Sudah berjalan hampir setahun, setiap pagi sepulang berjama’ah sholat subuh dari masjid saya menulis artikel pendek. Tulisan itu kemudian saya masukkan ke website. Saya juga tidak pernah berpikir, apakah ada gunanya tulisan-tulisan itu atau tidak. Bagi saya yang penting menulis. Saya juga tidak pernah mau repot-repot membaca kembali tulisan itu, kemudian mengeditnya. Saya tidak begitu peduli dengan kualitas tulisan, sehingga akibatnya mungkin sulit dipahami oleh pembacanya, lantaran kalimat-kalimatnya tidak runtun dan juga tidak teratur. Seorang dosen muda yang rupanya selalu mengikuti tulisan itu, berinisiatif memasukkannya ke facebook. Saya lihat, ternyata banyak juga yang membaca dan memberi komentar. Sudah barang tentu, karena sedemikian banyak komentar itu, saya tidak sempat memberi jawaban semuanya. Saya hanya berharap, agar mereka tidak terlalu kecewa lantaran komentar mereka tidak saya respon. Tetapi sesungguhnya komentar-komentar itu semua saya baca, dan tentu saya senang sekali.
Selain di facebook, ternyata beberapa tulisan juga diambil dan digunakan untuk mengisi website PKESINTERAKTIF, milik kelompok ekonomi syari’ah. Sampai saat ini saya juga tidak mengerti, kenapa tulisan-tulisan lepas sederhana, dibuat tanpa persiapan apa-apa, dan hanya bersifat spontanitas itu kemudian dipampang di website yang banyak dikunjungi orang. Saya bersyukur, hingga saat ini tulisan yang berjumlah lebih dari 300 buah itu belum pernah mendapatkan kritik yang mengecewakan. Semua tanggapan, saya pandang sangat positif, dan bahkan menurut beberapa teman, tulisan itu ada manfaatnya. Kebiasaan menulis ini sesungguhnya berwal dari hal yang sederhana saja, yaitu sekedar untuk memanfaatkan waktu luang. Menjelang pulang dari kantor, sambil menunggu waktu, biasa saya menyisakan waktu kira-kira setengah jam untuk menulis. Waktu sesingkat itu biasanya saya hasilkan tulisan antara satu sampai tiga halaman. Memang kegiatan menulis di kantor saat itu belum bisa saya lakukan secara istiqomah pada setiap hari. Tetapi setelah beberapa lama, ternyata tulisan tersebut terkumpul menjadi sedemikian banyak. Sebagian diedit oleh teman dosen, dan akhirnya dicetak menjadi buku. Sedangkan sebagian banyak lainnya hilang bersama komputernya. Memang sayang, tulisan-tulisan tersebut belum sempat di print out. Akhir-akhir ini semangat menulis itu tumbuh lagi. Kegiatan itu juga berawal dari alasan yang sangat sederhana. Bahwa setiap selesai sholat subuh dari masjid, -----biasanya masih jam 04.45 pagi, saya merasa kesulitan mengisi waktu yang sekiranya bermanfaat dan bisa dilakukan secara istiqomah. Mau berolah raga, ----jalan-jalan pagi misalnya, rasanya masih terlalu pagi. Sedangkan jika mau bekerja, semisal bersih-bersih halaman rumah, juga kebetulan sudah ada orang yang mengerjakan. Akhirnya saya menemukan pilihan yang paling tepat, ialah mengisi waktu tersebut dengan menulis artikel pendek. Karena sifatnya hanyalah sekedar mengisi waktu luang, maka artikel-artikel tersebut juga terasa sembarangan, topik-topik yang saya tulis tidak bertema tertentu. Biasanya topik itu saya dapatkan pada waktu berjalan pulang dari masjid. Saat itu, biasanya tersirat dalam pikiran ada sesuatu yang bisa saya tulis. Maka setelah nyampai di meja kerja di rumah, segera saya hidupkan komputer, lalu saya memulai menulis. Sebelum menulis, saya tidak pernah mencari bahan lewat membaca jurnal, buku atau hasil penelitian terlebih dahulu. Memang jika mau menulis beneran, seharusnya diawali dari menyiapkan bahan-bahan, baik berupa data, informasi, hasil penelitian dan bahkan juga bahan literature lainnya. Bahan-bahan itu penting untuk memperkukuh argumentasi atau bahan bandingan, agar hasil tulisan menjadi baik. Namun semua itu sama sekali tidak saya lakukan, karena tidak ada waktu. Saya tidak mau repot-repot soal menulis. Menulis artikel pendek, saya saya anggap sebagai hiburan saja. Saya merasakan, jika sehari saja tidak menulis, terasa seakan-akan ada sesuatu yang belum saya kerjakan di hari itu. Menulis akhirnya menjadi seperti sebuah kewajiban yang datang dari dalam diri sendiri. Oleh karena topic-topik tulisan itu tidak saya rancang sebelumnya, maka semuanya seperti tidak ada kaitan antara satu dengan lainnya. Suatu saat misalnya, saya menulis tentang pendidikan, besuknya menulis tentang hal yang terkait dengan ekonomi, dan besuknya lagi tentang Islam, social, dan kadang politik, dan seterusnya. Ada beberapa teman yang usul agar sebaiknya saya menulis tentang tema tertentu, agar mudah menulisnya dan begitu juga pembacanya. Saya katakan secara terus terang, bahwa jika topic-topik itu diatur terlebih dahulu, mungkin justru tidak akan jadi menulis. Saya bisa menulis lantaran ada kebebasan yang seluas-luasnya itu. Selama ini saya merasakan, bahwa kreativitas baru akan muncul jika di sana ada iklim atau suasana bebas dan terbuka. Dengan kebebasan dan keterbukaan itu, maka pikiran orang akan menjadi terang dan leluasa hingga akhirnya bisa bergerak ke mana saja maunya. Berangkat dari pandangan tersebut, lalu saya kaitkan dengan banyaknya mahasiswa yang terlambat dalam menulis tugas akhir, maka kemudian saya berpikir, jangan-keterlambatan itu hanya disebabkan oleh hambatan psikis. Mahasiswa banyak terlambat dalam menyelesaikan skripsi, tesis, atau bahkan disertasi itu, hanya karena mereka merasa ada batasan-batasan, baik berupa peraturan, pedoman, dan tata tertib itu. Jangan-jangan peraturan itu yang justru mengganggu kebebasan mereka, hingga mereka tidak berani mulai menulis. Apalagi, hambatan psikologis itu itu juga masih diperparah oleh rasa khawatit, ragu dan takut jika kemudian tulisannya akan dianggap tidak bermutu, salah, dikritik orang dan seterusnya. Berbagai hal itu semua menjadikan pikiran mereka tidak bebas dan leluasa. Padahal pikiran bebas dan terbuka merupakan modal penting bagi siapapun yang mau mengekspresikan ide atau buah pikirannya. Ada kebiasaan di kalangan mahasiswa bahwa tatkala akan memulai menulis, mereka mencari pedoman, tuntunan, peraturan dan semacamnya. Cara itu benar, agar tulisannya tidak menyimpang dan salah. Para pembuat peraturan, pedoman atau petunjuk juga tidak keliru. Itu semua dimaksudkan agar siapapun yang mau menulis tidak mengalami kesulitan. Namun pada kenyataannya, semakin banyak pedoman atau petunjuk itu, menjadikan sementara orang justru terganggu. Dengan peraturan dan pedoman itu, secara psikologis kebebasan mereka terganggu. Padahal rasa bebas dan keluasa itulah merupakan modal utama yang harus dimiliki ketika seseorang mengekspresikan ide atau pikirannya. Sayangnya ketika mau menulis, yang segera muncul dari pikirannya adalah pedoman dan tatatertib yang kaku itu. Akibatnya buku pedoman dan tata-tertib bukan menjadi sesuatu yang diperlukan, melainkan sebaliknya, yaitu justru mengganggu kebebasan berpikir yang kemudian juga menulis itu. Ingat kesulitan dalam menulis dan kemudian saya kaitkan dengan berbagai aturan atau pedoman penulisan, maka ingatan saya tertuju pada para pelukis, penari, dan bahkan juga pada seseorang yang lagi meniti jembatan kecil, sempit, lagi berbahaya. Seorang pelukis atau penari tidak akan bisa membuat lukisan atau menari yang indah jika ketika melakukan profesinya itu masih selalu mengingat-ingat ketentuan tentang menulis dan menari. Demikian juga seseorang yang sedang berjalan di atas jembatan yang sempit dan bahaya itu, jika ia tidak memiliki kepercayaan diri atau selalu memikirkan resiko akan jatuh, maka justru ia akan jatuh. Sebaliknya, jika ia tidak memikirkan bahaya dan penuh percaya diri, maka ia akan dengan mudah melintasi jembatan dan selamat. Walaupun peraturan atau pedoman apa saja itu kadang secara psikologis bisa mengganggu kreativitas, tetapi bukan berarti hal itu tidak perlu. Semua itu tetap penting, apalagi pada fase-fase pemula, maka pedoman, peraturan dan tata tertib sangat diperlukan. Akan tetapi hanya selalu berpikir peraturan dan apalagi menjadi takut karena tidak sesuai dengan pedoman, maka juga akan berakibat, tidak akan memulai menulis. Sehingga resikonya, tidak akan mempunyai karya apa-apa. Orang yang takut melakukan kesalahan, maka sesungguhnya ia sudah melakukan kesalahan. Kembali pada kebiasaan menulis pada setiap selesai sholat subuh, hal itu bisa saya lakukan, karena suasana pagi biasanya masih segar, udara jernih dan yang lebih penting lagi adalah karena adanya kebebasan di pagi itu. Dengan tulisan-tulisan sederhana itu saya berharap ada manfaatnya dan setidak-tidaknya dengan tulisan itu membuktikan bahwa di pagi itu saya masih ada dan sehat. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang