Persoalan bangsa saat ini terasa sudah sedemikian komplek, sudah saling kait mengkait antara variable satu dengan variable lainnya. Saat ini, saya kebetulan sedang dalam perjalanan ke Timur Tengah. Setelah dari Saudi Arabia, menurut rencana, akan meneruskan perjalanan ke Sudan. Perjalanan ini dalam rangka mencari peluang kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di negara itu, sebagai kelanjutan dari pertemuan yang telah saya rintis sebelumnya. Persoalan ini saya rasakan benar ketika saya sedang di perjalanan sejak dari Jakarta ke Jeddah. Saya sangat sedih melihat saudara-saudara saya dalam jumlah sekian banyak bersama-sama pergi ke negeri orang untuk sebatas mencari pekerjaan. Saya yakin pekerjaan yang akan didapat adalah sekadar sebagai pembantu rumah tangga dan yang pria sebagai sopir atau penjaga rumah. Sesungguhnya tidak mengapa jenis pekerjaan apa saja bisa dan boleh dipilih oleh siapapun asal halal. Akan tetapi persoalannya ialah, mereka tidak akan mendapatkan penghasilan yang layak. Selain itu kehormatan dan harga diri tidak akan diperoleh secara sempurna. Mereka hanya akan diperintah semaunya oleh majikan padahal imbalan mereka akan sangat terbatas. Alternatif jalan hidup itu diambil oleh mereka, karena dalam keadaan terpaksa. Jika memungkinkan ada pilihan lain yang lebih baik dan bergengsi, saya yakin, mereka tidak akan mau memilih lapangan pekerjaan itu. Pertanyaan besar yang seharusnya dijawab oleh kita semua, terutama oleh para pemimpin bangsa ini adalah masih mampukah kita dengan bermodalkan warisan berupa negeri yang luas, subur, dan kaya ini –diterima dari para leluhur, mengelola dengan baik hingga berhasil menjadikan seluruh warga bangsa ini berpeluang dan betah bekerja di negerinya sendiri dengan penghasilan cukup sebagai bekal hidupnya. Dan, jika memang harus pergi ke negeri orang, tidak saja sebagai buruh kasar, seperti sopir, pembantu rumah tangga dan sejenisnya, melainkan sebagai tenaga yang memiliki keahlian tinggi. Mereka datang ke luar negeri bukan, karena mengambil peluang sisa, melainkan justru diperlukan dan ditunggu-tunggu oleh mereka. Keinginan itu tentu akan bisa diraih manakala bangsa ini berhasil menyelesaikan problem-problem besarnya. Problem-problem besar itu adalah di antaranya sebagai berikut : (1) Bangsa ini belum berhasil menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Lulusan lembaga pendidikan masih belum mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Tujuan pendidikan untuk mencetak manusia berbudi pekerti luhur atau berakhlakul karimah, terampil, berilmu pengetahuan, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakatnya, pekerja keras dan seterusnya belum berhasil tercapai. (2) Masih terjadi kesenjangan sosial yang luar biasa. Sejumlah kecil orang telah berhasil mengembangkan ekonomi tetapi sebaliknya dalam jumlah besar lainnya masih dalam keadaan miskin, menganggur, bodoh, terbelakang dan kurang mendapatkan harga diri yang selayaknya. (3) Pemerintahan masih belum begitu sehat, hal itu ditunjukkan dari masih banyaknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme, manupulasi dalam berbagai bentuknya. Selain itu hukum belum berhasil ditegakkan, bahkan banyak dijual belikan. Orang mencari keadilan sudah sangat sulit. Lembaga pendidikan hukum belum berhasil melahirkan ahli hukum yang adil dan ikhlas mengabdi pada hukum dan kebenaran. (4) dan masih banyak lagi persoalan mendasar lainnya. Sebagai akibat dari persoalan besar itu, maka sebagai akibatnya adalah terjadinya kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kerusakan mental terjadi di hampir seluruh wilayah negeri ini. Bangsa ini bagaikan berada pada suasana benang kusut dan ruwet. Untungnya, kesadaran untuk keluar dari kubangan persoalan itu, pada saat ini sudah mulai tumbuh. Para pemimpin bangsa sudah mulai sadar akan persoalan itu. Hanya sayangnya, langkah-langkah nyata yang tergolong strategis rupanya belum dilakukan. Mereka hanya akan menyelesaikan persoalan itu dengan standar biasa. Padahal persoalan yang dihadapi sesungguhnya sudah berada pada stadium luar biasa. Saya melihat dalam menyelesaikan persoalan pendidikan, baru masih bersifat tambal sulam dan anehnya menempuh kebijakan biaya mahal tanpa isi. Suatu contoh, sebatas untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen harus melalui proses panjang dengan biaya besar pula. Padahal dengan pendekatan sertifikasi guru dan dosen itu, bisa dipastikan peningkatan kualitas akademik yang dihasilkan dari proses itu sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi adalah justru sebaliknya, belajar memperdalam manipulasi besar-besaran. Sehingga bukan peningkatan kualitas yang diperoleh, melainkan degradasi semangat dan moral para pendidik. Kebijakank-kebijakan yang diambil hanya sebatas bersifat karikatif, menghabiskan proyek dan bersifat seolah-olah. Yaitu seolah-olah memiliki program dan kegiatan. Terkait dengan pendekatan proyek, muncul pameo, bahwa jika kegiatan itu sudah disebut sebagai proyek, maka maknanya adalah kegiatan itu diprogramkan hanya untuk kepentingan atau jelasnya demi keuntungan bersama. Jika gambaran ini bernar-benar terjadi, maka sebenarnya telah terjadi manipulasi baru, atau kelanjutan apa yang selama ini terjadi, yang hanya berujung semakin menderitakan rakyat ke depan. Kebijakan-kebijakan itu bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru akan membuat masalah baru di kemudian hari. Persoalan bangsa ini harus diselesaikan melalui pendekatan solusi yang tepat. Untuk itu perlu dicarikan cara yang tidak biasa. Pendekatan yang bersifat biasa tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang luar biasa ini. Pendekatan yang bersifat biasa hanya akan menjadikan lelah tetapi tidak mendapatkan hasil dan makna apa-apa. Jika demikian, maka apa sesungguhnya yang diperlukan bagi bangsa ini. Saya berpendapat, harus dimulai dari kepemimpinannya. Bangsa ini harus mendapatkan pemimpin yang memiliki kekuatan daya dobrak yang tinggi. Yaitu pemimpin yang berani meluruskan apa saja saja yang tidak lurus, pemimpin yang mengerti persoalan bangsa yang sesungguhnya dan memiki gambaran ideal bangsa ini ke depan. Selain itu pemimpin yang mengetahui cara meraih cita-citanya itu, berani berjuang dan sekaligus bersedia mengorbanklan apa saja yang dimiliki untuk bangsanya. Pemimpin perubahan tidak cukup hanya berdiam di kantor, merenung, menandatangni surat, dilapori dan mengambil keputusan seadanya. Pemimpin perubahan adalah orang yang bersedia melakukan apapun dan menerima risiko apa saja, demi memperjuangkan keberhasilan cita-citanya. Pemimpin yang hanya berada di istana, di kantor, dan di tempat-tempat terpilih yang nyaman adalah bukan pemimpin yang tepat untuk bangsa ini. Pemimpin yang ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan persoalan besar adalah pemimpin yang memiliki jiwa besar, pemikiran besar, jangkauan besar, kerja keras dan besar untuk melayani semua bangsa ini. Jika hal itu yang dibutuhkan maka saya berani mengatakan bahwa pemimpin tersebut harus memiliki bekal yang utuh, yaitu spirituall., akhlak, ilmu dan profesional. Dengan kekayaan spiritualnya akan mendorong dirinya malakukan pengorbanan yang tinggi. Berjuang tidak akan mungkin tidak disertai dengan pengorbanan. Selain itu juga akhlak yang mulia. Bangsa ini harus dibangun karakter atau akhlaknya. Fenomena yang tampak saat ini, yaitu berlebih-lebihan harta di tengah-tengah orang miskin adalah sebagai petunjuk jelas bahwasanya yang bersangkutan sedang mengalami kemiskinan karakter atau akhlak itu. Maka, harus muncul pemimpin yang memberikan kepeloporan terhadap gerakan solidaritas sesama ini. Bangsa ini akan menjadi mulia, luhur dan beradab jika berhasil membangun karakter atau akhlak itu. Bekal tersebut masih harus dilengkapi dengan ilmu dan profesional. Ilmu sesungguhnya bisa didapat dan dihimpun dari pemiliknya. Bangsa ini sesungguhnya telah memiliki ilmuwan-ilmuwan yang unggul dan dalam jumlah yang banyak. Pemimpin selain, dalam batas-batas tertentu ia harus memilikinya, juga harus mampu menghargainya. Hanya pemimpin yang mampu menghargai ilmuwan yang akan berhasil memanfaatkan orang-orang yang menyandang ilmu pengetahuan itu. Jika seorang pemimpin tidak mencitai ilmu dan profesi, maka ia tidak akan bisa menghargainya. Kekayaan tinggi itu akhirnya tidak digunakan dan hilang dengan percuma –lari ke luar negeri, dan itu pun tidak dirasakan. Jika syarat-syarat itu yang dibutuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter, jiwa pejuang, spiritualitas tinggi, berilmu dan profesional, maka saya berkeyakinan itu hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang menyandang ajaran agama yang mendalam. Indonesia adalah negeri yang dihuni oleh pemeluk agama yang beraneka ragam. Kiranya tidak menjadi masalah, sebab pada hakekatnya agama adalah seruan untuk menuju keselamatan, berbagi cita, dan juga pengorbanan untuk kemanusiaan. Aneka ragam agama di negeri ini, kiranya bisa dijadikan sebagai kekuatan pengubah dan tokh sudah berhasil dirumuskan fundamen idiologis bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan cita-cita luhur kemanusiaan lainnya. Jika ini bisa dijabarkan dan menjadi tekad bersama Insya Allah problem-problem besar bangsa tersebut bisa teratasi. Intinya, menurut hemat saya harus muncul di negeri ini pemimpin yang memiliki kekuatan nalar, jiwa, dan semangat luar biasa untuk menyelesaikan persoalan yang juga luar biasa besarnya ini. Inilah letak strategis kekuatan agama dalam membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang