Seringkali orang miskin dipandang rendah. Mereka dianggap gagal dalam menjalani kehidupannya. Orang miskin biasanya juga dipandang tidak pintar. Mereka tidak berpendidikan. Karena itu orang miskin biasanya juga tidak dihormati oleh banyak orang. Dalam berbagai forum, orang miskin tidak dilibatkan, kecuali dalam peran yang memang cocok bagi mereka. Tetapi senyatanya, orang miskin tidak selalu merasa menderita. Orang kaya saja yang menganggap bahwa orang miskin selalu merasa susah. Sekalipun miskin, -----sebagaimana orang kaya, mereka bisa tertawa, gembira, dan juga bersyukur. Banyak orang miskin yang hidupnya tenang. Memang, orang miskin setidaknya bisa dibedakan menjadi dua macam. Pertama, miskin karena keadaan yang memaksanya, sehingga mereka menjadi miskin. Kedua, orang-orang yang memang sengaja menjalani hidup dengan keadaan miskin. Orang kepingin kaya, tetapi gagal sehingga disebut miskin, keadaannya dirasakan sebagai penderitaan. Mereka itu gagal menjadi kaya, karena beberapa sebab, misalnya tidak mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, jatuh pailit, atau tertimpa banyak hutang. Selain itu, mereka miskin karena usahanya selalu gagal, menjadi orang yang tersisih, atau tertinggal karena tidak memiliki kecakapan hidup, dan lain-lain. Sebaliknya, miskin bisa jadi karena disengaja, atau setidaknya tidak ingin menjadi kaya. Orang miskin seperti ini tidak merasa menderita dengan kedaannya itu. Mereka, memang tidak mau bertempat tinggal di rumah mewah, berpakaian yang serba wah, juga tidak kepingin memiliki uang banyak, tabungan atau harta yang melimpah. Mereka itu hanya ingin hidup secukupnya atau sederhana. Mereka tidak ingin terbebani atau terbelenggu hidupnya oleh harta, atau disebut sebagai menjadi abdi harta benda. Orang yang menyukai atau mencintai harta, tatkala melihat orang yang sengaja hidup sederhana menganggap aneh. Tapi jangan dikira, mereka yang menjalani hidup sederhana itu selalu bodoh. Bisa jadi mereka lebih pintar. Mereka memilih jalan hidup seperti itu, didasari oleh logikanya tersendiri. Memang, pada umumnya, orang menyukai harta. Tetapi, ada juga sesungguhnya orang yang justru sebaliknya, tidak menyukainya. Kenyataan-kenyataan seperti itu, menjadikan kita bisa mengerti bahwa tidak semua orang miskin selalu identik dengan kerendahan. Kita lihat saja misalnya, para kyai atau ulama yang mengambil sikap hidup sederhana. Mereka sengaja memilih cara hidup sederhana seperti itu. Mereka tidak menganggap bahwa harta selalu bisa menyelamatkan dirinya. Orang yang terlalu mencintai harta justru dianggap olehnya sebagai orang yang berharkat dan martabat rendah. Orang yang berpotensi kaya, tetapi tidak memanfaatkan potensinya itu, ternyata ada di mana-mana. Orang–orang yang meninggalkan kehidupan dunia seperti itu, dalam khazanah Islam disebut kaum shufi. Dalam dunia pesantren dikenal ada istilah Kyai waro’. Kaum shufi atau kyai waro’, dengan keadaannya yang miskin itu, biasanya justru lebih dihormati. Ulama’atau kyai yang menjalani hidup sederhana justru dipandang sebagai ulama’atau kyai yang sebenarnya. Oleh karena itu, jika sementara orang kaya memandang kemiskinan identik dengan penderitaan, maka kaum shufi atau kyai waro’ melihat justru sebaliknya. Oleh kaum shufi, orang kaya, apalagi mereka tidak memanfaatkan kekayaannya secara benar, dipandang sebagai penyandang derajad rendah, karena orang tersebut sehari-hari hanya mengurus hal-hal yang dianggap sepele, yaitu kekayaannya itu. Namun sementara ini, secara umum orang miskin dianggap menderita. Mereka harus ditolong, atau istilah populernya agar dientaskan. Oleh karena itu, akhir-akhir ini sering kita dengar istilah pengentasan kemiskinan. Mereka perlu dientaskan, artinya diangkat dari lembah penderitaannya. Sekalipun sesungguhnya, mereka belum tentu merasa menderita. Kehidupan, dengan cara meninggalkan kesenangan dunia seperti itu, bagi kalangan tertentu justru dirasakan mulia. Kaum shufi memandang bahwa orang kaya itu menderita. Sehari-hari, mereka hanya disibukkan untuk mengurusi hartanya. Berbeda dengan orang shufi, sehari-hari sibuk untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dengan berdzikir dan beribadah. Memahami orang ternyata memang tidak mudah. Seringkali terjadi salah paham. Orang kaya dianggap identik dengan orang bahagia. Begitu juga sebaliknya, orang miskin selalu menderita. Padahal, kita lihat akhir-akhir ini, banyak orang kaya, lagi pula berpangkat tinggi, sehari-hari hidup mereka diliputi oleh suasana gelisah. Tidak sedikit kejadian, orang kaya dan berpangkat tinggi, karena korupsi, akhirnya dimasukkan penjara. Orang-orang seperti itu tidak akan bisa merasakan kenikmatan dari kekayaannya. Lebih tragis lagi, justru kekayaannya itulah yang menjadikan sebab, mereka masuk bui. Kekayaan, akhirnya terbukti tidak selamanya identik dengan kemuliaan, kebesaran, dan juga kebahagiaan. Banyak orang yang hidupnya susah justru karena memiliki kekayaan melimpah. Sebaliknya, dengan kemiskinannya, seseorang merasakan ketengan hidup, kedamaian, dan kebahagiaan. Kekayaan yang terbatas menjadikan seseorang selamat dari godaan harta. Mereka juga tidak perlu menjaga kekayaannya. Mereka justru tenang, dan tidak terganggu dengan kekayaannya. Cara berpikir seperti itu, menjadikan orang miskin tidak perlu selalu dianggap rendah, bodoh, dan tertinggal. Hidup di dunia boleh-boleh saja menjadi kaya, tetapi tidak perlu merendahkan yang miskin. Kaya dan miskin adalah biasa. Orang kaya, tidak identik dengan hidup sukses. Sukses dalam hidup tidak selalu diukur dari jumlah hartanya. Keberhasilan hidup dalam Islam diukur dari tingkat keimanannya, amal sholeh, dan kemuliaan akhlaknya. Orang yang memenuhi ukuran itu, bisa saja berasal dari orang miskin atau juga orang kaya. Begitulah semestinya berakhlak terhadap orang miskin, tidak merendahkan dan atau menganggap hina. Berangkat dari pandangan itu, sesungguhnya ada perspektif lain dari pengertian kemiskinan. Yaitu, miskin keimanan, miskin amal sholeh, dan juga miskin akhlak. Mereka itulah yang justru perlu ditolong, dientaskan, dan diajak ke jalan yang benar. Kemiskinan iman, amal sholeh, dan miskin akhlak sesungguhnya lebih berbahaya dari sebatas miskin harta. Inilah akhlak yang seharusnya dibangun bersama, yaitu mengentaskan kemiskinan iman, amal sholeh, dan akhlak. Tentu, jika mungkin, menolong mereka yang miskin harta pun, ------bagi yang memerlukan, tidak harus berhenti. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang