Kadang terdengar kesimpulan sederhana, yang mengatakan bahwa korupsi diakibatkan oleh rendahnya gaji pejabat yang diterima setiap bulan. Oleh karena itu solusi yang diambil untuk menghilangkan korupsi juga dilakukan secara sederhana, yaitu menaikan gaji para pejabat dan pegawainya. Dengan gaji dinaikan, maka diharapkan tidak akan ada lagi kasus, seorang pejabat atau pegawai pemerintah mengambil uang negara atau korupsi.
Para pejabat bergaji cukup memang perlu. Sebab tidak mungkin seseorang dibebani tanggung jawab yang berat, tetapi masih harus pontang-panting mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya sehari-hari. Lagi pula bahwa, biaya hidup seorang pejabat di mana-mana memang tinggi. Biaya itu tidak saja untuk memenuhi kebutuhan primer, melainkan ada saja kebutuhan sekunder yang harus dipenuhi, termasuk kebutuhan sosial sebagai seorang pejabat. Seorang pejabat selalu dituntut untuk memenuhi tuntutan sosial, seperti harus memberi sumbangan pembangunan tempat ibadah, panti asuhan, kegiatan remaja, olah raga dan lain-lain. Selain itu, para pejabat juga harus hadir dalam berbagai acara kekeluargaan, seperti pesta pernikahan, khitanan, acara hari besar keagamaan, dan sejenisnya. Setiap datang pada acara tersebut harus mengeluarkan sumbangan yang kadang tidak kecil. Oleh karena itu biaya sosial sebagai seorang pejabat, pada bulan-bulan tertentu, kadang cukup tinggi. Maka itulah sebabnya, jika gaji pejabat itu tinggi, adalah menjadi wajar. Sebab seorang pejabat selalu dituntut menanggung biaya sosial terkait dengan jabatannya itu. Tidak mungkin seorang pejabat mengurung diri, tidak peduli dengan kegiatan sosial. Apalagi kultur kehidupan sehari-hari, sebagai seorang timur, kehadiran pejabat dalam sebuah acara penting, dianggap sebagai symbol kehormatan. Masyarakat menuntut seperti itu dan tidak boleh diabaikan. Pemerintah secara bertahap pada akhir-akhir ini mengambil kebijakan memberikan remurerasi kepada para pejabat, untuk meningkatkan kinerja yang bersangkutan. Suatu misal, di lingkungan kehakiman diberikan remunerasi kepada hakim yang paling rendah sebesar Rp.4,2 juta, hakim pengadilan tinggi sebesar Rp. 10, 2 juta, Ketua Pengadilan tinggi sebesart Rp. 13 juta, wakil ketua MA Rp. 25,8 juta dan ketua MA sebesar Rp 31,1 juta. Dengan tunjangan seperti itu, maka diharapkan biaya kehidupan mereka tercukupi, tidak terkecuali biaya sosial sebagaimana tersebut di muka. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa besarnya gaji dan tunjangan tidak selalu otomatis menghilangkan penyelewengan uang negara atau korupsi. Menaikkan gaji pejabat hingga kebutuhannya tercukupi memang perlu. Tetapi jangan terlalu berharap, bahwa kebijakan itu akan secara otomatis mengurangi gejala korupsi. Orang yang penghasilannya cukup banyak tidak selalu kemudian tidak korupsi. Justru yang korupsi milyaran rupiah adalah orang berstatus sebagai pejabat pada level atas dan atau orang sudah kaya. Sebaliknya, pegawai kecil dengan gaji rendah, mereka bisa menjaga amanah, menjalankan pekerjaannya tanpa menyimpang. Oleh karena itu remunerasi para pejabat tidak akan berdampak pada pencegahan korupsi. Mereka melakukan korupsi bukan karena kekurangan uang, melainkan yang bersangkutan sedang menyandang penyakit hati. Mereka baru merasa puas kalau bisa mengambil uang yang bukan haknya. Sebagai bagian dari penyakit hati adalah terlalu mencintai harta. Keberhasilan mengumpulkan harta, -------dari manapun asalnya, dirasakan sebagai telah mendapatkan kepuasan. Mereka yang sedang memiliki penyakit jiwa seperti itu, maka kalaupun gajinya dinaikkan hingga berapun, maka tidak akan mengurangi semangat melakukan korupsi. Kasus Syarifudin, seorang hakim di Jakarta, yang diberitakan oleh berbagai media massa akhir-akhir ini, tertangkap basah oleh KPK, karena sedang disuap, adalah merupakan bukti, bahwa remunerasi tidak berpengaruh terhadap korupsi. Remurenasi tidak akan berdampak apa-apa terhadap tindak kejahatan korupsi. Sekalipun gajinya sudah besar, kaya raya, telah memiliki rumah mewah, kendaraan dan bahkan tabungan berapapun besarnya, seseorang tidak akan berhenti dari melakukan korupsi, sepanjang yang bersangkutan berpenyakit hati seperti itu. Tidak adanya hubungan antara besarnya gaji atau kekayaan dengan tindak korupsi, juga bisa kita lihat dengan jelas dari berbagai kasus di tengah masyarakat. Banyak pengurus lembaga pendidikan, sosial dan lain-lain misalnya, sekalipun tidak digaji, mereka tetap bekerja keras, dan bahkan rela memberikan hartanya kepada lembaga yang diurusnya itu. Oleh karena pikiran dan jiwanya sehat, maka mereka rela memberikan harta kekayaannya untuk biaya perjuangannya. Mereka berusaha untuk memberi, dan sebaliknya bukan menerima, apalagi sesuatu yang bukan haknya. Oleh karena itu, korupsi seharusnya tidak dilihat secara sederhana, hanya karena kekurangan uang. Korupsi adalah penyakit yang harus disembuhkan. Penyakit itu bisa datang dan tumbuh sebagai produk pendidikan yang salah, lingkungan, dan juga karena miskinya penghayatan keagamaan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang