Dalam Islam jabatan dipandang sebagai amanah yang harus ditunaikan oleh siapapun yang memegangnya. Sebagai amanah, maka jaatan tidak sepantasnya diperebutkan. Akan tetapi jika jabatan itu diberikan juga tidak boleh ditolaknya. Amanah harus ditunaikan sebaik-baiknya. Sebulan terakhir ini, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyelenggarakan pemilihan jabatan structural baik di tingkat universitas, fakultas, dan bahkan juga jurusan. Setelah rector terpilih dilantik, maka diteruskan dengan pemilihan jabatan pada berbagai jenjang, mulai pembantu rector, dekan, pembantu dekan, jurusan dan sekretaris jurusan. Semua proses pemilihan itu menggunakan acuan statuta universitas yang telah disahkan oleh Menteri Agama. Memperhatikan proses pemilihan calon para pejabat tersebut saya melihat pemandangan yang tampak indah. Biasanya pemilihan jabatan di mana-mana diwarnai oleh persaingan yang tajam. Untuk memenangkan persaingan masing-masing pihak berebut pengaruh dengan menggunakan caranya sendiri-sendiri. Sementara orang mencari pengaruh dengan mengusung isu-isu yang kadang tidak logis. Misalnya, mengobral janji, menghimpun solidaritas lewat kesukuan atau etnis, aliran keagamaan, organisasi, atau kelompok-kelompok lainnya. Berbeda dengan itu, pemilihan jabatan di lingkungan UIN Maulana Malik Ibrahim ternyata berhasil mengeliminasi berbagai kepentingan itu. Saya melihat para pemilih sudah bisa bersikap obyek dan mandiri. Tatkala memilih mereka tidak hanya ikut-ikutan kelompok yang bersifat cultural itu. Pemilihan calon sudah mulai bergerak kearah pertimbangan kapailitas, integritas dan profesionalitas. Kalau pun ada pertimbangan yang bersifat subyektif, terasa sekali sudah dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Mereka sudah mulai malu jika dukungannya hanya didasarkan pada pertimbangan cultural tersebut. Pemilihan calon pejabat seperti itu, terasa sekali, hasilnya dapat diterima oleh semua pihak. Semua orang kemudian tampak puas, mereka menganggap bahwa pilihan-pilihan itu sudah tepat sebagaimana aspirasi warga kampus. Setelah mereka dilantik mendapatkan sambutan dan apresiasi dari semua pihak. Mereka percaya bahwa dengan pilihan itu, masing-masing bidang akan dapat dijalankan sebaik-baiknya. Dalam proses pemilihan itu, ada satu jabatan dan bahkan itu terjadi di tingkat pembantu rector yang masing-masing calon mendapatkan jumlah suara yang sama. Ketika itu keputusan terakhir diserahkan pada rector untuk memilihnya. Senat tidak mau melakukan pemilihan ulang, dikhawatirkan akan mendapatkan suara yang sama lagi. Saya selaku rector untuk memilih di antara dua calon yang mendapatkan jumlah suara yang sama itu, memanggil kedua-duanya untuk mendapatkan satu di antara keduanya yang memiliki kelebihan. Sesungguhnya tanpa memanggil pun, saya sudah lama mengenali kualitas pribadi keduanya, terkait dengan kapabilitas dan integritasnya. Masing-masing memiliki plus minusnya. Tatkala saya memanggil keduanya, saya mendapatkan hiburan yang indah lagi. Ternyata keduanya tidak ada yang menyatakan dirinya lebih baik. Sebaliknya masing-masing justru menyatakan bahwa pesaingnya lebih unggul dari dirinya. Bahkan satu di antaranya menyatakan bahwa ketika pemilihan, karena dia menjadi anggota senat, tidak memilih dirinya sendiri melainkan memilih pesaingnya itu. Ia meyakini bahwa pesaingnya lebih baik dari dirinya untuk menunaikan amanah itu. Dia juga mengatakan, bahwa akan selalu siap membantu menyelesaikan tugas apa saja yang diperlukan untuk memajukan kampus. Menghadapi kejadian ini saya merasakan adanya keindahan yang luar biasa. Di tengah-tengah masyarakat yang sedang terjadi persaingan dan perebutan jabatan yang sedemikian keras, ternyata di kampus ini perebutan itu tidak terjadi. Orang tidak mengunggulkan diri sendiri, melainkan justru melihat kelebihan itu ada pada orang lain dan bahkan pesaingnya. Saya merasakan telah muncul apa yang saya sebut sebagai akhlak jabatan. Saya membayangkan, jika hal ini terjadi dalam wilayah yang luas, maka dalam pemilihan pemimpin tidak akan terjadi saling memprotes, merendahkan pesaing, mengaduan ke pengadilan, dan lain-lain yang tidak perlu. Dengan demikian rakyat pun menjadi tenang dan sekaligus mendapatkan pelajaran yang mulia dari proses demokrasi. Wallahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang