Jika kita perhatikan kehidupan sehari-hari, di daerah tertentu, khususnya yang mayoritas penduduknya muslim, seperti misalnya di kota Malang, tatkala masuk waktu subuh, suara adzan menggema datang dari semua arah. Dari dalam rumah suara itu mungkin tidak terlalu terdengar, tetapi dari luar rumah, suara itu luar biasa banyaknya. Setiap masjid dan musholla yang jumlahnya amat banyak rupanya semua telah dilengkapi pengeras suara. Para muadzin mengumandangkan suara adzan secara bersamaan, hingga melahirkan suara menggelegar. Bagi yang menyukai suara itu, terasa nikmat. Asma Allah dan Nabi Muhammad saw. dikumandangkan, demikian pula ajakan untuk sholat dan menggapai kemenangan diserukan dengan suara menggema. Masjid dan musholla menjadi hidup. Setelah itu, kaum muslimin pada datang untuk secara bersama-sama menunaikan ibadah sholat subuh berjamaáh. Memang mungkin belum semua kaum muslimin menyadari, betapa pentingnya sholat berjamaáh di subuh itu, dan mungkin karena belum merasakan betapa nikmatnya, di pagi itu bertemu tetangga, teman, kenalan, atau siapa saja di tempat ibadah itu. Bagi mereka yang memiliki hati jernih dan terang, maka tidak akan mungkin mengabaikan seruan adzan itu. Sebab, betapa nikmatnya mendengar suara panggilan adzan itu. Tetapi sebaliknya, bagi mereka yang memiliki hati keras, mungkin tidak mampu menikmati, apalagi menggerakkan kakinya menuju tempat dari mana di kumandangkan seruan sholat berjamaáh itu. Setiap mendengar suara adzan yang menggelegar itu, segera tergambar pada pikiran saya, alangkah indahnya negeri ini, jika mayoritas kaum muslimin segera datang ke masjid atau musholla. Karena mayoritas penduduk negeri ini muslim, maka sejumlah tempat ibadah di pagi itu menjadi penuh sesak sebagaimana terjadi pada setiap waktu sholat jumát. Bahkan lebih banyak lagi, karena wanita-wanita yang tidak berhalangan juga datang ke masjid. Saya membayangkan, jika hal itu terjadi merupakan sebuah pemandangan indah yang luar biasa. Terbayang keindahan itu lebih sempurna jika misalnya benar-benar tampak, para suami isteri diikuti oleh anak-anak mereka. Para ibu-ibu mengenakan pakaian serba putih dengan mukenanya, sedangkan bapak-bapak mengenakan sarung, baju koko, dan songkok atau kopyah. Mereka berduyun-duyun menuju masjid atau musholla. Masjid dan musholla menjadi penuh jamaáh, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, serta anak-anak. Kedamaian plus keindahan akan tampak dari kehidupan kaum muslimin. Pagi-pagi benar di subuh itu antar tetangga sudah bangun dan bertemu di tempat yang suci, yaitu masjid dan musholla. Mereka di tempat itu tidak melakukan transaksi apa-apa, kecuali mengucapkan kalimah dzikir yang sama, yaitu subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu akbar. Sebelum sholat subuh berjamaáh dimulai, mereka sholat takhiyatul masjid dan sholat sunnah sebelum subuh. Selanjutnya setelah iqomah, mereka sholat berjamaah. Mereka membaca kalimah-kalimah suci dan indah dalam sholat. Dengan dipimpin oleh imam sholat, mereka membaca bacaan sholat secara bersama-sama, mengumandangkan suara ”amien”secara serentak dan bersama-sama, segera selesai imam membaca surat al fatekhah. Usai sholat berjamaáh, seorang di antara anggota jamaáh diberi kepercayaan untuk memberikan kuliah subuh tujuh menit. Semua mendengarkan ceramah itu hingga usai, dan baru setelah itu kemudian mereka bubar, pulang menuju ke rumah masing-masing. Kuliah subuh bukan bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi selalu dilakukan sebagai media untuk saling mengingatkan dan sekaligus menambah pengetahuan. Inilah keindahan Islam, ada kebersamaan, kerukunan, kesatuan, saling mengenal dan mencintai, menghargai, dan tolong menolong di antara mereka. Namun sayang, gambaran indah itu belum semuanya terwujud. Akan tetapi secara konseptual, ajaran Islam memang mengajarkan seperti itu. Pada saat ini, semangat masyarakat membangun tempat ibadah masjid dan mushalla, sudah luar biasa besarnya. Hasilnya, di mana-mana sudah ada masjid dan musholla. Tempat ibadah itu, sudah dilengkapi dengan pengeras suara. Namun, dari aspek jumlah jamaáhnya belum semua berhasil tergerakkan secara maksimal. Bahkan, anehnya masih ada sementara orang yang merasakan bahwa suara adzan dipandang mengganggu, kemudian disarankan agar diperkecil suara itu. Itu artinya, kenikmatan mendengar suara panggilan sholat berjamaáh belum dirasakan. Saya membayangkan, jika suatu ketika sebagian besar kaum muslimin sudah tergerak hatinya, selalu mendatangi suara adzan pada setiap waktu sholat, setidak-tidaknya pada sholat subuh, maghrib dan isya’, maka alangkah indahnya kehidupan kaum muslimin, tampak dan terasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, gambaran indah itu pada saat ini masih belum sempurna. Padahal jika itu terjadi, di antara kaum muslimin akan saling mengenal, menyayangi, memahami, menghormati, dan akan saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari. Dampak selanjutnya, mereka akan merasa malu, andaikan mereka sebagai pegawai pemerintah atau pun juga swasta melakukan korupsi, kolusi, dan nepotime. Melalui pendekatan berjamaáh ini, penyimpangan sosial semisal korupsi akan dapat dihilangkan tanpa harus memperluas bangunan penjara, karena tempat itu sudah terlalu penuh sesak. Masjid dan musholla pada Bulan Ramadhan, tidak terkecuali waktu subuh, biasa jamaáhnya meningkat, hingga tempat ibadah terasa lebih hidup dan ramai. Andaikan pada bulan-bulan selanjutnya keadaan itu bisa dipertahankan, maka wajah umat Islam akan menjadi sangat indah. Masjid dan musholla akan benar-benar menjadi pusat pembinaan dan sekaligus pencerahan umatnya secara terus menerus. Di sinilah sesungguhnya salah satu kekuatan umat Islam, untuk bangkit melalui gerakan sholat berjamaáh. Apalagi sesungguhnya, sholat juga menyimpan potensi kekuatan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang