Dalam novel Bekisar Merah terlukis sangat indah tentang hakikat kehidupan sebagai upaya membentuk paradigma dan kehidupan manusia di atas mahluk lain, juga sebagai upaya membenamkan manusia akan hakikatnya yang selalu bersama alam. Dalam gambaran di bawah ini secara tegas Ahmad Tohari mengemukakan secara eksplisit:
Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kela di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi selalu ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri (Bekisar Merah, hlm. 9).
Ada ruh kemanusiaan yang kuat untuk melestarikan nafas kehidupan orang-orang pedesaan yang asli agar dapat dipahami oleh manusia lain bahwa kenyataan hidup manusia adalah mengikuti kehendak-Nya, yakni mengakui batas-batas yang telah digariskan oleh Tuhan atas manusia sebagai mahluk-Nya. Kata “pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan” menyiratkan tentang hakikat kehidupan berpasang-pasangan sebagai modal utama kehidupan selanjutnya di bawah panji-panji ketuhanan agar nafas kemanusiaan terwujud dan membentuk dinamika kehidupan yang lestari. Cerita berikut ini cukup ilustratif untuk gagasan yang dimaksud dalam subbab ini:
“… hanya pusing. Ya saya kira gara-gara pikiran lagi tak karuan. Pak Min, mengapa hidup kok bisa tiba-tiba berubah jadi tak karuan? Pak Min biasa mengalami hal seperti itu?”
Pak Min mengenal Handarbeni sejak majikan itu masih anak-anak, karena ayah Pak Min juga ngawula kepada orangtua Handarbeni, seorang siten wedana di daerah kaki gunung Merapi sana. Pak Min tahu betul majikannya hidup mukti sejak bocah. Bukan hanya itu, Pak Min bahkan sangat percaya majikannya termasuk kelompok orang yang sudah ditentukan menjadi wong kepenak. Maka Pak Min tidak heran, meskipun dulu Handarbeni muda sangat nakal, malas ke sekolah, suka tidak senonoh dengan mbok-mbok yang sudah berada di pasar waktu fajar, juga suka main kartu, dan konon sering bersembunyi di garis belakang pada zaman perang kemerdekaan, tetapi dia selalu punya nasib baik dan kini hidup sangat makmur.
Bagi Pak Min yang merasa sedikir tahu tentang kejawen, majikannya termasuk orang yang dibilang berhasil memiliki semua unsur kesenangan hidup. Dia sudah punya wisma atau rumah, kukila atau kesenangan, curiga atau kekuatan, turangga atau kendaraan, kencana atau harta, dan tentu saja wanita alias perempuan. Rumah Handarbeni banyak. Dia punya semua sarana untuk bersenang-senang. Pangkatnya tinggi. Mobilnya dari jenis yang paling mahal sudah tak muat di garasi karena banyaknya. Dan jangan cerita soal uang dan emasnya. Istri resminya memang hanya satu. Namun istri yang kawin di bawah tangan ada beberapa. Belum lagi pacarnya. Lho kok sekarang dia bilang pikirannya tak karuan?
“Pak Min.”
“Saya, Pak.” Pak Min gugup.
“Saya tanya kok diam?”
“Ah, maaf. Bapak tanya apa tadi?”
“Ngawur. Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler-angler kambang tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?” (Belantik, hlm. 14-15)
Pandangan ini sesuai dengan firman Allah yang artinya bahwa manusia dijadikan oleh Tuhan secara berpasang-pasangan dan bersuku-suku agar mereka saling mengetahui dan memahami sesama yang lain. Maka ketika ada seseorang yang belum mendapatkan hakikat dari berpasang-pasangan itu, tentu rasa gundah dan gelisah pasti menyelubungi pada setiap diri manusia, sebagaimana ditulis tegas oleh Ahmad Tohari dengan kata “Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.” Meski kegelisahan itu tidak tertulis jelas, namun ungkapan Ahmad Tohari ini dapat dijadikan sandaran bahwa kehidupan manusia yang berparadigma adalah yang mengikuti sunnatullah. Jika sunnatullah itu tidak melekat pada diri manusia, maka orientasi kehidupan manusia akan sedikit banyak terganggu.
Oleh sebab itu, hiburan atau menghibur diri adalah sebuah langkah untuk lebih memberi makna bagi kehidupan itu sendiri. Maka, terkadang upaya dan orientasi kehidupan harus ditaklukkan dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada. Di sinilah humanisme yang ditegakkan oleh Ahmad Tohari dengan penggambaran kisah perjalanan hidup manusia ini:
Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untuk mengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas siaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannnya, serta caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering (Bekisar Merah, hlm. 12).
Selain itu, ingat akan keberadaan Tuhan Yang Maha Tinggi adalah modal selanjutnya ketika modal sosial telah terpenuhi. Sehingga sikap memasrahkan diri sembari berusaha adalah sikap yang menjadi pedoman bagi kehidupan manusia selanjutnya. Ahmad Tohari memakai kata eling (ingat Tuhan), bahwa:
Selalu eling dan nyebut adalah peringatan yang tak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggian pohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semua penyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalam kesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itu diajarkan turun temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan dengan lidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Maha Selamat. (Bekisar Merah, hlm. 14).
Karangsoga? Lasi tersenyum ketika membayangkan keteduhan desanya yang sudah sekian lama ditinggalkan. Dia berharap masih bisa melihat hamparan pakis yang menutup rapat tebing-tebing jurang. Kesegaran daun-daun pakis dengan rerelungan sulur adalah lukisan hidup yang telah terekam sejak ia masih kanak-kanak. Dan lukisan hidup itu menjadi lebih indah ketika embun pagi atau air hujan membasahinya.
Atau kabut yang melayang menyelimuti dataran rendah di selatan. Di sana, waktu sore hari, sering ada barisan kuntul terbang. Namun dari Karangsoga orang melihat barisan kuntul terbang itu dengan menundukkan kepala, karena unggas-unggas putih itu melayang di bawah garis pandang mata. Dan kecipak air di kolam ikan ketika burung si raja udang terjun menyambar mangsa. Juga bau nira hampir masak dan suara-suara anak-anak mengaji di surau Eyang Mus. Malah deru mesin bus menuntun telinga Lasi seakan ia mendengar singiran para santri Karangsoga:
Bumine goyang-bumine goyang arane lindhu
Wong ra sembahyang, wong ra sembahyang bakale wudhu
Dadi wong urip dadi wong urip sing ati-ati
Aja nuruti aja, aja nuruti senenging ati… (Belantik, hlm. 70).
Di sinilah letak karunia kemanusiaan harus ditegakkan sebagai bagian integral dari hakikat hidup manusia di tengah mahluk-mahluk lain. Sehingga ketika ada tawaran atau tantangan agar mengenyahkan modal yang bisa membuat tersendat-sendat kehidupan, jalan yang paling moderat adalah mempertahankan atau bertahan diri ketimbang melepaskan, atau sebagai jawaban jika kita tidak mampu menambahi modal itu. Tersirat dalam novel itu tentang ajaran ini diilustrasikan dengan tanya-jawab sebagai berikut:
“Eyang Mus, kami tak punya biaya,” kata Wiryaji setelah sekian lama tak bersuara. Semua orang kembali berdiam.
…
“Las,” kata Wiryaji dengan suara rendah. “Kamu punya sesuatu yang bisa dijual?”
…
“Bagaimana jika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan?
“Jangan,” potong Eyang Mus. “Nanti apa yang bisa mereka makan?” (Bekisar Merah, hlm. 24).
Di sinilah letak makna humanisme Islam dipandang dari sudut historis, bahwa apa yang telah dipahami sebagai Islam dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalam implikasi-implikasinya yang paling penting tentu saja sangat bervariasi. Ketika Islam berkembang, ia tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya, atau dari satu waktu ke waktu lainnya. Karena secara historis Islam dan pandangan-pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural tersebut dengan sendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.[1] Dengan kata lain, makna Islam yang rahmatan lil ‘alamien adalah pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kehidupan yang selestari mungkin dengan pertimbangan tradisi dan kultur masyarakat setempat. Ahmad Tohari cukup jeli dalam menggambarkan makna tersebut melalui novel. Kata Ahmad Tohari:
“Oh, aku belum menjawab pertanyaanmu? Dengarlah anak muda, orang sebenarnya diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dorongan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang orang orang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan. Mudah dinalar?” (Bekisar Merah, 114-116)
[1] Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam” dalam Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. 14 Tahun 2003, hlm. 33.