademika yang lain. Selain itu, perlu dibangun sikap saling percaya antara perguruan tinggi, pemerintah dan dunia usaha. Selain penggalian dana dari penelitian dan kerjasama, perguruan tinggi bisa memperoleh dana dari anggaran 20 % APBN yang dialokasikan untuk pendidikan. Ini tinggal menunggu political will dari pemerintah. Seriuskah pemerintah menangani pendidikan? Konskuenkah pemerintah yang sering mengatakan bahwa masa depan dan kemajuan bangsa terletak pada pendidikan. Jika pendidikan baik, maka masa depan bangsa akan baik pula. Ini harus dibuktikan secara lebih serius. Jika hanya dalam waktu semalam, pemerintah bisa mengeluarkan dana 6,7 trilyun untuk nalangi bank yang bangkrut dan setelah itu danannya dirampok, mengapa pemerintah merelakan perguruan tinggi menghimpun dana dari masyarakat yang kondisi sosial ekonominya beragam. Selain pemanfaatan dana dari alokasi 20% APBN, dana pendidikan juga bisa dihimpun dari pajak. Daripada dikemplang Gayus, apa tidak lebih baik dana pajak untuk mengembangkan pendidikan yang hasilnya untuk pembangunan masa depan bangsa. Karena itu, tertangkapnya Gayus dkk yang berbarengan dengan pembatalan UU BHP bisa dipakai sebagai momentum bagi pemerintah untuk melakukan penataan perguruan tinggi secara menyeluruh dan pengelolaan pajak secara lebih profesional. Masih ada harapan bagi anak negeri ini untuk mengenyam pendidikan yang baik, jika dana negara dikelola dengan baik dan kebocoran bisa ditekan. Semoga ! __________ Malang, 9 April 2010.
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang